HIDUPKATOLIK.COM – Inspektur Jenderal Kemendikbud Risek Dikti, Chatarina Girsang menegaskan, di tengah pandemi Covid-19 ini, sistem pendidikan harus siap melakukan lompatan untuk membuat transformasi pembelajaran bagi semua siswa dan oleh semua guru.
“Kita memasuki era baru untuk membangun kreativitas, mengasah skill siswa, dan peningkatan kualitas diri dengan perubahan sistem, cara pandang dan pola interaksi kita dengan teknologi. Karena belajar harus tetap berjalan dalam kondisi apa pun,” ujarnya dalam acara Pembinaan Guru-guru Agama Katolik yang mengajar Siswa Katolik pada Sekolah Negeri di Gereja/Paroki Propinsi DKI Jakarta, Minggu, 12/9/20221 di Pusat Pastoral Samadi, Klender, Jakarta Timur.
“Pandemi yang berkepanjangan membuat peserta didik mengalami kejenuhan belajar, karena mereka merasa tidak mendapat pengalaman belajar yang mengesankan di sekolah,” kata Chatarina.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menurut Chatarina tak dapat dihindarkan. Selain dampak positif, menurut Chatarina, PJJ dapat mengakibatkan learning lose, ancaman putus sekolah karena banyak anak terpaksa bekerja karena beberapa faktor; PJJ yang tak maksimal hingga ketiadaan fasilitas pendukung PJJ; ancaman penurunan capaian belajar karena adanya kesenjangan kualitas antara yang punya akses terhadap teknologi dan tidak semakin besar; meningkatnya kekerasan terhadap anak selama PJJ; dan anak pun memiliki risiko psikososial akibat stres terus menerus di dalam rumah dan tak dapat bertemu teman-teman.
Acara pembinaan guru dan katekis yang mengajar siswa Katolik ini dilaksanakan dengan kerja sama Bimas Katolik Propinsi DKI Jakarta dengan Komisi Kateketik Keuskupan Agung Jakarta dilaksanakan secara luring dan daring. Selain Chatarina Girsang, permbicara lain dalam acara ini adalah Salman Habeahan (Pembimbing Masyarakat Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi DKI Jakarta), Romo Victorius Rudi Hartono dan Romo Carolus Putranto Tri Hidayat (Komisi Kateketik Keuskupan Agung Jakarta), dan Linda Romauli Siregar (Kepala Suku Dinas Pendidikan Jakarta Timur 1).
Dalam paparannya, Salman menyampaikan keprihatinan atas kekurangan guru Agama Katolik yang mengajar agama di sekolah negeri. Guru agama Katolik ASN yang mengajar di sekolah negeri hanya 76 Guru (Kemenag dan Pemda) dan jumlah sekolah negeri 2.545 sekolah (SD: 2000, SMP: 358; SMA: 117; dan SMK: 70/ Data Dinas 2020). Di sekolah negeri yang tersedia guru agama Katolik hanya sekitar 3 % dari jumlah sekolah negeri yang ada (2.545 sekolah). Dan, ada 87 sekolah negeri dengan jumlah siswa di atas 15 siswa (sesuai PP No. 19 Tahun 2017) belum tesedia guru agama ASN yang mengajar di sekolah tersebut. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (Kemenag/Kemen PAN/Kemendikbud) belum dapat menyediakan guru agama Katolik sesuai dengan perintah UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
Lebih jauh, Salman menyampaikan bahwa ada ribuan siswa Katolik di sekolah negeri di DKI Jakarta yang tidak mendapatkan pengajaran agama Katolik dari guru Agama Katolik sebagaimana mandatori Undang-Undang. Untuk mengatasi kekurangan itu, siswa-siswi Katolik di sekolah negeri mendapatkan pengajaran agama di paroki. Bimas Katolik bekerja sama dengan paroki dan Komisi Kateketik Keuskupan Agung Jakarta mengoptimalisasi dan memberikan pembinaan agar guru-guru agama/katekis dapat melaksanakan pengajaran agama Katolik dengan baik.
Kurangnya guru agama yang mengajar di sekolah negeri menurut Salman menjadi persoalan yang serius di Indonesia khususnya di DKI Jakarta karena merupakan perintah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Psl. 12 ayat 1, dan amanat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak azasi manusia, bahwa siswa berhak mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agamanya dan diajar oleh guru yang seagama dengannya (UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, Psl. 12 ayat 1).
Sementara itu, Linda Romauli Siregar mengatakan, pentingnya pendataan, pemetaan guru-guru agama yang mengajar di sekolah negeri umum. Pemetaan dan optimalisasi tersebut mendesak untuk dilakukan agar satu orang guru agama Katolik dapat dioptimalkan mengajar pada 2 atau 3 sekolah, sehingga siswa-siswa Katolik yang belum ada gurunya mendapatkan pengajaran dari guru agamanya sesuai dengan amanat UU. Pemetaan ini berlaku untuk semua guru agama yang mengajar di sekolah negeri umum di Jakarta Timur.
Terkait dengan pendidikan agama, Romo Rudy mengatakan, guru agama sangat berperan strategis dalam menginternaliasikan nilai-nilai moderasi beragama melalui pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah dan di Gereja.
Hal senada disampaikan Romo Carolus Putarnto Tri Hidayat, yang baru saja diangkat mennggatikan sebagai Ketua Komsi Kateketik Keuskupan Agung Jakarta. Menurutnya, sangat penting pendidikan moderasi beragama melihat kondisi Indonesia yang sangat beragam. Ia menegaskan komitmennya untuk memberikan pembinaan pada siswa-siswi Katolik di sekolah negeri.
Laporan Anton Sinaga