HIDUPKATOLIK.COM – SAAT anak-anak masih remaja, setiap libur kenaikan kelas, kami melakukan suatu aktivitas menarik. Menyusun puzzle. Kegiatan ini tentunya sangat menantang, bikin penasaran, namun melatih kesabaran, ketelitian, serta kerja sama. Puzzle dengan 1000 keping adalah favorit kami. Tahap awal, kami riung bersama mencari keping-keping dan menyusun sampai terbentuk keliling utuh. Lalu mencari keping lain untuk mulai membentuk gambar. Setiap hari, saat luang masing-masing kami akan sempatkan diri untuk melengkapi gambar. Saya sendiri sepulang kerja, pasti meluangkan sekitar 30 menit.
Ada momen di mana kami keroyokan, ini tentu saja jadi kegiatan bersama yang seru. Dengan cara ini hampir pasti puzzle dapat diselesaikan selama liburan sekolah. Biasanya kami pilih gambar-gambar yang menarik agar setelah jadi, layak untuk dipajang sebagai hiasan rumah. Salah satu puzzle yang telah selesai dan kini terbingkai dan tergantung di atas headboard tempat tidur adalah gambar langit-langit Kapel Sistina.
Kapel Sistina merupakan prioritas kedua, setelah Basilika Santo Petrus dalam kunjungan kami ke Roma delapan tahun lalu. Saat itu kami baru tahu, walau masih satu kompleks, turis tidak bisa meninjau Kapel Sistina dari Basilika.
Kapel Sistina selalu disebut-sebut setiap kali Gereja mengadakan konklaf guna memilih seorang Paus baru. Untuk dapat memuaskan rasa ingin tahu akan kapel ini, turis harus masuk melalui Musei Vaticani (Museum Vatikan). Memang perlu rogoh kocek, karena untuk masuk museum ini harus beli tiket. Harga tiket masuk ada beberapa macam, mulai dari 350 ribu hingga 650 ribu. Harga ini sebanding dengan apa yang dapat kita nikmati.
Museum Vatikan adalah salah satu museum terbaik di dunia dan setiap tahun menerima jutaan turis. Pada tahun 2019 sebelum pandemi tercatat lebih dari 6 juta pengunjung.
Agar dapat sedikit leluasa, waktu itu kami memilih kunjungan sore hari. Itu pun tetap saja pengunjung museum masih ramai, antrian masuk panjang mengular di trotoar jalan luar museum. Dinding luar museum menjulang tinggi, seperti benteng kuno. Namun begitu masuk, suasana modern langsung terasa. Ruangan dingin dan tata pencahayaan sangat cantik.
Koleksi museum meliputi lukisan dengan berbagai ukuran, patung-patung eksotis serta puluhan ribu benda seni lain yang sangat indah. Semua ditata sangat baik, terbagi dalam banyak ruangan dengan tema tertentu.
Ada ruang khusus Mesir kuno, dengan salah satu koleksi berupa mummi. Ada ruang Romawi, yang berisi patung-patung dewa-dewi Yunani. Ada ruang khusus memamerkan lukisan-lukisan ukuran raksasa. Ada pula koleksi persembahan atau hadiah dari berbagai negara sahabat.
Saya bangga sekali, tidak lama setelah masuk museum, kami menemukan sudut Indonesia. Beberapa benda budaya, seperti wayang kulit Jawa, replika relief Candi Borobudur, bahkan sejak akhir 2014 ada miniatur Candi Borobudur, serta beberapa karya ukiran kayu dari Suku Asmat. Konon Indonesia memperoleh kavling paling luas dibanding beberapa negara lain. Mencerminkan hubungan baik negara kita tercinta dengan Vatikan.
Di ujung perjalanan menikmati museum, kami tiba di Kapel Sistina. Nama ini sesuai Paus Sixtus IV, yang memutuskan memugar kapel pada tahun 1473-1481. Setelah pemugaran selesai, Paus meminta beberapa seniman untuk menghias interior kapel dengan lukisan mural fresco. Kemudain pada hari raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga 15 Agustus 1483, diadakan Misa pertama dalam kapel ini. Sekaligus mempersembahkan Kapel kepada Santa Perawan Maria.
Ukuran kapel ternyata tidak besar, apalagi setelah terkaget-kaget dengan dimensi Basilika St Petrus. Panjang kapel sekitar 40 meter, lebar hampir 13,5 meter, dan langit-langit yang melengkung setinggi 20,7 meter. Namun di dalam Kapel, di mana turis dilarang foto-foto dan tidak boleh berisik, lagi-lagi kita disuguhkan interior yang menakjubkan, baik pada dinding maupun langit-langit.
Sekeliling dinding bagian bawah tergantung sepuluh permadani besar, yang melukiskan peristiwa kehidupan Santo Patrus dan Santo Paulus. Permadani ini karya seniman Raphael yang pembuatannya dikerjakan di Belgia pada tahun 1515.
Pada dinding bagian atas, bisa kita nikmati fresco riwayat Musa dan riwayat Kristus, serta lukisan potret para Paus, yang selesai dikerjakan pada 1482. Puncak kekaguman tentu saja pada lukisan di langit-langit. Atas permintaan Paus Julius II, maestro pematung dan pelukis, Michelangelo mengerjakannya selama 4 tahun dan selesai pada tahun 1512. Ia melukis 9 cerita Kitab Kejadian. Tak terbayang bagaimana proses melukis di ketinggian 20 meter ini, mengingat saat itu belum ditemukan lift yang dapat mengangkat orang setinggi itu dan memungkinkan orang bekerja. Walau sulit, ternyata ia dapat menghasilkan suatu mahakarya yang indah.
Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya 1535 – 1541, atas permintaan Paus Klemens VII, Michelangelo kembali melukis pada dinding belakang altar, lukisan yang diberi judul Pengadilan Terakhir.
Sambil menatap semua keindahan ini, saya membayangkan proses konklaf. Seratusan kardinal dari seluruh dunia dikunci dalam Kapel ini, tanpa TV, tanpa alat komunikasi apapun, benar-benar terputus dengan dunia luar. Berhari-hari, mereka berdoa dan menulis satu nama calon Paus baru, demikian berulang-ulang sampai akhirnya satu nama terpilih. Betapa saya bersyukur Tuhan izinkan berada dalam ruangan sangat berarti ini.
Setelah mata terpuaskan, kami keluar Kapel dan menyusuri lorong panjang menuju jalan keluar museum. Lorong ini memiliki jendela-jendela besar, menghadap taman luas nan indah serta sebuah bangunan putih besar, Cassina Pio IV, rumah musim panas Paus Pius IV yang dibangun pada tahun 1561. Sekarang merupakan tempat berkarya Pontifical Academy of Sciences. Malam itu, dari kejauhan nampak banyak orang berdiri sambil berbincang-bincang. Saya berandai-andai membawa teropong, dan berharap dapat melihat dan mengenali Bapa Paus Fransiskus di antara orang-orang tersebut.
Untuk mencapai pintu keluar, kami perlu turun sebuah tangga besar melingkar-lingkar. Tangga ini merupakan salah satu ikon cantik dari museum. Hampir pasti semua pengunjung akan berfoto-foto di tangga ini.
Hari sudah malam saat kami keluar museum, namun masih cukup terang. Seperti terangnya suasana hati saya, karena luapan rasa syukur akan kebaikan Tuhan, mengizinkan saya mengalami semua pengalaman indah terlukiskan dengan sejuta kata hari itu.
Fidensius Gunawan, Alumni KPKS, Kontributor