HIDUPKATOLIK.COM – SEMBURAT jingga telah membercaki cakrawala. Senja segera menjadi petang tatkala kau baru saja usai menyiangi tanaman di rumah peristirahatan keluargamu. Kau sorongkan tubuhmu yang letih di sofa ruang tamu sementara kepalamu melesak di sebuah bantal. Mendadak tubuhmu bermandikan peluh, napasmu tersengal. Selang sesaat, kau tak kuasa membendung mual hingga muntah dan diare berulang. Parasmu pucat bagai berkabut.
“Ayo kita berangkat ke rumah sakit,” ajak Herdi, suamimu, begitu melihat kondisimu.
“Sepertinya aku kena muntaber,” balasmu lemah serupa bisik.
Lantas, Herdi melarikanmu ke sebuah rumah sakit terdekat di kawasan Puncak, Jawa Barat. Meski telah ditangani oleh dokter dan segera diinfus, dengan cepat kondisimu anjlok. Jemarimu mulai tampak kebiruan. Hasil rontgen menunjukkan fungsi ginjal dan jantungmu menurun.
“Mama makan apa ya tadi?” selidik suamimu kepada putra-putramu, Ryan dan Boyke.
“Nasi campur, sama dengan yang kita makan, Pa,” jawab Boyke dengan mimik cemas.
“Mama salah makan. Mungkin makanan kadaluarsa,” gumam Herdi.
Pagi masih muram ketika matamu terkatup untuk selamanya. Mati memang keniscayaan tetapi kepergianmu begitu cepat; menghentak segenap keluarga dan handai-taulan. Saudara maut sebegitu lekas merengkuhmu, mencabut nyawamu sewaktu usiamu paruh baya. Dokter tidak bisa memastikan penyebab kematianmu karena mendadak jantung dan ginjalmu tidak berfungsi. Padahal sebelumnya, kondisimu relatif bugar.
Liburan ke Puncak yang seharusnya menggembirakan berubah duka.
Tatkala berangkat ke Puncak, semangatmu membara. Sepertinya tiada firasat tak enak menelusuk perasaan. Setidaknya, celotehmu riang di sepanjang perjalanan. Atau mungkin, kau menjauhkan perasaan negatif itu dari suami dan anak-anakmu? Entahlah…
Hal pertama yang kau lakukan setiba di bungalo adalah merapikan tanaman. Setelah sekian lama tidak dikunjungi, pekarangan itu mulai terbengkalai.
“Ada tanaman baru lho, Pa!” pekikmu sembari memperhatikan seonggok tanaman baru berbunga ungu tua.
“Tanaman liar, Ma,” balas Herdi acuh tak acuh.
“Bunganya cantik sekali. Bentuknya seperti lonceng. Ungu ‘kan warna kesukaanku,” cerocosmu senang. Kau langsung jatuh hati melihat tanaman itu.
“Istirahat dulu, Ma,” kata Ryan mengingatkan.
“Mumpung Mama belum mandi, Sayang,” ujarmu bersemangat.
Sementara Herdi, Ryan, dan Boyke terbenam dalam aktivitas masing-masing, kau melintasi senja dengan berkebun. Kau cabuti semak, gulma, dan rumput liar yang mengusik keindahan. Lantas, kau memindahkan tanaman berbunga ungu itu dari pinggir pagar ke bawah jendela kamar. Kau menginginkannya beranak-pinak. Terbayang, cantiknya! Karena tidak membawa kaus tangan, telunjukmu tergores oleh akarnya.
“Semoga tanaman ini berbunga banyak ya,” harapmu.
Ternyata, itulah kali terakhir kau merapikan kebun. Kau tak sempat tahu bahwa tanaman itu bernama vatsanabha dalam bahasa India, yang juga dikenal sebagai devil’s helmet. Meski tampak cantik, tanaman itu sangat beracun. Vatsanabha dalam bahasa Latin disebut aconitum. Ia punya sederet sebutan, yakni aconite, monkshood, wolf’s bane, leopard’s bane, women’s bane atau blue rocket. Vatsanabha merupakan salah satu genus dari lebih 250 spesies tumbuhan bunga yang berasal dari keluarga ranunculaceae.
Sebagian besar spesies tumbuhan ini beracun sehingga orang harus berhati-hati memperlakukannya. Bahkan jenis tanaman ini bisa menyebar racun hanya dengan menyentuhnya. Tragisnya, racun vatsanabha nyaris tidak berjejak. Alkisah, tanaman itu pernah digunakan oleh Ratu Romawi, Aggripina, untuk menghabisi nyawa sang suami, Kaisar Claudius, pada 13 Oktober 54 M.
Tumbuhan ini mengandung glikosida, yang dapat menyebabkan keracunan. Reaksi keracunan yang pertama adalah mual, muntah, diare, sakit perut, sakit kepala, halusinasi, hingga menyebabkan gangguan irama jantung, denyut nadi lemah, dan tremor yang bisa berujung pada kematian. Tanda-tanda keracunan vatsanabha itu, kau alami….
***
Memori itu sesungguhnya masih menempel di bilik otakku. Sewaktu kanak-kanak, kau dan aku berkarib. Rumah kita berdekatan, sekolah kita sama. Bahkan selera kita cenderung mirip. Beragam hal seakan dipertautkan antara kau dan aku.
“Wow, jepitan rambutmu sama dengan punyaku,” teriakku tatkala melihat kau memakai jepitan baru di kepangan rambutmu.
“Kita seperti beli bareng ya,” jawabmu sembari tergelak.
“Besok kita pakai biar kembaran,” pintaku.
Di lain kesempatan, kau menanyakan di mana aku membeli sepatu yang baru kupakai. Lantas, kau segera memiliki sepatu bermodel serupa. Uniknya, semasa remaja, kau dan aku tertarik pada anak laki-laki yang sama.
“Bonny cakep sekali,” pujiku terus terang.
“Aku juga suka dia,” sahutmu tanpa malu.
Kemudian, waktu menggiring kau dan aku beranjak dewasa. Hingga kau dan aku terpisah demi meniti pematang hidup masing-masing; meraih mimpi-mimpi indah yang menggantung di celah awan-awan harapan.
Perlahan-lahan jarak mulai terentang antara kau dan aku. Kau dan aku tidak lagi saling berkontak. Kekariban yang pernah terekat pun tersepak oleh kesibukan. Temali persahabatan hanya tinggal cerita lapuk yang kemudian enggan dikenang lagi. Hingga pada suatu masa, aku terperangah mendengar kabar bahwa kau telah memadu kasih dengan Herdi.
“Tidakkah kau tahu bahwa Herdi itu bekas kekasihku?” gugatku memeram geram.
Lelaki itu pernah menyuntingkan makna di hatiku; dari tawar menjadi pekat, dari kusam menjadi kemilau. Namun, kemudian, untuk alasan yang samar dan terselubung, lelaki itu beranjak dari hidupku. Asmara yang menderu menjadi kelu. Herdi memang tak tercipta untukku. Semesta tak menaungi jalinan kasih ini.
Meski demikian, selalu ada rasa ingin tahu yang tidak bisa ditakar dengan nalar tentang kau dan Herdi. Padahal realitasnya memorak-porandakan perasaan; yang semula tertata kembali morat-marit. Begitulah aku pernah terhanyut oleh gelombang asmara. Hingga pada akhirnya, aku terdampar di pantai kenyataan yang pedih.
***
Waktu terus menggelinding tak terkendali. Tujuh tahun sudah kau berpulang, ketika kabar buruk tentang Herdi menghampiri.
“Herdi sakit parah.” Begitu Ica, iparmu, berkabar.
Serpihan rasa yang tersisa di selasar hati, mendorongku untuk menyambangi Herdi. Kudapati ia tersungkur lesu di ranjang sebuah rumah sakit di Ibu Kota. Manik matanya membelalak sesaat ia menatapku.
“Sudah lama sekali aku ingin bertemu denganmu,” ucapnya membuka perbincangan. Selarik semangat segera kupergoki pada tatap matanya. Ia tampak ingin menuangkan kegalauan yang sekian waktu menyumbat hatinya.
“Mengapa?” desakku mendadak penasaran.
“Aku ingin berterus terang kepadamu,” ungkapnya.
Lalu, Herdi bertutur tentang vatsanabha yang ditanamnya di rumah peristirahatan keluarganya. Benih-benih tanaman berbunga ungu itu dibawanya setelah ia mengikuti sebuah kongres farmakologi di India.
“Aku sengaja menanamnya karena istriku pencinta tanaman,” lanjutmu dengan napas tampak berat.
“Kau ingin menyenangkan istrimu?” cecarku dengan mata tak berkedip.
“Justru karena aku sudah lelah diomelinya,” jawab Herdi membuatku terperangah.
Sontak kuurungkan niat untuk menguntai tanya lagi. Tiba-tiba, dadaku bergemuruh, lututku lunglai. Sebelum napasnya putus, bergegas aku mencari pastor. Aku ingin Herdi menerima Sakramen Minyak Suci sekaligus mengaku dosa.
Oleh Maria Etty
HIDUP, Edisi No. 35, Tahun ke-75, Minggu, 29 Agustus 2021