HIDUPKATOLIK.COM – Katedral memiliki status khusus dalam keuskupan. Ia adalah gereja utama. Di dalamnya terdapat sebuah takhta uskup atau cathedra. Begitu juga dengan Gereja Beatae Mariae Virginis Katedral Bogor.
Melalui Dekrit Quod Christus Adorandus yang terbit 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII mendirikan Hierarki Gereja Katolik di Indonesia. Dengan demikian status Indonesia bukan lagi daerah misi tetapi menjadi Gereja muda. Semua Prefektur Apostolik dan Vikariat Apostolik ditingkatkan statusnya menjadi keuskupan, yang dipimpin oleh uskup masing-masing.
Maka status Prefektur Apostolik Sukabumi juga ditingkatkan, dan berubah menjadi Keuskupan Bogor dengan pusat keuskupannya berada di Kota Bogor. Pastor N.J.C. Geise, OFM lalu diangkat menjadi Administrator Apostolik. Pada 16 Oktober 1961, ia diangkat menjadi Uskup Keuskupan Bogor.
Sejak terbentuknya takhta Keuskupan Bogor, maka gereja yang dulu dikenal sebagai Gereja Panti Asuhan St. Vincentius dijadikan Gereja Katedral dari Keuskupan Bogor. Gereja ini telah menjadi saksi sejarah setidaknya dalam kepemimpinan emapt masa uskup.
Juragan Niti Ganda
Julukan Juragan Niti Ganda merupakan sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat Suku Badui di tatar Sunda bagi para pendatang. Mgr. Geise — lengkapnya Paternus Nicholas Joannes Cornelius Geise OFM — merupakan salah satu orang yang mendapat gelar kehormatan tersebut. Seorang imam yang berkebangsaan Belanda ini pernah menetap di wilayah Badui, Cipeuren, Banten.
Mgr. Geise memiliki rajutan tali pergaulan yang baik, bahkan akrab sehingga masyarakat Suku Badui memberinya gelar kehormatan. Ternyata gelar kehormatan yang didapatkan oleh Uskup Geise juga diadaptasi menjadi nama pribadi, sebagai tanda menyatu dengan masyarakat Sunda setempat yaitu Niti Ganda.
Pastor Geise ditahbiskan menjadi Uskup Bogor pada 6 Januari 1962 oleh Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Mgr Adrianus Djajasepoetra dengan ko-konsekrator Uskup Bandung, Mgr. Pierre Marin Arntz, OSC dan Uskup Denpasar, Mgr. Paul Sani Kleden, SVD.
Di samping sebagai Uskup Bogor yang pertama, Mgr. Geise dapat dikatakan sebagai perintis Gereja Keuskupan Bogor setelah Pastor M.Y.D. Claessens. Saat ditahbiskan sebagai uskup, ia mengambil semboyan In Occursum Domini yang artinya menyongsong kedatangan Tuhan.
Uskup Geise adalah tokoh Gereja Katolik yang mempunyai reputasi baik dalam skala nasional maupun internasional. Ia dikenal sebagai seorang Islamolog dan pernah bekerja sebagai konsultan pada sekretariat bagi umat yang bukan Kristen di Roma sekaligus penasihat ahli Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang dalam perjalanannya bertransformasi menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Dering Telepon
Pada Februari 1975, penjaga telepon Pastoran Katedral Bogor menerima telepon interlokal dari Jakarta. Sang penjaga melaporkan kepada Pastor Igantius Harsono setelah menyelesaikan tidur siangnya. Telepon yang didapatkan berasal dari Duta Besar Vatikan untuk Indonesia yang meminta Pastor Harsono menghadap ke Kedutaan Vatikan. Setelah itu diketahuilah persoalannya, Paus di Roma meminta Pastor Harsono menjadi Uskup Bogor kedua, menggantikan Mgr. Geise yang memang sudah beberapa waktu sebelumnya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri.
Surat penetapan Paus di Roma pada 1 Maret 1975, SC de Propaganda Fide Prot. Num. 1092/75, Bulla pengangkatan Verba Nobiscum Sedule. Pada 8 Mei 1975 Pastor Harsono ditahbiskan menjadi Uskup Bogor di Katedral Bogor. Penahbisan dilakukan oleh Uskup Agung Semarang, Justinus Kardinal Darmojuwono dengan konselebran Pro-Nunsius untuk Indonesia Mgr. Vincenzo Maria Farano; Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ; Uskup Bogor Mgr. Geise, dan Uskup Bandung, Mgr. Petrus M Arntz OSC.
Moto yang dibawa oleh Mgr. Harsono saat menjabat sebagai uskup adalah Omnes In Unitatem yang artinya semua menuju kepada kesatuan. Telah banyak karya yang disumbang oleh Mgr Ignatius Harsono sebagai Uskup Bogor.
Saat Uskup Harsono memimpin, para imam dan dewan paroki makin terorganisasi dengan baik. Tiap tahun digelar pertemuan rutin sekitar 7 kali antara uskup dengan imamnya. Beberapa awam juga diundang untuk mendengarkan saran atau masukan bagi keuskupan. Imam diosesan Keuskupan Bogor juga melaksanakan pertemuan rutin dua bulanan, termasuk di dalamnya Uskup Harsono. Untuk menambah pengetahuan teologi dan pastoral, para imam diosesan biasanya mengadakan dan mengikuti retret dan lokakarya yang diadakan sendiri atau pun digelar oleh keuskupan lain.
Momen Krusial
Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM atau yang akrab disapa Mgr. Angkur merupakan Uskup Bogor yang ketiga, setelah kurang lebih selama satu tahun Keuskupan Bogor mengalami sede vacante (kekosongan takhta gerejawi dari sebuah Gereja Partikular) atau tahta lowong, sejak Mgr. Ignatius Harsono pada Juli 1993 meletakkan jabatannya sebagai Uskup. Pada 10 Juni 1994 Paus Yohanes Paulus II memilih Pastor Michael Cosmas Angkur, OFM sebagai gembala baru untuk umat di Keuskupan Bogor. Kabar ini baru diterima Pastor Angkur pada 17 Juni 1994 di Kedutaan Besar Vatikan, Jakarta.
Pastor Angkur yang sederhana, waktu itu tidak pernah menyangka akan diberikan kepercayaan begitu besar oleh Sri Paus untuk memimpin sebuah keuskupan yang terletak di tanah Sunda. Keraguan sempat datang dan ia membawanya dalam doa di Kapel Kedutaan Besar Vatikan. Seusai berdoa dan memohon pertolongan Roh Kudus, Pastor Angkur menulis pada blangko yang diberikan oleh Duta Besar, In Verbo Tuo. Selanjutnya kutipan Injil itu dijadikan moto selama masa kepemimpinan Uskup Bogor yang ketiga itu.
Karena jumlah umat Katolik yang makin banyak dan animo umat begitu antusias menyebabkan tahbisan uskup yang ketiga ini tidak dilaksanakan di Gereja Katedral, tetapi di Gedung Graha Widya Wisuda IPB, Bogor.
Dengan semboyan In Verbo Tuo yang memiliki makna Karena Engkaulah yang Menyuruh, pada 23 Oktober 1994 Uskup Angkur ditahbiskan dengan penahbis utama Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ dengan ko-konsekrator Duta Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Pietro Sambi dan Uskup Bandung, Mgr. Alexander Djajasiswaja.
Masa kepemimpinan Mgr.Angkur adalah momen krusial dalam hidup beriman dan pengelolaan manajemen di Keuskupan Bogor. Pasalnya beberapa momen penting yang menjadi dasar Keuskupan Bogor hari ini terjadi pada masa kepemimpinan Mgr. Angkur
Keuskupan Bogor mulai menatap masa depan saat Mgr. Angkur memasuki sewindu kepemimpinannya. Pada 21-25 Oktober 2002 bertempat di Hotel Setia Pacet, ia menggelar Sinode pertama yang diikuti oleh perwakilan seluruh umat di Keuskupan Bogor. Sinode ini berbuah manis menghasilkan visi dan misi keuskupan yang kemudian menunjukan arah penggembalaan dan hidup menggereja yang lebih jelas.
Adapun visi yang dihasilkan, “Keuskupan Bogor menjadi communio dari aneka komunitas basis yang mendalam, solider dan dialogal, memasyarakat dan misioner”. Serta misi, “Keuskupan Bogor menghadirkan kerajaan Allah, dengan mengabdikan diri secara aktif dalam meningkatkan keimanan dan martabat manusia melalui pemberdayaan semua potensi”.
Ikhtiar Jalan Bersama
Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM merupakan Uskup Bogor keempat, menggantikan Mgr. Angkur yang memasuki usia pensiun. Pergantian Uskup Bogor seolah terjadi begitu cepat dan mendadak karena tak ada gaung-gaung sebelumnya. Namun, sebenarnya persiapan terpilihnya uskup baru telah melalui proses panjang.
Pelayanan Mgr. Paskalis dimulai secara resmi dengan Tahbisan Episkopat pada 22 Februari 2014 di Sentul International Convention Center (SICC) yang menampung sekitar 11.000 orang. Bertindak sebagai penahbis utama Mgr. Angkur dengan ko-konsekrator Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo dan Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng.
Ia memilih motonya sebagai Uskup, yakni Magnificat anima mea dominum yang berarti Jiwaku memuliakan Tuhan (Luk. 1:46). Ini merupakan awalan dari Kidung Maria (Magnificat), sebagai refleksi perjalanan hidup menggerejanya dan penghormatan terhadap Bunda Maria.
The Smiling Bishop adalah satu dari banyak julukan Mgr. Paskalis. Hal ini bukan tanpa alasan, pastoral ramah tamah yang sering dibicarakannya benar-benar terwujud dalam perkataan, tindakan, dan gestur kesehariannya. Uskup yang ini memiliki senyuman khas yang sangat lebar. Ia tidak pernah menolak kala diajak berswafoto menggunakan gawai bersama orang muda sampai dengan orangtua. Di mana ada Mgr. Paskalis, pasti di situ ada kerumunan yang sedang melakukan “jumpa penggemar” dengan idolanya.
Sampai dengan 2021 ini, masa kepemimpinan Mgr. Paskalis menghasilkan banyak perkembangan yang signifikan, mulai dari lahirnya paroki-paroki baru seperti Paroki St. Ignatius Loyola Semplak, Paroki Hati Kudus Yesus Jonggol, Paroki Santa Faustina Bojonggede, dan Paroki Bunda Maria Ratu Sukatani. Sampai dengan fokus kebijakan pastoral yang terarah dan jelas.
Pada awal masa kepemimpinannya, Mgr. Paskalis menerbitkan buku road map pertama yang berisi prioritas kebijakan pastoral Keuskupan Bogor 2016-2020. Adapun lima prioritas tersebut adalah keluarga, orang muda Katolik, pendidikan, sumber daya manusia, serta sosial politik dan kemasyarakatan hidup menggereja. Road map ini bukan sekadar seremonial karena faktanya monitoring secara berkala dilakukan oleh Dewan Pastoral Keuskupan Bogor (DPKB) ke paroki-paroki. Hal ini untuk memastikan kebijakan pastoral dapat berjalan dengan seirama di paroki-paroki.
Menjelang akhir masa berlaku road map pertama, Uskup Paskalis memberi kejutan lagi dengan menggelar Sinode Kedua selama setahun penuh pada 2019. Dibuka pada Jumat, 22 Februari 2019 di Paroki St. Joannes Baptista Parung, Sinode dilakukan bertingkat mulai dari skala paroki, dekanat, sampai keuskupan.
Sinode 2019 Keuskupan Bogor adalah sebuah perjalanan bersama yang dilakukan para pelayan tertahbis dan umat beriman untuk merefleksikan, mengevaluasi, menajamkan, serta membarui reksa pastoral Keuskupan Bogor.
Puncaknya berlangsung di Kinasih Resort & Conference, 5-7 Desember 2019. Perayaan diikuti ratusan orang perwakilan paroki-paroki dengan sukacita.
Setelah melewati sinode kedua bersama-sama, pada akhir 2020 terbitlah road map kedua yang merupakan hasil dari sinode dengan kebijakan pastoral transformatif 2020-2030. Fokus kebijakan kembali terbagi dalam lima bidang yang berbeda, yakni keluarga, pendidikan, orang muda Katolik, lingkungan hidup, dan sosial kemasyarakatan.
Aloisius Johnsis (Bogor)
HIDUP, No.34, Tahun ke-75, Minggu, 22 Agustus 2021