HIDUPKATOLIK.COM – TIDAK sedikit pengamat mengatakan bahwa Gereja dalam penggembalaan Paus Fransiskus adalah Gereja yang berciri sinodal, Gereja yang berjalan bersama (synodus). Di dalam Evangelii Gaudium sendiri sudah dikatakannya bahwa perubahan Gereja berjalan dari bawah, dari pinggiran. Hal itu tercermin dari pilihannya akan kardinal, juga negara-negara yang dikunjungi. Kardinal Mario Grech, yang mengepalai Sekretariat Sinode Uskup di Vatikan, malahan menggambarkan Gereja yang berjalan bersama adalah Gereja yang dikehendaki Allah di milenium ketiga ini, Gereja sebagai umat Allah yang berziarah bersama. Dikatakannya, gambaran ini pertama kali diutarakan oleh Kardinal Carlo Martini, ahli Kitab Suci yang waktu itu Uskup Agung Milan, agar Gereja tidak hidup dalam gambaran monarki tunggal, namun lebih hidup sebagai suatu communio umat Allah, sebagaimana dicita-citakan oleh Konsili Vatikan II. Tidak mengherankanlah kalau Fransiskus menyebut sinodalitas adalah unsur konstitusional dalam kehidupan Gereja.
Sebenarnya Paus sudah merencanakan Sinode Uskup dengan tema Sinode “Menuju suatu Gereja sinodal: persekutuan, partisipasi dan perutusan”. Setelah diundur ke tahun 2022 karena pandemi, rencana tersebut diubah kembali menjadi suatu proses sinode yang melibatkan semua, mulai dari proses sinode tingkat keuskupan dan nasional Oktober 2021-April 2022, kemudian tingkat benua September 2022-Maret 2023, dan hingga di tahapan Gereja universal, Oktober 2023. Tidak mengherankanlah kalau Kardinal Grech menyebut hal ini dalam gambaran, dari suatu peristiwa menuju suatu proses. Sinode bukanlah suatu peristiwa melainkan proses. Bagi Paus sendiri memang proses lebih penting daripada hasil, waktu lebih penting daripada ruang. Gereja yang berjalan bersama adalah Gereja yang menapaki proses.
Berjalan Bersama
Kolegialitas para uskup bersama Paus oleh Paulus VI ditandai dengan dibentuknya mekanisme Sinode Uskup. Langkah yang merupakan buah dari Konsili Vatikan II, sejak ditetapkan oleh Paulus VI dalam Motu Proprio Apostolica Sollicitudo (15 September 1965) itu, telah berbuah nyata dan tentu sudah layak diperbaharui. Paus Fransiskus dalam Konstitusi Apostoliknya, Communio Episcopalis (15 September 2018) menuliskan setelah lebih dari 50 tahun berjalannya wadah Sinode Uskup perlu semakin diarahkan agar wadah tersebut tidak lebih sibuk untuk mempertahankan atau menjamin dirinya sendiri sebagai Gereja, namun mengarahkan diri pada tugas perutusan dasar Gereja untuk mewartakan Injil. Oleh karena itu Gereja, lewat Sinode Uskup, perlu lebih memusatkan diri pada identitas serta perutusan tersebut, aspek misioner Gereja.
Sinode Uskup baginya terutama merupakan langkah mendengarkan, mendengarkan umat Allah untuk secara bersama mendengarkan terang bimbingan Roh Kudus. Oleh karena itu aspek konsultatif merupakan sesuatu yang mendasar, mengenali rasa iman yang sedang hidup. Di sini penting proses penegasan rohani, agar bisa membedakan dengan sekedar pengungkapan pendapat yang masuk akal belaka, sebab kesepakatan Gereja tidak didasarkan pada pemungutan suara belaka, namun bagaimana keterbukaan akan Roh Kudus. Hal tersebut tampak bagaimana Paus Fransiskus menolak usulan yang mendapatkan suara mayoritas besar dalam Sinode Amazon, karena menurutnya usulan tersebut kurang mendengarkan Roh Kudus. Selain itu hasil Sinode baginya bukan hanya titik akhir, hasil keputusan, namun pula titik berangkat bagi pewujudnyataannya, terlebih di konteks Gereja setempat.
Oleh karena itu Gereja sinodal adalah Gereja yang hendak mendengarkan suara semua kawasan, terlebih kawasan yang selama ini jarang didengar dan diperhatikan. Tidak mengherankanlah kalau tema yang diusung adalah soal persekutuan umat beriman, keterlibatan semua dan perutusan. Fransiskus ingin mengarahkan Gereja berfokus pada tugas perutusan utamanya, pewartaan Injil, itulah Gereja yang misioner. Ciri yang menyertai dalam menjalankana tugas perutusan tersebut adalah kemurahan hati. Gereja yang menyatakan dan menunjukkan belaskasihan, itulah yang diharapkan. Karena ini adalah perjalanan hidup Gereja maka ruang keterlibatan yang semakin meluas diperlukan. Mempertimbangkan kepentingan itu, maka diputuskan proses Sinode diperluas dan diperpanjang. Agar proses mendengarkan dan langkah diskresi dapat semakin terjalin, demikian ungkap Kardinal Grech, yang memimpin sekretariat Sinode Uskup.
Tentu proses ini tidak mengingkari ciri pelayanan hierarkis, apalagi pelayanan petrinal, kuasa mengajar Paus, di dalam tubuh Gereja, malahan memperkokoh dan memperluas jangkauan dan cakupan pelayanan tersebut. Paus tidak di atas Gereja, melainkan ada di dalam Gereja, sebagai salah satu umat beriman yang dibaptis dan menjadi bagian dalam kolegialitas para uskup, selain memang merupakan pengganti Rasul Petrus. Hal ini merupakan kenyataan Gereja yang berjalan bersama, umat Allah yang berziarah dalam tapak jalan perutusan Kristus.
Jalan yang ditapaki Gereja di milenium ketiga ini memang adalah jalan sinodal, jalan Gereja yang berjalan bersama. Demikian Paus Fransiskus menggambarkannya. Itulah Gereja yang mendengarkan sensus fidei, kepekaan iman umat beriman. Semua yang suah dibaptis memiliki karunia Roh Kudus, dan Gereja dalam kesadarannya sebagai umat Allah, mendengarkan terang bimbingan Roh Kudus dalam hati semua umat beriman. Vatikan II sendiri menggambarkan sebagai Gereja yang mendengarkan tanda-tanda zaman, sehingga semakin menjadi bagian dari pergulatan historis umat manusia di tengah dunia ini, agar Gereja sebagai sakramen keselamatan semakin mampu mewujudkan dan menata dunia sebagai bagian dari pergulatan sejaran keselamatan Allah.
Pentingnya Spiritualitas
Sekretariat Sinode sendiri telah menyusun struktur yang dimaksudkan untuk mengawal proses sinode ini. Kardinal Jean Hollerich dari Luxemburg dipilih sebagai relator, yang tentu bersama Kardinal Grech bertanggung jawab mengawal proses hingga akhir perumusan hasil. Yang menarik adalah di dalam struktur tersebut ada tim spiritualitas, selain tentu saja tim para teolog. Suster Nathalie Becquart, salah satu sekretaris dari Sekretariat Sinode Uskup, menegaskan akan hal itu, bahwa proses Sinode tidak bisa dilepaskan dari spiritualitas. Tidak ada sinodalitas tanpa spiritualitas, demikian ungkapnya. Pusat atau inti proses Sinode adalah berjalan bersama Kristus dengan mendengarkan Roh Kudus. Oleh karenanya dimensi spiritual menjadi dimensi dasariah dalam kenyataan sinodalitas Gereja. Sebab memang bagi Paus Fransiskus, cara bertindak Sinode adalah diskresi.
Kita diingatkan akan apa yang dikatakan oleh Kardinal Jorge Mario Bergoglio saat konklaf, yang kemudian memilihnya sebagai Paus. Dalam kesempatan itu dia mengatakan tentang gambaran Gereja sebagai Gereja yang berkat kontemplasinya akan Yesus Kristus menjadi Gereja yang mewartakan Injil. Maka ketika ditanya apa yang dilakukannya sebagai Paus, dia hanya mengatakan, untuk menempatkan Kristus berada di pusat, sehingga Dia sendiri yang memperbaharui Gereja. Itulah Gereja yang senantiasa menegaskan kehendak Allah dalam menjalankan tugas perutusannya di dunia ini.
Maka tidahlah mengherankan kalau Sekretariat Sinode sendiri mengharapkan agar proses sinode, pun di level keuskupan, menjadi proses yang setia mendengarkan terang bimbingan Roh Kudus, menyadari spiritualitas sebagai dimensi dasarnya. Itulah Gereja yang hidup dalam kharisma Roh Kudus, dan menapaki jalan kesetiaan memberi ruang kharisma yang berkat Baptisan dan Krisma dicurahkan dalam diri semua umat beriman.
“Gereja sinodal adalah Gereja yang hendak mendengarkan suara semua kawasan, terlebih kawasan yang selama ini jarang didengar dan diperhatikan.”
Romo T Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog Dogmatik
HIDUP, Edisi No. 34, Tahun ke-75, Minggu, 22 Agustus 2021