HIDUPKATOLIK.COM – SONG Fang Klong Cruise yang dinaikinya saat remaja terasa memanggil-manggilnya kembali. Keindahan sepanjang Chao Phraya River dengan gedung-gedung menjulang di kiri kanan dan ikan-ikan gemuk berlompatan menyambut roti yang dilemparkan pelancong dari kapal masih diingatnya betul. Semua ingatan itu kian jelas karena keinginannya untuk melanjutkan studi di Thailand menjadi kenyataan. Pengajuan beasiswanya untuk memperdalam psikologi dikabulkan. Incarannya konsentrasi pada Social and Cross-Cultural Perspectives.
“Sampai di Bangkok, teleponlah pamanmu, Nak. Dia akan menjemputmu. Kamu bisa tinggal di rumahnya. Ibu sudah bicara dengannya,” kata Ibu.
Kening Sambara mengerut. Ia kurang suka tinggal di rumah keluarga. Memang tidak bayar makan dan tempat tinggal tetapi suasana yang diidamkannya bukanlah seperti itu. Ia canggung dengan adik ibunya itu.
“Saya sudah ada tempat, Bu. Kampus itu ada asramanya. Malah lebih dekat jaraknya ke kampus daripada rumah paman,” katanya mengelak.
Suvarnabhumi tampak berbenah. Bandara yang namanya diberikan oleh Raja Bhumibol Adulyajed itu memiliki menara ATC tertinggi ketiga di dunia, dua kali tinggi Katedral Notre Dame di Paris. Kompleks bandara banjir cahaya lampu. Pantas namanya Suvarnabhumi, Tanah Emas.
Sambara masih punya waktu beberapa hari sebelum agenda perkuliahan dimulai. Ia juga masih menunggu seseorang yang akan menjadi teman sekamarnya. Lumayan, sekamar berdua jadi ia hanya membayar 2.800 Baht per bulan, tidak perlu semahal di Chulalongkorn. Sambara meluncur ke Casa Lapin. Ice Coffee Thai Style dan Pandan Coconut Cake menemani kesendiriannya. Tiba-tiba matanya mengarah ke bagian ujung yang sedikit remang-remang. Ia merasa janggal. Seorang perempuan dengan rambut sepunggung tampak mengusap matanya dengan tisu. Sebagian wajahnya tertutup rambut yang tergerai.
“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya mengagetkan perempuan itu.
Anggukan lemah perempuan itu mengantarnya duduk. Sambara memainkan gelas enamelnya mencari kata-kata untuk memulai percakapan.
“Langit cerah. Sinar matahari memantul dari balik King Power Mahanakhon. Kamu tidak ingin melihat sunsetnya yang seksi?” tanya Sambara.
Yori mengangkat kepalanya. Mata Sambara terbelalak. Dilihatnya biru memar di pipi gadis itu tapi ia belum siap bertanya, khawatir gadis itu tersinggung. Hening beberapa waktu di antara mereka. Sayup-sayup terdengar grup musik dari stage di pojok yang lain sedang memainkan satu You’re Magic dari Brian Culbertson.
“Sunset hanya untuk mereka yang telah meraih impiannya,” kata Yori.
“Siapa tahu sunset kali ini justru menjadikan yang melihatnya mampu meraih impian,” kata Sambara.
Yori tersenyum datar. Sambara melihat senyum tipis itu. Ia melihat celah yang baik untuk lebih mengenal Yori. Sambara bercerita tentang kota kecilnya di Kepulauan Anambas, Indonesia. Tentang pantai-pantainya yang berpasir putih dan pembibitan ikan napoleon, ikan mahal yang diekspor ke Jepang dan Thailand. Yori terkikih ketika Sambara bercerita tentang dirinya yang kalah main tebak-tebakan lalu diceburkan ke laut oleh teman-temannya.
Esok harinya Yori menjadi pemandu saat mereka berkeliling Bangkok. Gadis yang periang itu memberi inspirasi untuk studi psikologi yang akan dia perdalam. Secara lebih luas, ia punya ide meneliti perspektif sosial masyarakat Thailand dan budaya yang ada dalam masyarakatnya. Bukan tempat-tempat baru bagi Sambara tetapi perubahan lebih bersih dan indah menyamankan mata. Mereka tidak lagi ke Grand Palace, Wat Arun, dan Giant Swing, tetapi menikmati kedekatan dengan masyarakat di Damnoen Saduak Floating Market. Sambara teringat pasar terapung di Muara Kuin, kampung asal ayahnya. Beragam sayur dan buah-buahan, juga pakaian dan barang elektronik dijajakan di perahu yang berseliweran.
Memar di pipi Yori berangsur-angsur hilang bersamaan dengan terbitnya keceriaan pada gadis ramping itu. Yori mengagumi cara Sambara memperlakukannya. Pria yang ramah, punya selera humor yang baik, dan lembut memperlakukan perempuan beginilah yang membuatnya jatuh hati. Harapannya untuk hidup bersama Sam melambung.
“Hat Pramong ini sangat cantik ketika matahari terbenam,” kata Sambara.
“Semoga matahari tidak mengajak kita terbenam dalam kehidupan tak berketentuan,” jawab Yori.
“Segera setelah studi selesai, aku mengajakmu berjumpa orangtuaku di Indonesia,” kata Sambara.
Yori tersenyum senang. Direbahkannya kepalanya di bahu Sambara. Pada lelaki itu kini seluruh hidupnya digantungkannya. Telah benar-benar putus dia dengan Channarong yang selama ini lebih banyak membuat memar hati dan pipinya. Lelaki pencemburu itu jadi makin pemberang setiap kali mabuk. Tidak ada lagi yang dapat diharapkan pada lelaki yang sekarang jadi pengangguran itu.
“Bawa aku hidup di Indonesia, Sam,” kata Yori.
Lengan Yori merangkul gadis itu. Dia bisa merasakan kepedihan-kepedihan yang pernah dilewatinya. Hidup yang dicita-citakannya tidak lagi seperti pada awalnya. Ambisi dan keangkuhan telah mengubah Channarong menjadi bengis dan kasar pada Yori.
Dalam kesempatan libur kuliah, Sambara membawa Yori pulang ke Indonesia. Ingin diperkenalkannya gadis pujaan itu pada kedua orang tuanya. Ia berjanji di dalam hati, akan membahagiakan Yori. Segala urusan perpindahan kewarganegaraan dari Thailand ke Indonesia akan dia urus segera.
“Aku tak sabar ingin melihat negerimu,” kata Yori.
“Indonesia negeri yang indah, tidak kalah dengan negerimu. Kampungku lebih-lebih. Masih alami dan memesona. Kita akan berbulan madu di Pulau Durai. Puaskan hobi divingmu. Terumbu karangnya sangat indah. Kamu pasti akan terpukau melihatnya,” kata Sambara.
Malam ini Yori tidur di rumah orangtua Sambara. Harum angin laut menyusup dari pintu yang belum tertutup. Direndanya harapannya. Angan-angan hidup berbahagia bersama Sambara dilengkapi dengan 2-3 anak membuat Yori tersenyum.
Sambara muncul dari kamar sambil memegang selembar kertas.
“Apa ini, Sayang?” tanyanya.
Yori menoleh. Matanya terbelalak melihat kertas putih berlogo itu. Wajahnya kaku seketika. Darahnya terhenti. Ia membiru dan pucat demi dilihatnya Sambara menemukan selembar kertas yang disimpannya di dasar kopor. Suasana jadi mencekam. Hanya suara angin yang sesekali berembus dan burung malam yang mengabarkan mendung.
Sambara pun sedang menata hatinya. Gemuruh di dadanya tadi dicobanya untuk dikuasai. Bagaimana pun ia tidak tega berbicara kasar pada gadis yang dicintainya ini. Ia menarik napas panjang. Hatinya berdesir.
“Kita tidak mungkin lanjut, Sayang,” kata Sambara melemah.
Seketika, tangis Yori pecah. Ia menghambur menuju Sambara yang masih mematung di ambang pintu tetapi Sambara tidak membalas pelukan Yori. Dibiarkannya gadis itu meraung dan memohon-mohon. Sambara tak bergeming. Matanya menerawang di kejauhan, seolah dicarinya bibir pantai yang bersih dari kabut yang menggantung.
“Kita terpaksa membatalkan rencana pernikahan kita,” kata Sambara datar.
Kalimat yang nyaris bisikan itu serasa palu godam yang meremukkan Yori. Raungannya memanjang. Ia mencoba menjelaskan duduk perkaranya di tengah raungan dan isak tangis yang menderu. Dipeluknya tubuh Sam dari belakang. Ia benar-benar tidak ingin melepaskan tubuh lelaki yang dicintainya itu. Tiba-tiba pelukannya melemah dan tangisnya berangsur mereda. Yori jatuh tergeletak. Ia pingsan. Sam terkejut. Ia membalikkan badan dan segera mengendong Yori, dibawanya ke kursi panjang di teras. Diusapnya wajah Yori. Wajah yang mirip Ann Thongprasom itu ditatapnya. Selembar kertas bertuliskan sex change surgery certificate yang terjatuh di depan kakinya itu memvonis hidupnya. Ia tidak mungkin melanjutkan hubungan hingga ke jenjang pernikahan karena Yori seorang transpuan. Tidak ada sama sekali alasan yang menguatkan untuk mengajukan seluruh persyaratan pernikahan Katolik. Gereja tidak akan membolehkan dan tidak akan meresmikan mereka menjadi suami istri.
Yori masih belum siuman. Ditatapnya lekat-lekat gadis yang menyimpan hatinya selama ini. Tebersit iba pada gadis yang bertahun-tahun perjuangan hidupnya seperti kisah-kisah sinetron. Bibir Yori masih pucat, sepucat langkahnya nanti.
Oleh Lidwina Ika
HIDUP, No. 33, Tahun ke-75, Minggu, 15 Agustus 2021