web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

“Gitar” Romo Joy dengan “Nada Dasar C”

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Sapanjang hidup ini, Romo Aloysius Susilo Wijoyo ingin terus memetik gitar dengan nada dasar C (Cinta).

ROMO Aloysius Susilo Wijoyo, atau Romo Joy selalu melihat dirinya sebagai manusia biasa dengan rahmat imamat yang luar biasa. Hal yang membuat dirinya luar biasa bukan kemampuan fisik atau kepintarannya, tetapi rahmat imamat. Sebagai manusia biasa, ibaratnya, ia hanya ingin selalu memetik gitar dengan nada dasar C (Cinta) agar menjadi nyanyian indah bagi hidup dan pelayanannya. Bagaimana petikan gitar dengan nada dasar C dalam hidup panggilan Romo Joy? Berikut petikan wawancaranya:

Ka-ki: Rmo Aloysius Susilo Wijoyo (kanan) Ignatius Kardinal Suharyo, Romo Gunawan. (Dokpri)

Sudah sejak kapan Romo memiliki minat di bidang musik?

            Sebenarnya saya gemar bermain gitar sejak kecil di waktu Sekolah Dasar. Hanya saja kemampuan ini mulai terasah kemampuan itu sejak tercatat sebagai murid Seminari Menengah Mertoyudan tanggal 15 Agustus 1983. Meskipun saya dari Jawa dan tinggal di Jakarta tetapi ketika bergabung dengan 300-an anak di asrama, itu sebuah tantangan tersendiri. Prinsip kedisiplinan dan studi yang ketat membuat saya menjalani panggilan dalam perjuangan. Sebutlah panggilan itu tidak mudah dengan kondisi kehidupan asrama yang demikian. Ada-ada saja cerita pinggiran yang mewarnai perjalanan panggilan di Mertoyudan. Berhadapan dengan situasi kehidupan asrama dan studi menjadi romo yang demikian, saya berusaha tampil gembira. Ada satu suasana yang selalu membuat saya gembira dan bersemangat adalah pagelaran musik atau Malam Musik Seminari (Mamuri) di mana setiap seminari diberi kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat di bidang musik. Sejak itu saya sudah memiliki minat khusus di bidang musik. Bahkan saya pernah menjuarai lomba cipta lagu di Seminari Mertoyudan dengan judul “Saksikanlah”. Sejak itu saya mulai makin bersemangat untuk mencipta lagu.

Baca Juga:  Perlu Peningkatan Kapasitas, Unio Regio Makassar-Amboina-Manado Adakan Pelatihan Motivasi dan Kepemimpinan kepada Para Imam

Sudah berapa lagu yang Romo hasilkan sejak seminaris sampai sekarang?

            Dalam buku saya berjudul: “Song of Joy”, buku yang juga sebagai rangkaian perayaan 25 tahun imamat, sudah ada 115 lagu yang saya karang dari berbagai kategori. Ada Kidung Ekaristi, Kidung Keluarga, Kidung Panggilan Hidup, Kidung Maria, Kidung Malaikat dan Orang Kudus, Kidung tentang Komunitas dan Pelayanan Kelompok, dan Kidung Kerahiman Ilahi. Di dalamnya ada lagu yang menjadi tema Sinode II Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), ada lagu bertema Arah Dasar Pastoral KAJ, lagu dengan tema tahun pastoral, dan lagu dengan tema Aksi Puasa Pembangunan KAJ. Sampai sekarang juga beberapa lagu menjadi lagu yang cukup dikenal di tengah umat dan sering dibawakan dalam Misa hari Minggu atau perayaan-perayaan khusus gerejawi.

Apa inspirasi dan pesan utama dari karya-karya Romo?

            Menurut saya, seorang imam selalu yang memandang bahwa segala pengalaman hidup adalah jalan komunikasi Tuhan dengan dirinya. Saya juga demikian yang memandang musik adalah sebuah jalan dalam mengasah pengalaman rohani saya. Allah bisa menghadirkan diri lewat peristiwa-peristiwa dan saat-saat yang dalam bahasa manusia dianggap sebagai “kebetulan”. Saya mencoba menangkap pengalaman kehadiran Allah yang “kebetulan” itu dengan dibantu sedikit inspirasi dari wahyu, diekspresikan dalam lirik-lirik lagu dengan pesan cinta, kesetiaan, dan pengorbanan. Inspirasi lirik-lirik lagu tak lain dari kata-kata Kitab Suci. Dalam karya-karya ini saya punya pesan ibaratnya saya ingin selalu memetik gitar dengan nada dasar C (Cinta) agar menjadi nyanyian indah dalam hidup dan panggilan saya.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Apa yang mau direfleksikan dalam perjalanan 25 tahun imamat ini?

            Dalam rangka perayaan 25 tahun imamat, panitia membuat sebuah logo. Dalam logo itu tertulis Sabda Tuhan: “Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 20:28). Sabda ini adalah moto tahbisan saya sewaktu menjadi imam 25 tahun lalu. Sabda Tuhan ini senantiasa saya rasakan dan mengimani penyertaan Tuhan dalam hidup saya yang luar biasa. Tuhan Yesus lebih dahulu mencintai saya, dan saya hanya menanggapi cinta-Nya dengan menjawab panggilan-Nya untuk menjadi imam-Nya. Dengan kasih-Nya yang tak berkesudahan, jaminan perlindungan akan selalu dirasakan oleh setiap manusia, termasuk saya. Untuk itu pada perayaan 25 tahun ini saya pantas bersyukur karena penyertaan dan cinta Tuhan dalam suka dan duka dalam kelemahan dan kelebihan saya.

Mengapa Romo melihat rahmat imamat itu sebagai sesuatu yang luar biasa?

Dengan menjadi imam (yang melulu adalah rahmat Tuhan yang cuma-cuma, saya, — apa adanya, dengan sedikit kelebihan dan banyak kelemahan (semoga dimampukan) untuk mencintai Tuhan lebih daripada “yang lain” (untuk tidak mengatakan harta, takhta, dan wanita). Alasan ini sejalan dengan potongan syair lagu ciptaan saya yang berjudul: “Segalanya untuk Semuanya”, yakni… “kutundukkan hati dengan segala yang kumiliki untuk semuanya Tuhan.” Dalam perjalanan panggilan sebagai romo ini, saya melihat kasih setia Tuhan itu tetap untuk selama-lamanya. Cinta Tuhan itu menggunung dalam perjalanan 25 tahun sebagai seorang imam. Saya hanya manusia biasa yang penuh kelemahan dan rapuh dibandingkan dengan cinta Tuhan.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Harapan Romo di perayaan 25 tahun imamat ini?

            Saya hanya melihat jika sesuatu yang baik dari saya, percayalah itu semua dari Tuhan. Jika ada sesuatu yang tidak baik dari saya, percayalah itu semua dari saya. Umat memang membutuhkan imam, tetapi imam juga membutuhkan umat. Saya berharap umat dan imam bersama-sama memperhatikan, saling bekerja sama dan saling mendoakan. Merayakan 25 tahun imamat bukan sesuatu hal baru yang membuatku tiba-tiba berubah menjadi semakin tinggi hati, merasa diri senior dalam panggilan, atau rasa bangga sebagai imam. Sebaliknya saya merasakan Tuhan telah menempatkan hati yang baru dengan semangat baru di jalan panggilan ini sehingga saya harus penuh sukacita untuk terus melangkah menjawab panggilan Tuhan. Andai kekuatan itu mulai melemah, biarlah Tuhan yang akan menjadi penopang dalam panggilan ini.

Yusti H. Wuarmanuk

 HIDUP, Edisi No. 33, Tahun ke-75, Minggu, 15 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles