HIDUPKATOLIK.COM – Selama 25 tahun imamatnya, ia percaya ada tiga hal yang tidak bisa ditolak oleh seorang imam.
PERAYAAN ulang tahun imamat ke-25 Romo Aloysius Susilo Wijoyo direfleksikan sebagai sebuah perjalanan syukur. Sebenarnya, rencana awal, saat penuh rahmat ini akan dirayakan dengan beberapa kegiatan. Pertama, napak tilas ke tempat-tempat di mana benih panggilan imamat bertumbuh dan berkembang. Kedua, mencoba variasi berpastoral di luar Jakarta. Ketiga, ziarah dan rekreasi. Keempat, kursus singkat. Kelima, retret dan keenam membuat buku biografi dan kumpulan lagu-lagu ciptaan Romo Joy, sapaannya.
Tapi sayang, rencana yang sudah diatur sedemikian rupa, tiba-tiba berubah karena pandemi Covid-19. Karena pandemi ini, rencana perayaan disederhanakan menjadi membuat buku biografi dan buku kumpulan lagu-lagu dan pantun, merekam beberapa lagu favorit dan tentu saja dimahkotai Misa syukur offline terbatas dengan protokol kesehatan ketat sekaligus Misa online.
“Walaupun dirayakan dalam kesederhanaan, saya percaya perayaan ini tetap berkesan karena ada refleksi yang mendalam yaitu imamat ini melulu cinta Tuhan. Rahmat cuma-cuma dari-Nya. Saya yang cuma manusia biasa mencoba dengan sedikit kelebihan dan banyak kekurangan menapaki jalan Tuhan,” ujar Romo Joy.
Serba Bisa
Romo Joy mengawali pelayanan pertamanya sebagai pastor di Paroki St. Yakobus Kelapa Gading. Ia mengisahkan, dulu Kelapa Gading tak semegah sekarang. Sampai pertengahan tahun 1900-an, persawahan masih terlihat di kiri-kanan jalan. Ia belajar banyak hal khususnya soal administrasi dan pastoral sebagai imam muda.
“Saya belajar satu hal dari para senior di Kelapa Gading yaitu harus ke mana-mana khususnya selesai Misa wajib bertemu dengan umat. Tidak boleh melepaskan jubah, lantas berdiri di depan gereja membawa kertas dan pena dan mencatat apa kebutuhan umat. Jangan sampai kebutuhan spiritual mereka terganggu hanya gara-gara pastornya menutup diri dari mereka,” cerita Romo Joy.
Dari Kelapa Gading, Romo Joy mendapat kesempatan sebagai pastor pendamping di Unika Atma Jaya Jakarta menggantikan Romo Antonius Krismanto yang meninggal dunia karena kecelakaan. “Secara manusiawi saya menolak tugas ini, karena tidak punya pengalaman sekaligus tidak punya pengetahuan tentang pedadogi. Tapi akhirnya demi ketaatan saya menerima tugas ini juga,” cerita Romo Joy.
Ia melayani sebagai pastor mahasiswa dari tahun 1999-2003 hingga akhirnya mendapat kesempatan sebagai pastor pamong bagi para frater di Wisma Cempaka Putih menggantikan Romo Gunawan Tjahja yang juga baru meninggal. “Di tempat ini juga saya merasa kesulitan karena harus menjadi ‘cermin’ bagi para frater,” ujarnya lagi.
Ia mengakui bahwa dirinya bukan seorang gembala yang tipikalnya duduk di belakang meja, suka membaca, menghadap komputer, atau memeriksa hasi refleksi dan pekerjaan para frater. “Saya kadang bosan sebagai manusia karena harus mengikuti rutinitas para frater. Sedangkan harapan saya adalah hanya ingin jadi pastor paroki yang sederhana. Tinggal bersama umat dan bersukacita bersama mereka,” ceritanya.
Tugas sebagai pamong para frater ia harus emban sampai Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ mempercayakannya sebagai pastor rekan di Paroki Kristus Raja Pejompongan hingga akhirnya menjadi kepala paroki dibantu Romo Widagdo Rochadi.
Di Pejompongan, Romo Joy mengakui belajar banyak hal khususnya komunikasi yang baik dengan pastor senior. “Bayangkan saja Romo Rochadi ditahbiskan imam saya masih SMA. Di Pejompongan saya menjadi kepala paroki baginya. Saya harus membangun komunikasi yang baik dengannya. Dan relasi kami berjalan baik berkat komunikasi yang intens itu,” ujarnya.
Selanjutnya dari Pejompongan, Romo Joy mendapat tugas sebagai Kepala Paroki St. Matias Rasul Kosambi. Tempat ini menjadi yang terlama dalam karya pelayanan Romo Joy. Sembilan tahun sebagai Pastor Paroki di Kosambi. “Kadang-kadang saya berpikir mungkin Kardinal Suharyo sudah lupa pada saya sehingga terlalu lama saya melayani di Kosambi.” Apakah demikian?
Nyatanya beberapa waktu kemudian, Kardinal Suharyo mempercayakannya sebagai Kepala Paroki St. Gabriel Pulo Gebang. Ia didampingi Romo Alphonsus Setya Gunawan yang dulunya sebagai Kepala Paroki St. Yakobus Kelapa Gading. Sejak 27 Agustus 2017, Romo Joy bergabung di Paroki Pulo Gebang.
“Di Paroki ini saya merasa everyday is holiday. Saya punya banyak harapan lewat program-program pastoral saya, tetapi akhirnya tidak berjalan karena pandemi. Tapi saya menikmati semua itu karena saya yakin semuanya atas kehendak Tuhan,” sebutnya lagi.
Magis Romo Joy
Merefleksikan semua tugas dan pelayanannya mulai dari pastor muda di Kelapa Gading hingga Kepala Paroki Pulo Gebang, Romo Joy menjelaskan bahwa ada tiga hal yang harus diterima setiap gembala. Pertama, seorang pastor tidak bisa memilih tempat tugas. Kedua, seorang pastor tidak bisa memilih teman bertugas. Ketiga, seorang pastor tidak bisa memilih durasi dan lamanya bertugas.
Maka, lanjutnya, hiduplah dengan prinsip apa adanya bukan ada apanya. Nikmat panggilan ini dari hal-hal yang sederhana. Tidak perlu berlebihan dalam hidup, tidak perlu juga terlalu miskin agar dikasihani. Bersikaplah wajar dan sadar bahwa kita sebenarnya di hadapan Allah adalah umat yang leman.
Refleksi ini ia alami sendiri dalam perjalanan imamatnya. Ia bercerita, waktu pindah dari Kelapa Gading ke Atma Jaya ia hanya diantar oleh seorang sekuriti yang kebetulan bisa menyetir. Dari Atma Jaya ke Wisma Cempaka Putih dia menyetir mobil sendiri ditemani beberapa mahasiswanya. Dari Cempaka Putih ke Paroki Pejompongan diantar dua orang ibu yang kebetulan punya mobil dan seorang sopir. Dari Pejompongan ke Paroki Kosambi diantar langsung Pastor Rochadi. “Baru dari Paroki Kosambi ke Pulo Gebang saya diantar dan diterima langsung oleh DPP dan DPH dari dua paroki tersebut,” ujarnya tersenyum.
Selama pelayanannya, Romo Joy selalu dianggap serba bisa dan kerap menggantikan pastor yang meninggal dunia atau karena persoalan internal lainnya. Ketika pindah ke Atma Jaya, ia menggantikan Romo Krismanto. Begitu juga saat pindah dari Atma Jaya ke Wisma Cempaka Putih, menggantikan pamong frater. Pindah ke Pejompongan dan Paroki Kosambi. Di Paroki Kosambi ia menggantikan almarhum Pastor F.X. Suherman yang karena alasan tertentu menepi di Rumah Retret Lembah Karmen, Cikanyere.
“Kalau merefleksikan perjalanan imamat saya dengan tugas-tugas yang dipercayakan kepada saya, rasa-rasanya seorang gembala itu harus siap menerima tugas di mana saja. Suka tidak suka, senang atau tidak, harus diterima dengan lapang dada. Karena seorang gembala telah berjanji untuk taat pada uskup dan pimpinannya,” tegasnya.
Ia menambahkan, dirinya lepas bebas saja. Tidak perlu punya banyak barang, apalagi barang-barang mewah yang berlebihan. “Saya tidak perlu memiliki banyak keinginan yang berlebihan. Mungkin saya perlu juga sadar bahwa siapa saya, apa peran saya di tengah umat, dan tujuan hidup saya,” imbuhnya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, No. 33, Tahun ke-75, Minggu, 15 Agtustus 2021