HIDUPKATOLIK.COM – SOSOKNYA tidak begitu asing bagi masyarakat etnis Dayak di Kalimantan Tengah, Timur, dan Selatan. Puluhan tahun yang lalu, tepatnya 1964 ia datang ke Indonesia dan menghabiskan sebagian besar hidupnya bagi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di bumi Borneo.
Tahun 2021, 2 Juli lalu, ia merayakan pesta imamat ke-60. Dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Bunda Maria Banjarbaru yang dipimpin Pastor Agustinus Doni Tupen, MSF (Propinsial MSF Propinsi Kalimantan), Pater Stahlhacke berkisah, bahwa seluruh hidupnya di atur oleh penyelenggaraan Ilahi.
Setelah tahbisan tahun 1961, pimpinan MSF memintanya melanjutkan studi di Universitas Bonn, Jerman untuk mempersiapkannya menjadi guru di sekolah milik MSF. Waktu di Universitas Bonn ia sempat berkenalan dan mendapat kuliah dari Prof. Joseph Ratzinger yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI. Entah bagaimana, panggilan Ilahi telah menggerakkan hatinya untuk mengabdikan diri sebagai misionaris. Borneo adalah pilihannya.
Ia memberikan diri bagi Gereja Indonesia khususnya bagi pemberdayaan masyarakat Dayak selama lebih dari setengah abad. Pelayanannya sangat beragam. Mulai dari pelayanan pastoral sampai pelayanan yang bersifat sosial karitatif. Semuanya ia lakukan dengan kobaran semangat api misioner untuk memberdayakan umat dan masyarakat di paroki-paroki yang dilayaninya.
Sembilan tahun ia juga memegang jabatan sebagai Provinsial MSF Kalimantan (1990-1999). Selama periode kepemimpinannya, banyak keputusan mendasar bagi MSF khususnya MSF Kalimantan seperti memulai pusat MSF Propinsi Kalimantan di Banjarbaru dan mendirikan Seminari MSF Johaninum.
Ia memandang jauh ke depan. Menurutnya, MSF mau tidak mau harus fokus pada karya kerasulan, misi dan promosi panggilan di kawasan Asia. Karena di kawasan ini, khususnya di Indonesia, Filipina dan Vietnam, semakin banyak kaum muda yang tertarik menjawab panggilan Tuhan dengan melamar menggabungkan diri menjadi MSF. Baginya, kelangsungan sebuah konggregasi tidak hanya ditentukan oleh kemandirian sumber daya finansial melainkan dan terutama oleh kemandirian personalia.
Saat ditanya mengenai moto tahbisannya, ia tidak mengingatnya lagi. Tetapi merenungkan kembali perjalanan 60 tahun imamat, membawanya pada rasa syukur yang tiada henti atas api misioner yang Tuhan tanamkan di dalam hatinya.
Panggilan dan perutusannya tentu saja tidak selalu lurus. Ada banyak keputusan yang menurut hitungan manusiawi sulit. Ada sejumlah situasi yang membuat jalan harus berliku-liku, berbelok arah, jatuh-bangun bahkan seperti menemui jalan buntu. Tetapi ia yakin, jalan Tuhan pasti benar meski harus dilewati dengan berliku-liku.
Ia sangat terkesan dan terinspirasi dengan moto hidup Beata Maria Theresia Bonzel dari Olpe, Er führt, ich gehe (Ia menuntun, aku berjalan), kisahnya dalam suatu kesempatan untuk menggambarkan betapa penyelenggaraan Ilahi sungguh telah menuntunnya menjadi imam dan misionaris di bumi Borneo.
Selamat merayakan 60 tahun sebagai imam, Pater Stahlhacke!
Pastor Ignas Tari, MSF (Banjarbaru)
HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-75, Minggu, 8 Agustus 2021