web page hit counter
Senin, 16 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Membangun (Kembali) Jiwa Bangsa

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – LAGU Kebangsaan Indonesia Raya, menyebut frasa penting, yakni bangunlah jiwanya, lalu dilanjutkan dengan bangunlah badannya. Tentu ada makna yang sangat dalam dan futuristik yang termuat dalam teks tersebut, terutama diletakkannya frasa bangunlah jiwanya mendahului frasa bangunlah badannya. Apakah teks tersebut berujar secara mudah, yakni bahwa membangun jiwa lebih penting daripada membangun “badan”? Rasanya tidak demikian. Keduanya tidak dapat dipertentangkan. Sebagai bangsa, keduanya merupakan satu kesatuan.

Tulisan ini tidak hendak membahas perbandingan dua frasa tersebut, melainkan lebih ingin mengulas tentang frasa bangunlah jiwanya, yang mungkin dapat memberi gambar lebih luas, sehingga jelas tempat dari langkah bangunlah badannya dalam kerangka pembangunan bangsa.

Kesatuan sebelum Merdeka

Pelajaran sejarah di sekolah, memberi pengetahuan tentang apa yang telah terjadi di masa kolonial. Apabila disederhanakan, barangkali boleh digambarkan sebagai keadaan di mana manusia jajahan ditempatkan sebagai manusia yang berada di bawah kuasa penjajah. Apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan; apa yang benar dan apa yang salah; dan ragam ketentuan lainnya, semua diatur oleh penguasa kolonial. Singkatnya, kebenaran, dalam hal kerangka suatu tatanan, merupakan hak monopoli pemerintah kolonial.

Dalam keadaan yang demikian itu, segala gerak langkah warga jajahan, sejauh bukan merupakan tindakan yang disetujui oleh pemerintah, maka akan dengan mudah ditempatkan sebagai lawan atau aktivitasnya masuk dalam kategori perbuatan yang berbahaya bagi keberlangsungan kolonialisme. Oleh sebab itu, ada banyak tokoh yang harus merasakan kerasnya hukum kolonial. Bagi para tokoh tersebut, kebijakan kolonial membawa dampak pada pribadi mereka. Namun bagi publik, tindakan represif penguasa kolonial, telah membawa suasana yang dapat dikatakan telah makin menempatkan bumi putera sebagai warga kelas dua.

Karena itu,  upaya-upaya untuk membawa alam merdeka tentu tidak mudah. Pertama, upaya tersebut harus mampu meyakinkan kepada setiap elemen masyarakat, bahwa kemerdekaan merupakan hal yang mungkin dicapai. Secara demikian, pada diri warga haruslah terdapat atau telah bersemayam jiwa mereka. Suatu jiwa yang pada dirinya terdapat keyakinan bahwa seharusnya manusia setara. Tidak ada manusia yang berhak untuk ditinggikan martabatnya dari manusia lainnya.

Baca Juga:  Paus Fransiskus dan Citra Hidup Ideal

Kedua, upaya yang sedemikian rupa harus mampu membangun entitas yang menyatukan warga yang terpisah oleh berbagai ragam ikatan.   Dalam perspektif inilah, Sumpah Pemuda sebagai pintu masuk sekaligus jalan untuk menyatukan bangsa menjadi penting.  Sumpah Pemuda merupakan senyawa baru, yang merupakan gabungan dari berbagai unsur yang berbeda. Sebagai entitas baru, bangsa bukan sekedar berdimensi politik (power), akan tetapi juga berdimensi mental sosial. Maksudnya adalah bahwa dengan entitas baru sebagai bangsa, diharapkan ada lahir suatu sikap rasa percaya diri dan rasa bangga akan dirinya.

Kedua hal tersebut, dapat dikatakan merupakan faktor penting—bahkan suatu prasyarat– yang memberi landasan kokoh bagi kemerdekaan bangsa. Selanjutnya, persis setelah kemerdekaan diproklamasikan, ikatan kebangsaan, menjadi sumber tenaga, yang bertanggungjawab atas dua soal pokok: (1) tetap bersatu sebagai bangsa, terutama ketika bangsa memutuskan membentuk sebuah negara baru; dan (2) menjadikan persatuan, tidak hanya sebagai bentuk statis, tetapi menjadikan kekuatan dinamis, agar dapat membawa entitas baru ke dalam tata hidup bersama yang baru, dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.

Memperkuat Jiwa Bangsa

Kini bangsa telah melewati usia lebih dari 75 tahun kemerdekaannya. Apa yang semula diharapkan adalah: (a) di alam merdeka, bangsa dapat lebih mampu mewujudkan tata hidup bersama dengan prinsip kesetaraan, atau keadaan dimana tidak ada lagi pihak yang merasa lebih berhak atas yang lain, atau pihak yang dapat berdiri di atas yang lain; dan (b) di alam merdeka, setiap elemen bangsa menjadi lebih percaya diri dan saling percaya, serta saling bangga satu sama lain. Sebagai bangsa sudah selayaknya hidup bersama dengan interaksi yang lebih akrab, kekeluargaan, dan bekerja bersama mencapai kehidupan yang lebih baik.

Namun demikian kita menyadari bahwa tidak semua harapan terwujud. Malah dalam beberapa kasus ditemukan keadaan di mana yang berlangsung justru sangat berbeda dengan cita-cita yang telah dicetuskan. Pertama, tidak semua warga hidup dalam keadaan baik. Ada sebagian yang masih dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, secara sosial ekonomi, yang terjadi justru suatu kesenjangan yang menurut para ahli membahayakan keutuhan bangsa. Ketiga, kohesi sosial, yang merupakan fundamen bagi gerak bangsa dalam membangun, justru sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah. Proses politik yang dimaksud menjadi wahana bagi keterlibatan rakyat dalam menentukan arah masa depan bangsa, justru menyisakan residu yang menjadi rabuk pembelahan sosial.

Baca Juga:  75 Tahun RSBM: Akan Terus Setia Melayani

Di luar ketiga hal tersebut, didapati keadaan di mana bangsa belum dalam kemampuan berhadapan secara egaliter dengan budaya lain yang masuk. Publik menyaksikan dengan tanpa daya, bagaimana budaya luar telah membaur dengan angkatan baru, dan memberi kesan-kesan seakan-akan bangsa tidak punya produk budaya yang dapat dibanggakan. Nilai-nilai baru saling bersliweran, sementara standar moral publik terus tergerus, sekurang-kurangnya yang diperlihatkan dengan makin maraknya kasus korupsi. Pun demikian kita menyaksikan sebagian elit (terutama yang memiliki peran publik), tidak tampil dengan kepekaan sosial yang tinggi. Dalam kesulitan dan penderitaan yang amat berat akibat wabah Covid-19, ada saja pertunjukan hidup mewah yang berlebih-lebihan. Hal-hal di atas, merupakan keadaan yang membuat bangsa mundur jauh ke belakang, seperti kembali berada di masa dulu, dimana rasa kebersamaan tidak memimpin hidup bersama.

Keseluruhan tantangan tersebut dapat dikatakan sebagai tantangan yang terkait dengan jiwa bangsa. Apa yang dimaksud adalah suatu tantangan yang merujuk pada melemahnya jiwa bangsa, baik dalam hidup warga sebagai bagian dari sebuah bangsa, maupun dalam kerangka hidup bernegara. Melemahnya jiwa bangsa membuat kebersamaan warga tidak serta-merta dapat dikonversi menjadi energi yang amat diperlukan untuk membawa bangs aini menuju masa depannya. Hal ini ditunjukkan, misalnya, dengan peristiwa politik yang tidak makin mematangkan demokrasi, malah sebaliknya. Sementara itu, proses pengambilan kebijakan dan kualitas kebijakan yang terus mendapatkan resistensi publik, menunjukkan bahwa proses yang dijalankan belum secara persis mengekspresikan kerja demokrasi substansial.

Baca Juga:  70 Tahun Uskup Sintang, Mgr. Samuel Oton Sidin, OFM Cap: Berharap Bisa Terus Berkarya

Dalam situasi yang demikian, bangsa perlu memikirkan dan melakukan langkah-langah  strategis. Ada dua yang dapat diusulkan, yakni: pertama, langkah yang disebut sebagai penguatan masyarakat sipil (civil society). Penguatan yang dimaksud tidak harus bermakna politik. Tidak diarahkan untuk membentuk semacam counter politic, sebaliknya dimaksudkan untuk menjadi lokomotif dalam mengembalikan jiwa bangsa. Seluruh kekuatan sosial kemasyarakatan, diharapkan ambil bagian, terutama dalam menyusun kurikulum bangsa, untuk mengembalikan jiwa bangsa, sehingga setiap elemen bangsa kembali memiliki rasa percaya diri, rasa bangga dan punya harga diri, rasa setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan sikap saling percaya serta saling menghormati sebagai sesama warga.  Keadaan krisis kesehatan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh wabah Covid-19 ini, kiranya dapat menjadi persemaian yang subur bagi konsokidasi masyarakat sipil , dalam tema solidaritas kemanusiaan.  Gelora semangat untuk saling tolong antar warga, antar komunitas gerakan kemanusiaan akan menjadi bibit unggul yang bertemu dengan lahan yang subur.

Kedua, langkah yang disebut di sini sebagai upaya makin mendekatkan kebijakan negara dengan kepentingan publik, melalui demokrasi substansial. Hendak dikatakan di sini bahwa demokrasi substansial adalah demokrasi yang dihidupi oleh jiwa bangsa. Dalam model yang demikian, tidak mungkin ada kebijakan yang bertentangan dengan jiwa bangsa atau bersifat memperlemah rasa kebangsaan. Kampanye mencintai atau bangga produk dalam negeri, misalnya, adalah kampanye yang tidak terpisah dengan kampanye anti korupsi (bangga menjadi bangsa yang tidak mengenal korupsi), dan kampanye lain, yang arah utamanya adalah membangun hidup bersama sebagai bangsa sebagaimana maksud dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

“Keadaan krisis kesehatan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh wabah Covid-19 ini, kiranya dapat menjadi persemaian yang subur bagi konsokidasi masyarakat sipil , dalam tema solidaritas kemanusiaan.”

Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri

HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-75, Minggu, 8 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles