web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Moderator Pastoral Mahasiswa Unit Selatan KAJ, Romo Ignatius Swasono, SJ: Pastoral Mahasiswa: Proses Menemukan Panggilan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – SEJAK tahun 2014, Romo Ignatius Swasono, SJ disapa Romo Swa, berkarya sebagai Moderator Pastoral Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta (PMKAJ) Unit Selatan sekaligus Pembina Keluarga Mahasiwa Katolik (KMK) UI. Di Unit Selatan terdapat 18 perguruan tinggi. Unit Selatan memiliki wilayah jangkauan mulai dari Cikarang sampai Tangerang, Banten. Bagaimana Pastoral Mahasiswa dilaksanakan? Menyambut 40 tahun KMK UI, berikut ini nukilan wawancara dengan Romo Swa yang tinggal di Wisma SY Depok, saat dihubungi HIDUP via daring pada Senin, 19 Juli 2021.

Romo Ignatius Swasono, SJ

Apa suka duka membina KMK UI?

Suka dukanya itu kadang-kadang kegiatannya sudah dirancang tetapi pesertanya sedikit karena kurang menarik bagi mereka. Hidup Mahasiswa itu dinamis. Kadang-kadang mereka harus dipaksa dan ditumbuhkan kesadarannya. Meskipun demikian, saya merawat mahasiswa itu harus bisa kreatif dan pindah-pindah. Inilah sebuah proses yang penuh tantangan dan suka duka dalam mengembangkan dimensi intelektual sekaligus beriman Katolik.

Lalu apa kekhasan pastoral mahasiswa?

Khasnya adalah kehadiran Gereja di kampus, secara kategorial. Bagaimana kita mencoba mendampingi mereka, hadir bersama mereka di tengah pergumulan mereka sebagai mahasiswa.  Contohnya, pertanyaan yang harus mereka gumuli itu setelah lulus mau jadi apa? Ini merupakan pertanyaan yang memproses mahasiswa untuk menemukan jati diri. Inilah yang saya rasa pentingnya peranan pastoral mahasiswa dalam menemani mahasiswa terutama dalam proses menemukan jati diri. Aku itu mau hidup seperti apa sih nantinya?. Aku itu siapa?

Maka melalui berbagai kegiatan, misalnya Misa kampus, Sehari Bersama KMK (SBKMK), Rekoleksi, Retret Mahasiswa maupun kaderisasi mahasiswa, dalam kerjasama dengan pastor-pastor mahasiswa unit lain se-KAJ maupun se-Regio Jawa.

Apa makna kehadiran Gereja di perguruan tinggi?

Ini terkait erat dengan panca tugas Gereja, yaitu Diakonia, Liturgia, Koinonia, Kerygma dan Martirya. Kongkretnya melalui pengajaran, pengudusan dan pelayanan di dunia kampus. Intinya bagaimana kehadiran Gereja/hierarki hadir di tengan institusi perguruan, hidup di tengah-tengah mereka yang sedang belajar dan mengajar sebagai orang beriman Katolik.

Dengan demikian, Pastoral Mahasiswa bermakna untuk meneguhkan, memperkuat iman dan panggilan hidup sebagai proses penemuan jati diri, yaitu hidup sesuai dengan panggilan-Nya. Maka bagi mahasiswa, saya mau hidup seperti apa nantinya. Melalui jurusan yang sedang digeluti dan berprofesi sesuai bidang studi kita. Sebagai contoh, ada juga yang mengambil jurusan terapis, (jadi tukang pijet, saya tanya, kamu bahagia gak, bahagia romo, gajinya juga enggak kecil itu). Jurusannya memang kurang populer padahal dicari.

Mengapa penting pastoral mahasiswa?

Pelayanan paroki menurut saya tidak bisa menyentuh mahasiswa sedalam ini. Pastoral kepemudaan juga enggak bisa. Sebagai dosen, saya bisa bertanya kepada mahasiswa, kenapa IPnya jelek, bagaimana cara belajarnya, dan sebagainya. Saya juga merupakan bagian dari Paguyuban Dosen yang memperhatikan mahasiswanya. Maka pasti berbeda dengan komisi kepemudaan karena bukan berbasis teritori, tetapi berbasis kategori.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai
Mahasiswa ingin disapa. (Dok KMK UI)

Dengan demikian mereka tidak disapa “hanya” sebagai orang muda, melainkan sebagai orang muda yang sedang belajar. Itu bedanya. Sedetail itu. Saya kerap memfasilitasi mahasiswa untuk belajar di Wisma SY jika ada yang mengeluh koneksi internetnya jelek.

Perlu dicatat, pastoral mahasiswa itu memiliki empat unsur: Pertama, mahasiswanya. Fokus dengan berbagai macam kegiatan. Kedua, lalu siapa yang bisa mencetak mahasiswa? Yakni dosen. Maka saya mendorong adanya paguyuban dosen karena saya kan tidak  sendirian untuk mendampingi mahasiswa. Kalau sudah di kelas, mahasiswa berhadapan dengan dosen. Sehingga saya harus mendorong berdirinya Paguyuban Dosen Katolik UI bahkan Dosen Katolik Seluruh Indonesia (dalam Ikatan Dosen Katolik Indonesia – Romo Swa sebagai penasihat). Ketiga, masalah kelembagaan. Terakhir, alumni.

Setelah KMK UI berusia 40 tahun, lahirlah Alumnika UI yang diresmikan pada tanggal 10 Januari 2021. Tidak disadari bahwa alumni sebagai invetasi. Jika para mahasiswa ini lulus, saya sudah tidak mampu menghantar mereka setelah lulus. Secara otomatis, kalau orang sudah bertemu dengan orang lain yang institusi yang sama, you are the first. Kamu akan diutamakan.

Nah, kerasulan ini mau siapa yang mengurusi? Saya sempat bertanya ke komisi kepemudaan, tapi kan tidak ada hubungan dengan dosen. Menurut saya kerasulan mahasiswa itu harus berhubungan dengan dosen. Saya tanya juga kepada komisi pendidikan. Lalu mereka hanya bertanggung jawab terhadap pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Lalu perguruan tinggi kampus, siapa yang bertanggung jawab dalam kerasulan? Maka kerasulan mahasiswa yang dinamis harus mencakup empat unsur itu. Namun, secara kelembagaan hierarkis, hingga kini belum ada komisi yang bertanggung jawab terhadap kerasulan pendidikan tinggi dan ilmu pengetahuan.

Pokok pengembangan diri apa yang coba Romo bangun bersama mahasiswa?

Itulah yang saya coba refleksikan dalam perayaan 40 tahun berdirinya KMK UI ini. Saya sungguh mensyukuri kehadiran Gereja terlibat dalam pembinaan orang muda sebagai mahasiswa karena mereka ini asetnya Gereja di masa depan dalam perjalanan menemukan jati diri. Maka di PMKAJ ada berbagai pelatihan pengembangan mengenai leadership (kepemimpinan), pengembangan value (nilai) serta spiritualitas iman dan penghayatannya. PMKAJ itu mempunya tiga visi yakni, pengembangan intelektualitas, spiritualitas, dan moralitas.

Kenapa penting membangun jati diri?

Yang namanya proyek menjawab “Who Am I?” itu proses yang tidak akan pernah selesai. Jangan hanya ngomong tentang bagaimana sifatku, kekuranganku saja, tetapi juga opsiku, hidupku ini akan aku wujudkan  juga, itulah panggilan yang harus diperjuangkan. Hal ini berangkat dari bagaimana cara mengambil keputusan, studi yang menghantar  mereka menjadi pribadi-pribadi yang professional. Ini berangkat dari idealisme.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus
Ignatius Kardinal Suharyo

Bapa Kardinal Suharyo dalam homili perayaan syukur KMK UI yang dilaksanakan Jumat, 16 Juli 2021 secara daring, juga berbicara mengenai idealisme. Orang itu hidup selalu digerakkan oleh idealisme yang sudah ditanamkan sejak kecil hingga di bangku kuliah. Karena yang menganimasi itu semuanya idealisme, yakni motivasi. Dalam kesulitan belajar, idealisme itu harus terus menerus diperkuat. Jika ada yang frustasi karena mengalami kegagalan, tidak lulus dalam ujian, dan lainnya, idealisme terus menggerakkan. Jangan sampai setiap kegagalan justru membuat kita mundur.

Tentang bagaimana mengambil keputusan, dengan cara seperti apa Romo membina mereka?

Melatih mahasiswa untuk bisa diskresi yaitu cara orang menemukan apa yang Tuhan Allah kehendaki. Sehingga ketika mahasiswa mengambil keputusah jurusan atau kegiatan di kampus itu bukan keputusan sendiri, tapi diambil dalam proses berdiskresi. Proses ini menjadi penting bagi mahasiswa agar keputusan yang diambil tidak abal-abal. Ini bukan soal mau makan es atau bakso, persoalannya sangat mendasar dan fundamental yakni soal hidup.

Nah, pentingnya diskresi adalah bagaimana kita menemukan kehendak Allah di dalam hidup, karena sesungguhnya Allah menghendaki supaya kita bertanggung jawab terhadap hidup sebagai anugerah kita. Berdiskresi ini menjadi suatu latihan bagi anggota KMK UI. Setiap keputusan yang akan diambil melibatkan Roh Allah karena ini bukan semata-mata kehendak dirinya sendiri. Dalam setiap pembinaan itu ada materi ini. Misalkan dengan kalimat sederhana, saya mau berpacaran dengan siapa, bagaimana? Mau masuk kuliah atau tidak? Mau mengerjakan tugas atau tidak? Akhirnya mau menanggapi panggilan Tuhan dalam hidup ini seperti apa?

Kemudian bagaimana dengan pembinaan kepemimpinan?

Inti dari leadership itu adalah bagaimana saya membawa diri saya sendiri. Saya biasanya menggunakan “Ignatian Leadership” (IL) (kepemimpinan St. Ignatius Loyola). Pembinaan ini suatu latihan jadi bukan hanya teori.  IL itu pertama-tama adalah bagaimana posisi atau disposisi dari mind (akal budi), heart (hati) dan will (kehendak). Mengolah tiga daya jiwa penting dalam proses pembinaan seorang pemimpin. Maka sebetulnya pertanyaannya kepemimpinan macam apa yang diharapkan dari saya sebagai pribadi? Disposisi akal budi, hati, dan kehendak. Itu yang selalu saya sebut sebagai pembangunan IL di mana kepemimpinan yang didasarkan pada “contemplatives in action”, artinya ketika seorang pemimpin sedang menjalani aksinya, ia juga berkontemplasi. Apa yang dikontemplasikan? Bagamaina menemukan Tuhan yang sedang bekerja melalui bakat dan niat terpendam dalam diriku. Karena Tuhan yang memiliki kepentingan akan rencana-rencana-Nya yang besar melalui peristiwa hidup harian kita.

Latihan kepemimpinan. (Foto: Dok KMK UI)

Lalu apa yang dimaksud dengan kontemplasi? Seorang pemimpin harus berani mengambil saat-saat hening, karena kontemplasi adalah relasi mendalam dengan Tuhan saat hening dengan dirinya sendiri, sesama, alam ciptaan, dan Tuhan.  Ini tidak cukup menggunkan pikiran. Maka saya sebut disposisi dari mind, heart, and will. Dalam Spiritualitas Ignatian disebut kemampuan berkomtemplasi dalam menjalankan aksinya. Mampu mengambil saat hening dan berelasi dengan Tuhan, apa yang kiranya Tuhan rencanakan sehingga ini merupakan kehendak Allah bukan kehendak kita.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Seorang pemimpin harus pandai berkontemplasi dalam aksi, tanpa itu artinya hanya kemampuan akal budi saja. Seorang pemimpin juga harus berdoa, sebagai tujuan akhir tetapi juga berani mengosongkan kepentingan dirinya sendiri dan mengutamakan kepentingan Allah.  IL ini menjadi suatu proses pelatihan para mahasiswa agar mereka menggeluti apa yang mereka jalani saat ini.

Dalam buku berjudul “Heroic Leadership” Chris Lowney menjelaskan IL mempunyai empat unsur: “Self-awareness”, kesadaraan akan diri. Misalkan kemampuan diri, anugerah itu dipakai untuk kebaikan (kehendak Allah). Jangan sampai orang tidak sadar dan menyisipkan dengan kepentingan duniawi; “Ingenuity” (kecerdasan, akal budi). Begitu banyak informasi dari studi membangun kecerdikan Manusian merupakan citra Allah karena memiliki akal budi. Maka harus dibangun. Saya selalu mendorong mahasiswa saya untuk melanjutkan studi lanjut. Selama hidup, kita itu belajar; “love” (kasih). Yesus bertanya kepada St. Petrus: Apakah kamu mencintai aku lebih dari apapun? Kalau kita tidak mencintai profesi atau tugas kita, maka kita tidak bahagia. Padahal kita hidup diundang untuk bahagia.  Lain hal kalau kita mencintai apa yang kita kerjakan, akan ada perbedaan cara menjalaninya.; dan “heroism” (semangat kepahlawanan, ). Seorang pemimpin hendaknya berani berkorban dan semangat menjalani kegiatannya sepenuh hati bukan setengah-setengah. Totalitas menjalani masa studi ini agar bisa berhasil dengan baik.

Empat unsur ini yang digunakan untuk  membangun contemplatives in action, kedalaman relasi dengan Allah untuk menemukan kehendak-Nya melalui hidup kontemplatif di dalam dan saat bekerja. Jadi bukan hanya saat doa, tapi justru saat ia sedang in action. Contohnya, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Ia berani melawan pemerintah Jepang yang mau memakai komplek Gereja untuk markas tentara Jepang. Dengan kata lain, ciri pemimpin Ignasian adalah heroic, sekalipun di masa pandemi ini. Percaya akan akan karya Allah di dalam keseharian. Bisa menerima dengan ikhlas jika mengalami kegagalan.

Apa harapan Romo untuk KMK UI yang sudah menginjak usia ke 40 ?
Semoga mahasiswa Katolik di UI dapat menghidupi KMK sebagai keluarga mahasiswa Katolik, tempat di mana kita belajar, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi utuh. Bagaimanapun di dalam keluarga, kita bisa membangun jaringan agar proses pembinaan sungguh berjalan.

Saya sungguh berharap 40 tahun KMK ini, akan ada lebih banyak lagi mahasiswa yang aktif untuk membangun kedalaman intelektual dan spiritualitas secara bersamaan.

Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No.31, Tahun ke-75, Minggu, 1 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles