HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 08 Agustus 2021 Minggu Biasa XVIX, 1Raj 19:4-8; Mzm 34:2-3, 4-5, 6-7, 8-9; Ef 4:30-5:2; Yoh 6:41-51
EKARISTI menarik perhatian kita Minggu ini. Kalau ada orang yang tidak percaya kepada Tuhan (ateis) bertanya kepada Anda: mengapa kalian orang Katolik merayakan Ekaristi setiap hari? Apakah kalian tidak bosan menerima Komuni setiap Minggu, bahkan setiap hari? Apa jawabanmu terhadap pertanyaan ini? Ada seorang bapa pernah menjawab demikian, “Saudaraku, coba saudara pikir dan renungkan: setiap hari saudara pasti makan dan minum; biasanya tiga kali sehari. Kalau tidak makan dan minum, dalam beberapa hari saja saudara pasti mati. Lalu, apakah saudara bosan makan dan minum setiap hari? Kalau makanan dan minuman tersebut menguatkan tubuh saudara, maka Ekaristi bagi kami orang Katolik menghidupkan dan menguatkan iman kami.” Inilah sebuah jawaban yang sederhana, tetapi menarik.
Gereja merayakan Ekaristi karena iman kepada Yesus sebagai Roti hidup yang turun dari Surga, yang membawa keselamatan bagi dunia. Iman Gereja ini berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap orang Yahudi dalam Injil hari ini (Yoh. 6:41-51). Mereka bersungut-sungut terhadap Yesus karena Yesus mengatakan bahwa Dialah Roti yang telah turun dari Surga. Sikap ini menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Yesus sebagai utusan Allah. Alasan penolakan karena mereka hanya mengenal asal usul Yesus secara manusiawi, “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari Surga?.” Memang orang Yahudi tidak mampu menyelami pribadi Yesus, asal dan kekuasaan ilahi-Nya, karena mereka hanya mau mengenal Yesus sebagai manusia biasa.
Andaikata mereka mampu menyelami asal usul Yesus yang ilahi, maka mereka pun dapat menerima Yesus sebagai Roti yang turun dari Surga. Akan tetapi mereka tidak mampu dan tetap menolak. Yesus pun sekali lagi dengan tegas menyebut diri-Nya sebagai Roti yang memberikan kehidupan kekal bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya: Barang siapa makan Roti ini, ia tidak akan mati. Barang siapa makan Roti ini akan hidup selama-lamanya. Maka konsekeuensi bagi setiap orang yang menolak Yesus sebagai Roti Surgawi adalah kebinasaan.
Pengalaman menerima roti atau makanan dari surga ini pernah dialami juga oleh nabi Elia. Dalam Bacaan Pertama (1 Raj 19:4-8) diceritakan bahwa Nabi Elia melarikan diri dari Kerajaan Israel ke Gunung Horeb sebab ia telah membuktikan bahwa Yahwe adalah Allah yang benar dan akhirnya semua nabi Baal dibunuh. Oleh sebab itu, Izebel, istri raja Ahab mengancam untuk membunuh Elia. Dalam pelarian pada saat ia putus asa dan hampir mati, malaikat Tuhan memberinya makanan. Ia dikuatkan oleh makanan pemberian Allah sendiri. Oleh kekuatan makanan itu, ia berjalan 40 hari 40 malam lamanya hingga sampai di gunung Allahn (G.Horeb).
Demikian juga kita yang justru menerima santapan Tubuh dan Darah Kristus. Ekaristi sungguh menjadi pusat hidup umat Katolik. Dalam Perayaan Ekaristi, Yesus mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa di Surga. Penyerahan diri Yesus kepada Bapa sehabis-habisnya, demi menyelamatkan umat manusia. Santo Paulus dalam bacaan kedua (Ef 4:30-5:2) mengatakan: “Kristus Yesus telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan kurban yang harum mewangi bagi Allah.” Dengan demikian, Perayaan Ekaristi tidak hanya dipandang sebagai perjamuan persaudaraan, melainkan juga sebagai perjamuan yang erat hubungannya dengan kurban Salib.
Memang kurban Salib terjadi cuma satu kali dan untuk selama-lamanya. Namun Kurban Salib itu selalu hadir dalam Ekaristi. Maksudnya, kurban berdarah Yesus di kayu Salib sekarang berwujud kurban santapan tak berdarah dalam Ekaristi untuk keselamatan dan kedamaian dunia. Karena itu, setiap kali kita menyambut Tubuh Kristus, kita mau berkurban seperti Kristus yaitu dengan taat kepada Allah serta hukum-Nya dan berkurban untuk sesama, teristimewa berkurban bagi saudara-saudari kita yang mengalami berbagai penderitaan dan kesulitan hidup.
Santo Paulus mengatakan (dalam Bacaan Kedua): kalau kita mau berkurban seperti Kristus, maka segala kepahitan, kejahatan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaknya dibuang dari antara kita, dan hendaknya kita bersikap ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra, saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita. Jadi Ekaristi yang adalah Kurban Kristus bukan hanya menguatkan iman kita dalam ziarah menuju rumah Bapa, juga mendorong kita untuk selalu berkurban bagi Tuhan dan sesama.
“Setiap kali kita menyambut Tubuh Kristus, kita mau berkurban seperti Kristus dengan taat kepada Allah serta hukum- Nya dan berkurban untuk sesama.”
HIDUP, Edisi No. 32, Tahun ke-75, Minggu, 8 Agustus 2021