HIDUPKATOLIK.COM – “Kesetaraan bukan berarti kesamaan tetapi kesetaraan yang adil sesuai dengan kebutuhan dan konteks masing-masing individu sehingga tidak ada individu yang dirugikan.”
Demikian ditegaskan Moderaror Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP KWI), Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap pada sambutan pembukaan Webinar Nasional “Membangun Spiritualitas dan Pengharapan dalam Penderitaan Akibat Ketidakadilan Gender” pada hari Sabtu, 30/7/2021. Webinar ini diikuti 294 peserta yang terdiri dari para pemerhati dan pejuang keadilan dan kesetaraan gender. Ch. Dwi Yuli Nugrahani, pengurus SGPP KWI, bertindak sebagai moderator.
Uskup Agung Medan tersebut menegaskan bahwa keluarga merupakan institusi pertama yang memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender. Menurutnya, gender sebagai kontruksi sosial tidak perlu dipermasalahkan apabila gender tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun kenyataannya gender masih menunjukkan ketidakadilan terhadap laki-laki dan perempuan, dan perempuanlah yang paling menderita.
Dalam situasi pandemi, menurut Mgr. Kornelius perempuan semakin mengalami kesulitan dan penderitaan. Bahkan banyak yang kehilangan pengharapan karena spiritualitasnya lemah. Ketika mereka yang bekerja di ruang publik juga dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan domestik, mereka cenderung bersikap diam dan menyikapi semua itu sebagai “kewajiban suci”. Sementara banyak suami yang beranggapan tidal layak melakukan pekerjaan domestik karena pekerjaan ini pekerjaan perempuan. Di sinilah terjadi diskriminasi dan ketidakadilan gender.
Elisabeth A.S. Dewi, yang menjadi salah satu narasumber webinar, menegaskan bahwa keluarga idealnya memiliki kontruksi pola hubungan yang didasarkan pada keadilan dan kesetaraan gender atau disebut keluarga dengan kemitraan gender. Keluarga dengan kemitraan gender sekurang-kurangnya memiliki bentuk seperti, pertama, anggota keluarga bebas menentukan pembagian peran dan tugas dalam rumah tangga melalui diskusi dan kesepakatan bersama. Kedua, adanya transparansi dalam penggunaan sumber daya ketika membagi peran dan dalam menjalankan aktivitas keluarga. Ketiga, melaksanakan fungsi keluarga dan tugas rumah tangga dengan kompunen perilaku, seperti kerja sama, kontribusi ide, perhatian, bantuan moril dan materiil, dan bantuan tenaga dan waktu.
Menurutnya, membangun pengharapan untuk mewujudkan keadilan kesetaraan gender tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Maka perlu membentuk komunitas-komunitas yang terdiri dari generasi tua, muda atau remaja. Keluarga seharusnya menjadi garis terdepan perubahan menuju keadilan dan kesetaraan gender.
Sementara itu, narasumber Romo P. Mutiara Andalas, SJ menjelaskan tentang spiritualitas pengharapan dalam gerakan feminisme Katolik. Kesadaran pentingnya memiliki daya tahan panjang dalam perjuangan mendorong gerakan feminis Katolik Indonesia mengeksplorasi spiritualitas.
Menurut Romo Andalas mengeksplorasi spiritualitas pengharapan dalam figur spiritual Bunda Maria untuk mendampingi gerakan feminis Katolik Indonesia dalam melahirkan keadilan gender baik dalam keterlibatan sosial maupun eklesial.
Bagi Romo Andalas, Bunda Maria memiliki sebuah misi yang sulit dan penuh penderitaan. Tetapi Maria berani mengambil risiko, dan untuk inilah dia kuat, untuk ini ia adalah seorang influencer, influencer Allah! Sinodalitas eklesial sebagai kritik terhadap klerikalisme dalam Gereja membuka ruang eksplorasi bagi gerakan feminis Katolik Indonesia dalam mengabjadkan spiritualitas pengharapan.
Romo Andalas mengatakan, pengharapan berarti percaya kepada janji-janji Allah dan berusaha mendekati dan menemukan Allah dalam setiap perkara hidupnya.
Maka, menurut Romo Andalas, spiritualitas dan pengharapan merupakan satu kesatuan. Pengharapan yang berdasarkan pada kekuatan manusia akan menghasilkan kekecewaan. Tetapi pengharapan yang berpangkal pada spiritualitas akan menghasilkan sukacita. Maria menjadi contoh orang yang memiliki spiritualitas dan pengharapan, maka ia disebut sebagai “yang berbahagia”. Jadi iman yang dihayati dengan penuh pengharapan akan berkata dari dalam lubuk hati: “Aku percaya kepada Allah”, dan inilah yang membuat orang bertahan dalam penderitaan dan berusaha menemukan kehendak Allah dalam penderitaan itu. Karena itu Allah tidak membiarkan manusia menderita melampaui kekuatan manusia.
Menurut Romo Andalas, tanda iman dan pengharapan adalah kasih. Kasih menjadi motivasi dasar dalam perbuatan orang beriman. Apabila manusia mengarahkan diri kepada Allah dalam iman dan pengharapan, itu merupakan awal dari kasih manusia kepada Allah. Allahlah yang menjadi tujuan hidup manusia.
Laporan Ch. Suryanti, Pengurus SGPP KWI dan Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta/FHS