HIDUPKATOLIK.COM – SEDIANYA Tahbisan Episkopal Mgr. Fransiskus Tuaman Sasfo Sinaga akan digelar pada 20 Mei 2021. Namun, karena ada Surat Edaran Satuan Tugas Covid-19, tahbisan baru akan dilaksanakan pada Kamis, 17 Juni 2021. Ditunda lagi karena alasan kesehatan Uskup Terpilih. Tahbisan akan diselenggarakan pada hari Kamis, 29 Juli 2021, pukul 09.00 WIB di Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penahbis Utama, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia/Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo. Sehari sebelumnya, Rabu, 28 Juli 2021, pukul 18.00 WIB diadakan Vesver Agung.
Berikut ini petikan wawancara HIDUP dengan Mgr. Fransiskus pada hari Jumat, 23 April 2021:
Menjelang tahbisan, apa kegiatan penting Monsinyur?
Saya ziarah ke makam orangtua (bapak-ibu) dan kakek-nenek di Lobutua, Palipi, Samosir. Berdoa di sana. Saya sampaikan, selama ini mereka sudah membesarkan saya menjadi Katolik yang baik, mendukung menjadi calon imam/menjadi imam, sampai saat ini. Dalam iman kita Katolik, antara yang orang yang hidup dan orang yang sudah meninggal masih ada komunikasi rohani.
Apakah masih ada rasa galau seperti Monsinyur sampaikan dalam beberapa kali kesempatan?
Tetap ada, persentasenya tidak seperti dulu lagi. Akhirnya saya pasrah kepada kehendak Tuhan. Ketakutan, kecemasan berkaitan dengan pertanyaan dalam diri saya, apakah saya bisa, mengapa saya yang dipilih. Karena banyak orang mendoakan dan meneguhkan, saya pasrah, berkata: Tuhan buatlah yang terbaik pada saya kalau Tuhan memilih saya dengan segala kekurangan dan keterbatasan saya. Saat pertemuan dengan Nuntius di Jakarta, dia mengatakan, “Ingatlah semua umat, tarekat/ordo mendukung kamu, maka kamu tidak usah cemas, tidak usah ragu, tidak usah takut, buatlah yang terbaik. Karena mereka mengatakan, kamu seorang imam yang baik di Keuskupan Sibolga selama ini.”
Kalau ini dianalogikan seperti persembahan Bapa Abraham, Mongsinyur sudah siap dipersembahkan?
Dengan iman dan ketaatan yang saya miliki kepada Gereja dan Paus, saya mengatakan, ‘Silakan Tuhan, tapi saya dengan seluruh kekurangan, keterbatasan, manusia yang rapuh, dengan iman, maka saya menyerahkan hidup saya untuk Tuhan, pakai menjadi pelayan atau gembala di Keuskupan ini.’
Apakah ada kekawatiran lain di luar diri Monsinyur?
Saya hanya merasa tidak pantas dan layak. Masih banyak imam yang lebih cemerlang, lebih saleh, lebih disiplin, lebih cerdas. Mengapa bukan mereka. Saat pertama kali dipanggil Nuntius, saya tak mengira, saya calon. Nuntius hanya meminta saya menyebut dua calon uskup yang pantas untuk Keuskupan ini. Saya sebut dua nama. Saya diminta mendeskripsikan kedua nama itu. Dia juga bertanya tentang saya. Saya katakan, saya imam biasa yang bertugas di pulau terluar dan terdalam di Nias, Ketua STT. Dia meminta saya mendeskripsikan karya pastoral di Dekanat Nias dan Dekanat Tapanuli. Ketika dia membaca dan mendengar, dia mengatakan, “Kamu melukiskan dua dekanat ini dengan sangat positif.’ Saya bilang, ‘Itulah pengalaman saya.’ “Baiklah kalau begitu,” katanya. Saya disuruh pulang. Saya pulang dengan bahagia karena bukan saya. Dan, saya berpikir, kami akan segera mendapat uskup baru.
Saya tunggu-tunggu, kok belum diumumkan. Tahun 2020, lima kali saya ditelepon Nuntius. Dia mengonfirmasi lagi dua nama itu. Dia tanya juga tentang saya. Dia minta Curriculum Vitae dari SD sampai sekarang. Memang, kalau saya lihat, saya punya pengalaman pastoral agak lengkap di Keuskupan ini: pernah pastor rekan, pamong seminari menengah, pastor paroki, decanus, Ketua UNIO, Dewan Konsultores, Dewan Imam, Ketua STT. Terakhir dia WA saya tentang tahun sabatikal saya di Filipina.
Tanggal 23 Februari 2021, ada WA call masuk ke HP saya. Waktu itu tidak tanggapi langsung karena saya sedang menguji proposal skripsi. Selesai menguji, saya lihat, rupanya dari Nuntius. Nah, sejak itu jantung saya sudah enggak jelas berdegup. Apa lagi ini! Lalu, saya call balik. Dia meminta saya ke Jakarta untuk bertemu sebentar. Saya masih berpikir, mungkin dia mau mengonfirmasi dua nama itu. Sesampai di Nuntiatura, dia menyambut dengan kebapaan. Dia berbicara setengah jam tentang ketaatan. “Sebagai imam harus taat, harus mau mendegarkan, memikul salib, dll….” Saya pikir dalam hati, ke mana arah pembicaraan ini. Akhirnya ia mengatakan, “Pastor Frans, kamu ditunjuk Paus Fransiskus menjadi Uskup Keuskpan Sibolga!”
Ketika dia menyampaikan hal itu, seperti berputar-putar saya liat dia. Saya makin tidak tenang, saya merasa goyang. Dia melihat kegelisahan saya, dia bilang, “Kamu tenang!” Walaupun dia bilang saya tenang, tapi saya tidak bisa tenang. Dia membawa saya ke kapel. Tapi saya tidak bisa berdoa. Apa yang saya doakan karena semua ini tidak masuk akal saya. Saya hanya memandang altar, tabernakel, salib Yesus, patung Bunda Maria. Hampir setengah jam, batin tidak tenang. Saya ini siapa, kok saya!
Lalu apa yang terjadi beriktnya?
Nuntius dan sekretaris datang. Nuntius berlutut di samping saya. Dia bilang, “Pastor, kita berdoa ya.” Kami berdoa, dia mendoakan saya. Dia katakan, “Ikuti apa yang saya katakan.” Dalam bahasa Italia, dia mengatakan, “Saya, Pastor Frans Sinaga menerima tugas yang sudah diberikan Bapa Sri Paus Fransiskus.” Saya ulangi lagi. Kemudian dia tanya, “Bagaimana perasaanmu?” Saya jawab, masih gelisah.
Sesudah itu, saya diajak ke salah satu ruangan kantor untuk membuat surat ke Paus bahwa saya sudah menerima. Saat menuliskan, saya berdoa, “Kuatkan saya Tuhan, hamba-Mu yang lemah ini, yang tak berdaya ini.” Dia sudah menyiapkan konsep tapi konsep bisa diubah. Saya tulis dan tanda tangan. Dengan kekurangan, keterbatasan, dan dalam rahmat Tuhan, saya menerima tugas ini, semoga Tuhan menyempurnakannya.
Sesudah itu saya lihat begitu bahagianya dia. Dia memeluk saya kembali. Dia membuka solideonya dan mengenakan ke kepala saya. Dia bilang, “Oke, sudah pas.” Dia tertawa, tapi saya tidak bisa tertawa karena kegundahan saya. “Agak kekecilan dikit, nanti kita besarkan,” katanya. Kami sepakati pengumuman tanggal 6 Maret 2021 pukul 12.00 waktu Roma, dan 18.00 WIB. Selama satu minggu rahasia ini disimpan, saya tidak bisa tidur. Kadang-kadang saya bernyanyi. Pada saat pengumuman, jantung tetap berdebar-debar. Dalam hati terus bertanya, ‘Tuhan, begitu besarnya tugas ini!’ Sesudah diumumkan, semua orang berdoa, memberi selamat. Saya pikir, doa-doa merelah yang membuat saya kuat..
Kepada siapa memberitahukan untuk pertama kali?
Pertanyaan menarik. Pertama kali saya menyampaikan kabar ini kepada kedua orangtua saya walaupun mereka sudah meninggal dunia dalam doa dengan linangan air mata. ‘’Bapa-Mama, lihatlah anakmu ini.” Saya anak kampung, anak seorang ibu yang buta huruf. Saya bilang, “Doakan saya kepada Tuhan supaya saya kuat.” Itu saya lakukan ketika saya masih di Bandara Soekarno-Hatta. Menunggu boarding, saya duduk termenung, membayangkan ibu dan bapak. Seandainya mereka masih hidup, mereka pasti meneguhkan saya, mendoakan, merangkul saya. Orang-orang mungkin tidak melihat saya menangis karena pakai masker. Karena sesak di dada ini, akhirnya saya telepon abang yang pertama di Yogyakarta. Saya menangis, tidak bisa omong. Sesudah agak tenang, saya sampaikan kabar itu dan saya bilang ini masih rahasia. Abang terkejut, dia terharu. Dia bilang, “Ini tugas berat. Tapi yakinlah adikku, jika Tuhan sudah memilihmu, pasti kamu akan ditolong-Nya. Saya berdoa untukmu.” Sesudah bertelepon, saya ke kamar mandi cuci muka. Selama menunggu, saya hanya mondar-mandir.
Sesampai di Gunungsitoli, saya berusaha seperti biasa saja. Tidak ada yang tahu. Namun orang-orang mulai curiga. Bolak-balik Jakarta, ngapain. Biasalah dalam kondisi takhta lowong di Keuskupan. Kadang ada yang bertanya, ‘Kapan ke Jakarta lagi. Siapa tahu ada informasi baru.’ Ada yang bilang, “Siap-siaplah ya!” Saya hanya tertawa. Karena saya pikir, dua nama yang saya sebutlah yang akan jadi.
Ke depan, apa yang akan menjadi perhatian pascatahbisan?
Saya termasuk orang yang beruntung karena uskup-uskup pendahulu sudah melahirkan gaya pastoral, visi misi keuskupan, semua yang berkaitan dengan arah pastoral dalam Sinode I dan II. Apa yang sudah ditetapkan para bapa uskup itu, saya kira menjadi arah pastoral yang terus dilanjutkan. Visi misi kami ini masih relevan sekian puluh tahun ke depan untuk membangun Keuskupan yang mandiri, solider, dan membebaskan. Untuk sampai ke situ, kami harus mengembangkan gaya pastoral komunitas basis. Almarhum Bapa Uskup Anicetus Sinaga menyebutnya sebagai harga mati yang harus dikembangkan.
Apakah Monsinyur ikut proses sinode?
Sebagai tim perumus pada Sinode II, Sinode I saya tidak ikut karena baru pulang dari Roma. Saya kira apa yang dirumuskan dalam dua sinode, dan gaya pastoral komunitas basis mash relevan. Membangun komunitas kecil umat untuk menjadi komunitas yang hidup, yang saling memperhatikan, mendoakan, berbagi seperti Jemaat Perdana. Semua itu mungkin terjadi karena doa. Dari doa semua mengalir, memperhatikan sesama. Di zaman sekarang, hal ini sangat dibutuhkan. Peduli terhadap sesama karena komunikasi intim dengan Tuhan. Komunitas basis yang bisa mempengaruhi masyarakat dan dunia sekitarnya.
Tampaknya Monsinyur memperlihatkan hal itu dalam logo…
Karena sudah lama di keuskupan ini, perkembangan keuskupan ini sudah saya ikuti. Relasi antarimam religius dan diosesan, antarkongregasi/ordo saya liat sangat baik. Kebersamaan dan persahabatan sangat kuat. Mengapa saya memilih moto Santo Fansiskus, pertama karena nama saya diambil dari Santo Fransiskus. Kedua, iman pertama yang menyamaikan di keuskupan ini adalah misionaris Kapusin. Meskipun saya imam diosesan, saya mau semangat persaudaraan, kebersamaan terus bergaung di Keuskupan ini. Dari perbedaan suku, asal, budaya, kongregasi, semua harus mengungkapkan… Semoga Engkau dipuji ya Tuhanku dan Allahku. Dalam logo ada saudara Matahari, Bulan, Bintang…
Melihat logo, seakan-akan Monsinyur seorang Kapusin?
Orang sering menganggap saya Kapusin. Kalau lihat juga ada rumah Nias dan Batak Toba, latar-belakang warna. Itu bukan menunjukkan suku tapi wilayah, di sana juga Jawa, Flores, Tionghoa. Ada warna merah putih, bahwa kami disatukan dalam NKRI, 100 persen Katolik 100 persen Indonesia. Simbol Kristus menandakan bahwa kami disatukan oleh baptisan menjadi keluarga Allah yang satu dan sama. Gambar laut tiga garis warna biru. Orang sering melihat laut memisahkan atau bencana, tapi saya melihat, laut adalah penghubung, pemersatu. Kami termasuk daerah maritim, maka semua pulau-pulau yang ada di sini harus menyatu. Laut adalah sumber penghidupan, banyak umat kami nelayan. Semua kami yang ada di sini, yang berbeda-beda, harus mengungkapkan seperti Santo Fransiskus. Inilah yang selama penggembalaan saya, saya, umat, dan pelayan pastoral hidupi: persaudaran dan kebersamaan!
FHS
HIDUP, Edisi No. 24, Tahun ke-75, Minggu, 13 Juni 2021