web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sikap yang Diharapkan dari Setiap Pribadi yang Berbeda

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – AGAMA akan kehilangan relevansi dan siginifikasinya kalau dia tetap menjauhkan dirinya dari sentuhan dunia sekitarnya. Teologi lahir dari tanah yang sedang dipijak, bukan dari luar. Kalau memang demikian segala kebijakan dan ajaran teologi harus lahir dari pertanyaan dan teriakan sekitar. Teologi harus mempunyai korelasi  dengan kehidupan masyarakat dan gereja setempat.

Agama adalah sebentuk keyakinan yang membeku dalam keyakinan. Ia hadir menawarkan berbagai sudut pandang yang lahir dari berbagai pertanyaan teologis. Teologi sebagaimana juga filsafat lahir, tumbuh dan berkembang dari pertanyaan. Kontekstual dan relevannya sebuah teologi, berangkat dari pertanyaan tentang  tantangan yang ada di sekitarnya. Teologi bekembang dan relevan karena tantangan yang ada di sekitarnya.

James Banks (1993:3) mendefinisikan multikultural sebagai  suatu pemahaman  dan pengakuan akan  people of color. Artinya, multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Dengan demikian, kita lalu bisa mengambil sikap untuk memberi ruang perbedaan dengan saling menghormati, toleran dan dengan semangat egaliter.

Multikulturalisme mengajak orang untuk berpikir dan bertindak arif bijakasana sehingga tidak ada orang/kelompok yang diabaikan atau disingkirkan dalam hidup bersama. Mayoritas tidak boleh mengabaikan minoritas. Dalam keputusan atau kebijaksanaan pun, hendaknya tetap memperhatikan yang namanya keadilan yang menyapa dan memperhitungkan semua pihak dan golongan tanpa kecuali.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Pemahaman yang semacam ini harusnya menjadi jiwa dan semangat dalam hidup bersama dengan orang lain. Tanpa menyadari bahwa keanekaragaman, perbedaan dan pluralitas sebagai suatu kemestian, maka orang akan selalu melihat perbedaan sebagai sumber konflik. Rasanya berbagai macam konflik dan pertikaian di berbagai belahan dunia selama ini terjadi karena orang tidak mempunyai keterbukaan akan adanya perbedaan. Sikap yang diharapkan dari setiap pribadi yang berbeda adalah sikap “acceptance”, bukan toleransi.

Mengapa demikian? Karena penekanan sikap ‘acceptance’ adalah melihat dan menyadari bahwa yang berbeda di luar diri saya adalah bagian dari hidup saya sendiri. Kalau adanya kesadaran bahwa yang berbeda di luar diri saya adalah bagian dari hidup saya sendiri maka saya tidak akan melukai mereka atau meniadakan mereka-mereka yang berbeda dengan saya. Mengapa? Karena kalau saya melukai mereka yang berbeda dengan saya itu sama artinya dengan saya melukai diri saya sendiri. dan tentu tidak akan ada yang namanya konflik karena adanya perbedaan, melainkan yang muncul adalah penghargaan, pemeliharaan, perawatan, perlindungan dan pengembangan kehidupan bersama yang tidak lain adalah hidup saya sendiri.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Lalu bagaimana dengan toleransi? Toleransi tetap melihat perbedaan sebagai yang lain bukan sebagai bagian dari kehidupan seseorang. Maka dalam melihat perbedaan tetap sebagai yang lain, dikembangkanlah sikap saling menghormati dan menghargai agar tidak terjadi benturan-benturan dari perbedaan itu. Kesadaran akan adanya perbeadaan membuat orang saling menghormati, dan di antara yang berbeda itu tetap hidup dalam kedamaian sejauh di antara mereka saling menghormati. Kesadaran yang dangkal ini sangat rentan dengan konflik. Mengapa? Karena orang hanya mau hidup damai sejauh di antara mereka yang berbeda itu tidak saling menyerang.

Dalam konteks kita di Indonesia yang sangat multikultur, iman yang inkulturatif perlu dikembangkan agar iman itu punya relevansi dan signifikasi  bagi kehidupan bermasyarakat dan Gereja. Hal ini semakin menjadi penting saat agama semakin terbelah dan membedakan diri oleh karena perbedaan sosial atau kultural. Iman memang perlu dipahami dan dipertanggungjawabkan dan dibahasakan secara rasional. Salah satu bentuk gerakan iman yang inkulturatif dalam konteks kita di Indonesia adalah iman yang menacari dialog, iman yang mencari solidaritas.

Dalam kaitan dengan iman yang inkulturatif, di mana iman perlu didialogkan dan iman mencari solidaritas, Gereja perlu mencari saluran untuk menjalin dialog yang lebih cair, sambil terus berusaha membuka sumbatan dialog selama ini. Gereja harus menjadi inisiator dan pemrakarsa memulai, membuka dan mengikat dialog di antara yang berbeda, yang tentu saja tidak sebatas pada agama. Iman yang inkulturatif harus menjelmakan dirinya dalam berbagai khasanah hidup manusia tanpa pilah dan pilih. Iman yang inkulturatif adalah iman yang merasuk  dan mendayai.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Signifikasi iman yang inkulturatif itu hanya bisa terlihat dan dialami saat dia mampu mendekatkan yang berbeda dalam suatu usaha untuk membangun kebaikan bersama, atau dalam bahasa lain disebut sebagai membangun dan menciptakan kesalehan sosial. Iman yang inkulturatif pada akhirnya sampai pada rumusan kecil ini, “iman yang menciptakan dan menghasilkan kesalehan sosial”. Gereja Indonesia perlu memberi ruang tumbuh untuk iman inkulturatif ini agar kehadiran Gereja di Indonesia semakin dirasakan manfaatnya. Dialog dan solidaritas harus terus digalang dan diprakarsai sebagai bukti kepekaan iman kita.

“Sikap yang diharapkan dari setiap pribadi yang berbeda adalah sikap “acceptance”, bukan toleransi.”

Pastor Dony Kleden, C.Ss.R, Dosen Antropologi

HIDUP, Edisi No.28, Tahun ke-75,11 Juli 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles