HIDUPKATOLIK.COM – “HARI ini ia merayakan 54 tahun imamatnya, 51 tahun bermisi di Indonesia (18 tahun di Sumatera, 13 tahun di Jakarta; dan 20 tahun di Papua). Dengan umur 79 tahun Beliau masih perkasa, meskipun pernah mengalami kecelakaan berat pada tahun 2009. Kita bisa memanggil Beliau “Babe”, tetapi motor matic masih dikendarai sendiri di Timika sana. Menjadi “lansia” tidak harus manja dan masuk rumah jompo. Pelayanan Sakramen-sakramen tetap “sah” dan cespleng meskipun yang melayani sudah hampir seumur Sri Paus. Pukul 05.30 kami rayakan di Kapel Skolastikat SCJ Yogyakarta dan saat ini OTW ke JAkarta dengan KA Taksaka-81. Ad multos annos. Proficiat, Pak Haji.” Demikian tulis Pastor Hadrianus Wardjito, SCJ, rekan Pater Henslok di laman FB-nya baru-baru ini.
Petang tadi, kita mendapat berita dukacita, bahwa Pater Herbert Henslok, SCJ telah dipanggil Tuhan ke pangkuan-Nya, Senin, 19/7/2021 karena sakit yang dideritanya di Komunitas Biara Santo Yosef, Timika, Papua. Ia lahir di B. Nowy, Polandia, 26 Februari 1942. Jenazahnya akan dimakamkan di Pemakaman Keuskupan Timika, pada hari Selasa, 20/7/2021.
Dukacita, tak hanya menyelimuti Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) tetapi juga umat yang pernah dilayaninya (Sumatera, Jawa, dan Papua) dan tentu saja Gereja Indonesia. Sebagai orang beriman Katolik, hidup Pater Henslok hanyalah diubah, dari dunia fana, sementara ini menuju dunia abadi, kehidupan kekal.
Dan, kalau mau ditengok sedikit ke belakang sejenak, ‘tampaknya’, Pater Henslok, tanpa ia sadari, telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kehendak Allah ini.
“Penghujung tahun 2020 seakan menandai kecintaan saya pada tanah misi. Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya, 26 November 1970 saya tiba di Indonesia sebagai misionaris dari Polandia. Bermula di Sumatera, Jawa, lalu bergerak ke Timur, Papua. Inilah tahun ke 20, saya menikmati misi di Tanah Papua, setelah kedatangan saya di Bandara Mozes Kilangin Timika pada 17 Oktober 2001,” tulisanya dalam Kata Pengantar Buku Tawa Lara Jalan Menuju Surgamu. Narasi Misi Sunyi di Papua, diterbitkan oleh Rumah Dehonian dengan Editor Elis Handoko (2020).
Ia mengatakan, “Memasuki tahun ke-20 misi di Papua, saya sudah bertekad ingin mengakhiri peziarahan hidup saya di sini. Rencana saya di Papua sampai panggilan terakhir. Ya, jika Tuhan menghendaki, saya ingin menghembuskan nafas terakhir di sini, beristirahat di tanah misi ini.”
“Ceritanya, saya sudah terlanjur mencintai tanah misi. Ketika masih sebagai seorang frater, saya sudah mendaftarkan diri sebagai calon misionaris untuk tanah misi Indonesia,” imbuhnya.
Kisah Santo-santa
Dalam bukui itu, Pater Henslok menceritakan, “Cinta saya pada misi berawal dari ketertarikan saya dengan kisah santo-santa atau para misionaris, yang sedari muda bertualang mengarungi samudera demi Injil. Mereka bertaruh hidup di sana. Santo Fransiskus Xaverius merupakan tokoh misionaris idola saya. Itulah sebabnya, ia menjadi nama biara saya (zaman dahulu ketika orang masuk biara diwajibkan mengenakan nama biara yang diambil dari nama para kudus).”
Sebagai misionaris, kata Pater Henslok, saya tidak banyak tahu tentang Indonesia. “Maka, ketika diminta tugas di tengah-tengah transmigran asal Jawa di Sumatera, saya harus belajar bahasa Jawa. Setelah belasan tahun melayani beberapa paroki di sana, tahun 1988 saya ditugaskan di Paroki St. Antonius Padua Jakarta hingga tahun 2001. Siapa nyana, Jakarta menjadi titik berangkat saya melanjutkan misi ke tanah yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya, yakni Papua,” katanya.
Pater Henslok mengatakan, “Kembali, jiwa misi saya dipacu. Kerinduan saya dijawab, mencintai anak-anak-Nya di tanah pedalaman. Sebab, bagi saya, kepada kitalah Allah menitipkan anak-anak-Nya yang sederhana itu sebagai saudara. Kita diajak menerima mereka dengan rangkulan penuh kasih, seperti ditunjukkan-Nya kepada kita dalam diri dan karya Putra terkasih-Nya.”
“Pada kesadaran kasih itulah,” kata Pater Henslok, “Saya mau belajar mengungkapkan misi saya di Tanah Papua. Kendati untuk itu semua, ya butuh perjuangan. Apalagi, usia saya sudah tidak muda lagi, sementara medan misi Papua juga cukup menantang. Timika, Kokonao, Biak, dan kini kembali di Timika; merupakan tempat saya melayani bersama anak-anak Allah, selama hampir dua puluh tahun.”
Mendapat “Hadiah”
Pada April 2009, Pater Henslok menceritakan sebuah pengalaman kecelakaan yang disebutnya sebagai hadiah. “Saya pernah mendapat hadiah, kecelakaan dari sepeda motor. Dalam sebuah perjalanan menuju Katedral Tiga Raja Timika, motor yang saya kendarai tertabrak mobil. Saya terpental hingga masuk parit.”
Dokter bedah di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, paparnya, menyatakan ada tujuh titik patah tulang di tubuhnya. Misalnya, tulang di bagian lengan kanan, betis kiri, paha, dan pangkal paha. Sementara bagian sendi panggul dinyatakan hancur berantakan. Maka, ia dievakuasi dan dirawat ke Jakarta. Tulang sendi panggul bagian kirinya diganti. Sekian pen turut bersarang di beberapa bagian lainnya.
Beberapa bulan ia harus duduk di kursi roda, lalu latihan berjalan dengan bersandar pada dua krek hingga Juni 2012. “Masa pemulihan ini saya jalani di Papua sembari melakukan pelayanan sebisanya. Hingga suatu ketika saya bisa lepas dari krek (2017) dan berganti dengan tongkat untuk membantu saya berjalan,” kisahnya.
Keadaan yang tidak sempurna itu membuatnya terbatas dalam bergerak. Orang sering kali mau membantunya tapi ia tolak. “Jika saya tidak bisa pasti saya akan minta bantuan. Saya terus berlatih mengatasi kelemahan ini. Dan, syukurlah, sekarang sudah bisa mengendarai motor walau hanya motor matic karena telapak kaki kiri tidak bisa menapak dengan sempurna.”
Awalnya, tidak mudah baginya membayangkan dampak dari kecelakaan tersebut. Antara mungkin dan tidak mungkin membayangkan kelanjutan misinya di Papua. “Padahal misi merupakan passion dan perutusan saya. Namun, ternyata Allah punya kehendak,” tulisnya.
Pater Henslok bertutur, “Saya berterima kasih pada para inspirator saya, yakni cerita- cerita kehidupan yang pernah singgah di jalan hidup saya. Setahun sebelum bermisi ke Indonesia, saya pernah menjadi guru agama dan pengasuh di sebuah lembaga pendidikan Katolik untuk anak-anak tunanetra. Kegigihan anak-anak ini dalam belajar untuk hidup mandiri dan merasa bahagia telah menginspirasi saya untuk berlatih agar tidak bergantung pada orang lain. Demikian juga bacaan-bacaan tentang orang kudus dan misionaris yang menumbuhkan idealisme dalam diri saya. Ternyata, manusia bisa mengatasi ketidaksempurnaan dengan kemauan dan latihan””
“Dari cerita kehidupan merekalah idealisme bermisi saya di Tanah Papua dibangun kembali. Idealisme itu ialah bahwa saya ingin bangkit dan mengatasi kerapuhan serta kelemahan fisik yang ada, dan bertekad menyelesaikan misi hidup saya di Papua ini,” tutur Pater Henslok di bagian akhir Kata Pengantar buku yang ia tulis di Biara St. Yosep, Timika, dengan catatan, “Menyongsong pesta emas sebagai misionaris di Indonesia, Pater Herbert Henslok, SCJ.
Requiescat in pace et vivat ad aeternam!
FHS dari berbagai sumber