web page hit counter
Selasa, 26 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Keberadaan Toko PUSKAT Turut Menemani Perjalanan Panjang PML Hingga 50 Tahun. Ia Bukan Sekedar Toko

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – TIDAK jauh dari kantor Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta, terdapat sebuah toko yang bernama Toko PUSKAT. Toko tersebut didirikan pada tahun 1962 oleh Romo Ferdinand Heselaars, SJ di Kidul Loji, Yogyakarta. Tahun 1967 letak toko ini berpindah ke Jl. Abubakar Ali, Kotabaru, Yogyakarta.  “Dulu dikenal sebagai Showroom Sarana dan Prasarana karena sebagai fasilitas mahasiswa Fakultas IPPAK (Ilmu Pendidikan Agama Katolik) Sanata Dharma,” terang salah seorang petugas toko, Agustinus Hartono.

Ketika itu, buku dan kaset produksi PML mulai dijual dalam Showroom PUSKAT. Selain itu juga ada buku-buku terbitan Kanisius, Majalah Umat Baru dan produk-produk SAV (Studio Audio Visual). Tahun 1994 Showroom PUSKAT ini beralih kepemimpinan ke Romo Karl-Edmund Prier, SJ. “Sejak itu, Romo Pier melakukan beberapa perubahan. Tahun 1999 diresmikan sebagai Toko PUSKAT dan sudah mengantongi izin untuk beroperasi seperti toko rohani pada umumnya,” jelas Hartono.

Selain itu, segi manajemen juga berubah.  Romo Pier mengubah sistem pembayaran transaksi. “Sebelumnya manual dan pakai komputer yang jadul bisa dikatakan seperti itu. Bahkan dulu buku-buku belum mempunyai barcode sama sekali. Semua barang dibarcode, maka bisa mempermudah kami tinggal scan,” ujar Hartono

Tugas Utama

Sekarang, Toko PUSKAT sebagai penyedia jasa untuk buku-buku, alat peribadatan dan benda-benda rohani. Kemudian pemberi informasi mengenai buku-buku, terutama sarana Katolik dan juga informasi mengenai referensi musik-musik liturgi. “Tidak hanya itu, kami memberikan solusi kepada pengunjung yang mengalami kesulitan mengenai kebutuhan rohani,” ujar Hartono.

Menurut Bagian Adminitrasi Toko PUSKAT, Albertus Iwan Istianto, toko ini memiliki ciri tersendiri. Meskipun toko rohani Katolik, toko ini juga menjual buku dari ajaran agama lain. Intinya, buku yang senada dengan ajaran Katolik, seperti yang berisi ajaran cinta kasih, kebersamaan, saling menghargai, dan sebagainya, juga bisa ditemukan di sini. “Selain itu, setiap pengunjung langsung disapa dan ditanyakan apa kebutuhannya. Yang akan mencarikan adalah para pertugas toko. Itulah yang menjadi kelebihan kami memegang moto, pelayanan adalah tugas utama kami,” jelas Iwan.

Baca Juga:  Rekoleksi Pasutri TNI-POLRI: Siap Menikah, Siap Menderita

Ketika masih berbentuk showroom, menurut Iwan, kehadiran toko ini memang diartikan sebagai corong. Kami tidak sekadar menjual tapi membimbing, memberikan pengertian kepada pengunjung untuk jadi lebih mengerti dan tidak tersesat,” ujar umat Paroki Hati Kudus Yesus, Pugeran, Yogyakarta ini.

Peran Ganda

Hartono mengungkapkan, toko ini juga dapat dibilang sebagai toko dari PML. PML sebagai produsen dan percetakan, toko ini yang membantu menjualkannya.

Sekarang ini mereka sedang merambah masuk ke beberapa marketplace. Selain sebagai petugas toko, karyawan yang bekerja sejak 2016 ini turut membantu mengurus kepegawaian di PML. Pada kesempatan yang sama, Iwan menjelaskan, penerbitan, buku-buku baru dikerjakan oleh pihak PML. Sedangkan bagian operasional dibantu pihak toko. “Saya admintrasi di toko dan di PML juga. Beberapa kali kami terlibat membuat iklan dan mengurusi Majalah Warta Musik Liturgi. Saling bahu membahu,” tutur Iwan. Setiap pagi, karyawan toko pun turut megikuti ibadat pagi bersama yang dilakukan PML.

Seperti dengan PML, toko yang dibawah kepemimpinan Romo Pier ini menjadi suatu sarana berkembangnya  para karyawan.  Iwan dan Hartono merasa Romo Pier  selalu menganjurkan para karyawan untuk mencoba hal yang baru.  “Ia sebetulnya sudah melihat kemampuan kami maka ia mendorong kami  mencoba. Setelah dicoba, ternyata bisa. Saya senang, ia juga senang,” terang Iwan.

Kendati demikian kadang ada perbedaan pendapat. Menurut Hartono, sebagai pimpinan, Romo Pier selalu memberikan contoh bersopan santun. Ia kerap ngobrol dengan para karyawan menggunakan bahasa jawa halus sebagai tanda ia menghormati karyawan.

Menjawab Tantangan

Mewakili para karyawan, Hartono dan Iwan menyampaikan harapannya terhadap PML ke depan. “Ada baiknya PML bisa mengembangkan dapat penerbitan buku-buku (konsisten). Karena umat menunggu hal-hal yang baru, khususnya buku-buku. Hampir setiap minggu ada yang tanya mengenai produk-produk baru yang dikeluarkan PML. Nah, ini tantangan supaya mewujudkan itu,” terang Hartono.

Baca Juga:  Uskup Agung Palembang: Banyak Intelektual Katolik, Hanya Sedikit yang Mau Berproses

Dua tahun lalu, PML kehilangan sosok yang memiliki peran yang tak tergantikan, yakni Paul Widyawan. Menurut Hartono, sejak Paul berpulang, belum ada lagi lagu-lagu baru. “Kami seperti kehilangan arah, mau ke mana. Kekuatan PML seakan hilang. Ini juga merupakan tantangan yang kami hadapi.   Sepengetahuan saya, sekarang ini PML sedang menggali dari lagu-lagu koleksi yang ada. Lalu Romo Pier membuat terobosan untuk membuat buku-buku, sambil mengisi waktu sebelum adanya lagu-lagu baru,” ungkapnya.

Lain hal dengan Iwan, ia berharap PML tetap dapat bertahan dan semakin lebih baik, terutama, regenerasi orang muda yang kemampuannya juga mumpuni.

Tunjukkan Jati Diri

Frans Aryanuarto Prasetyo, akrab disapa Arya, merupakan salah satu reseller setia di toko ini. Sejak 2013, ia menjadi reseller buku-buku terbitan dari PML. Menurut Hartono, selain datang untuk mengambil buku-buku pesanan di toko, Arya kerap bercengkrama dengan para karyawan layaknya sebagai rumah kedua.

Ketika ditemui langsung di toko ini, 28/5/2021, Arya menceritakan bahwa awalnya ia hanya sebagai konsumen. Ia tertarik dengan musik dan membuatnya ingin studi musik. Tahun 1998 ia hendak mencari referensi sebelum mengambil studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia melihat kebanyakan mahasiswa ISI menggunakan buku-buku yang ternyata dijual di toko ini. “Buku musik yang diterbitkan oleh PML sangat lengkap seperti sejarah musik, ilmu melodi dan sebagainya. Begitu juga dengan kualitas kertasnya, berbentuk hardcover, gambarnya berwarna. Sangat eksklusif pokoknya,” ungkapnya.

Seiring dengan itu, ia sering berkunjug karena ia tidak biasa membeli buku banyak sekaligus. Ia beli satu per satu sambil mencari tahu isi buku-buku yang belum ia punya. Kemudian, mulai beberapa teman dari luar kota kerap memesan buku-buku musik ini kepadanya. Sehingga, ia memutuskan untuk menjadi reseller. “Awalnya pun saya hanya menjual yang saya suka. Seiring berjalanan waktu,  saya mengikuti pesenanan yang ada,” jelas alumni ISI angkatan 1999 ini.

Baca Juga:  Telentang di Atas Gunung Sampah, Pastor Mutiara Andalas: Kita Tidak Menyalibkan Tuhan di Tempat Sampah

Bagi Arya, melalui toko ini, PML memberikan referensi yang amat baik. “Terbitan PML adalah yang terbaik dalam segi musik,” tegasnya. Buku musik terbitan lain, menurutnya, kadang kurang konsisten. “Contoh, sebuah penerbit membuat kamus musik, kadang tidak ada kelanjutannya atau memproduksi buku sejarah musik namun diterjemahkan. Empat seri buku sejarah musik produksi PML ditulis oleh orang Jerman asli. Seri 1-2 oleh Romo Pier. Seri 3-4 oleh Dieter Mack. Mereka orang yang kompeten di bidangnya,” jelasnya.

Selama menjadi  konsumen dan reseller, Arya merasa disapa oleh PML. “PadabBeberapa even terkahir, saya sempat diajak meeting bersama membahas materi. Artinya PML sangat terbuka dengan masukan pihak luar,” ungkapnya.

Display buku-buku terbitan PML di Toko Puskat. (Foto: HIDUP/Karina Chrisyantika)

Memasuki usia ke-50 tahun, ia sangat mengharapkan PML selalu memproduksi buku baru. “Bagi saya, PML sudah menjadi sebuah pusat yang berskala nasional. Konsumen saya hampir se-Indonesia. Sebagai pusat penerbitan buku musik liturgi, musik inklutrasi, musik tradisi, ada baiknya PML bisa menerbitkan buku kajian musik pop. Harapannya bisa melebarkan sayapnya lagi,” terang kelahiran Palembang, 2 Januari 1975 ini.

Kendati demikian, beberapa tahun terakhir, Arya menemukan buku PML dibajak dan tidak hanya satu orang yang menjual buku bajakan tersebut. Menurutnya, ini merupakan tantangan bagi PML dan toko untuk membuat dirinya dikenal baik, juga tempat aslinya. “Mungkin saja orang-orang yang membeli buku bajakan itu tidak tahu belinya di mana. Semoga PML serta Toko PUSKAT semakin menunjukan jati dirinya di Yogyakarta karena cuman satu-satunya,” tutup Arya.

Karina Chrisyantia

HIDUP, Edisi No.27, Tahun ke-75, Minggu, 4 Juli 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles