web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

50 Tahun Pusat Musik Liturgi: Menjaga Lidah Api Konsili Vatikan II

5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Kelahiran PML didasarkan pada niat untuk menangani musik Gereja secara profesional. Dimulai dengan eksperimen untuk menciptakan dan melatih lagu liturgi baru sesuai dengan cita-cita liturgi baru.  

Berawal dari obrolan berkala antara Romo Karl-Edmund Prier, SJ dengan (alm.) Paul Widyawan sejak tahun 1967, ide mendirikan Pusat Musik Liturgi (PML) terbit. Saat itu Romo Prier sedang menempuh studi teologi di Yogyakarta. Perbincangan itu menghasilkan buah pikir untuk menangani musik Gereja secara profesional.

Pengalaman Keprihatinan

Cita-cita itu juga didasari oleh pengalaman keprihatinan Romo Prier. Dalam Majalah “Warta Musik” edisi 03/2021, ia mengajak umat melihat akar dari timbulnya asa itu melalui pengalaman yang ia saksikan. Hatinya berkecamuk ketika tiba di Indonesia pada tahun 1964, ia menjumpai bahwa di Indonesia, umat masih terpaku pada nyanyian Greogrian. Nyanyian Gregorian merupakan nyanyian yang sulit sehingga seringkali menjadi siksaan bagi umat ketika dilatih. Kala itu, tidak ada pilihan lain selain menyanyikan nyanyian Greogorian karena nyanyian dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya masih sangat kurang.

Pengalaman itu dilukiskannya ketika tahun 1964 ia belajar bahasa Jawa di Wonosari. Saat itu, ia melihat Frater Topper (frater yang selang menjalani tahun orientasi pastoral) mengumpulkan beberapa anak putra altar dan melatih lagu proprium hari Minggu. Lagu Gregorian diserdahanakan, kata-kata Latin dibawakan dengan lagu Mazmur saja. Tanpa partisipasi umat. Lagu Misa de Angelis yang sama pun dinyanyikan oleh umat setiap hari Minggu. Kemudian saat pertama kali pergi ke Flores, Nusa Tengara Timur (NTT) tahun 1967, ia menyaksikan bagaimana ratusan umat menyampaikan Misa de Angelis dengan tiap nada mendapat aksen, artinya musik lambat sekali. Khusus untuk Misa pada Hari Raya Natal dan Paskah ada kor yang menyanyikan ordinarium Latin (mis. Misa Perosi, komponis Italis abad 19) tentu tanpa partisipasi umat. Ia mencatat masalahnya, lagu Gregorian tidak pernah dipelajari dengan sungguh-sungguh karena di Indonesia tidak ada biara Ordo Santo Benediktus (OSB) seperti di Eropa di mana lagu Gregorian dipelihara sampai sekarang.

Memang di samping warisan lagu Gregorian dan klasik/semiklasik ini yang cukup miskin, terdapat juga akar-akar yang baru tumbuh seperti di Manggarai di mana Mgr. Van Bekkum, SVD berhasil mengumpulkan sejumlah guru Katolik untuk menyusun lagu Gereja dari lagu daerah. Hasilnya masih ada berupa buku “Dere Serani”. Di Jawa Tengah pun ada usaha untuk menciptakan lagu liturgi baru. Tahun 1956 Uskup Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ mendirikan panitia untuk mengembangkan gendhing-gendhing Gereja, yakni ordinarium dengan tangga nada Pelog, namun semula dengan syair Latin/Yunani. Baru kemudian (dengan izin dari Roma) dengan bahasa Jawa. Akan tetapi usaha tersebut tidak ditangani secara profesional dan tidak berkelanjutan.

Baca Juga:  Kongregasi Misionaris Claris Tingkatkan Kompetensi Para (Calon) Anggota

Angin Segar Konsili

Pada tahun 1962-1965 diadakan Konsili Vatikan II di Roma. Dokumen pertama yang dihasilkan adalah “Sacrosanctum Concilium” (SC) atau Konstitusi tentang Liturgi Suci (SC) di mana perayaan liturgi mengalami suatu revolusi: bahasa Latin diganti dengan bahasa pribumi dan prinsip universal/seragam di seluruh dunia diganti dengan prinsip pastoral/kepentingan umat lokal yang diutamakan.

Selain itu, musik yang tadi hanya dipandang sebagai hiasan/selingan dalam liturgi kini dikatakan, “merupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral…Musik Liturgi…mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, memupuk kesatuan hati, memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak; maka segala bentuk kesenian yang sejati memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi dapat dipakai dalam ibadat kepada Allah” (SC 112). Termasuk di dalamnya budaya dan musik tradisional setempat “yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat…mendapat tempat yang sewajarnya dalam liturgi” (SC 119).  Termasuk di dalamnya “Alat-alat musik selain organ dapat juga dipakai dalam ibadat suci sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi” (SC 120). Pembaharuan musik liturgis tidak hanya bersifat praktis.

Sebelum ke Indonesia, Romo Prier telah merasakan angin pembaruan liturgi ketika bertugas di Kolose Stella Matutina di Feldkirch, Asutria, pada tahun 1962-1963, di mana liturgi telah dimeriahkan dengan lagu dan refren yang ditulis dalam bahasa Jerman, dan bukan lagi bahasa Latin. Untuk itu, ia pun merasakan ada kemunduran yang dialaminya karena angin pembaruan yang dialaminya di Austria tidak dialami di Indonesia. Keprihatinan tersebut diungkapkan dengan kalimat berikut ini: “Ibadat diharapkan dirayakan dengan bahasa Indonesia tetapi tidak ada lagu liturgi Indonesia; umat diharapkan ikut serta secara aktif tetapi tidak ada dirigen untuk melatih dan menyemangati umat; apalagi tidak ada organis; liturgi diharap mencari wajah pribumi dan menimba dari kekayaan musik setempat namun tidak jelas bagaimana caranya.”

Baca Juga:  Renungan Harian 22 November 2024 “Suara Merdu vs Sumbang”

Dari batin yang terusik itu, saat sedang belajar teologi (1967-1970) di Yogyakarta, pembaharuan liturgi dan musik liturgi ini menjadi bahan diskusi hebat. Diskusi ini tidak hanya terjadi di Kolese Ignatius tetapi juga dalam pertukaran pikiran dengan Paul Widyawan. “Selama empat tahun kami mimpi-mimpi bersama bagaimana keinginan Konsili dapat direalisasikan di Yogya dan di Indonesia,” tulisnya. Ia pun menjabarkan dalam artikel “Sejarah PML 1971-2021” bahwa diperlukan lagu liturgi baru dalam bahasa Indonesia, diperlukan penataran kor, dirigen, organis, diperlukan contoh pembawaan/rekaman, dan terutama diperlukan “inkulturasi” (istilah ini belum dipakai dalam Konsili baru muncul sekitar tahun 1975) atau langkah percobaan untuk memakai alat musik tradisional seperti angklung, kolintang, keroncong, dan tentu saja gamelan sebagai alat penggiring lagu Gereja.

Impian Terwujud

Tahun 1971 impian menjadi nyata dengan didirikan PML sebagai karya Yesuit. Pada awal berdirinya, PML hanya memiliki  dua orang staf, yakni Romo Prier sekaligus sebagai pimpinan PML dan Bernard Suparyanto, seorang lulusan Akademi Kateketik Indonesia (AKI) yang sekarang menjadi IPAK SaDar (Ilmu Pendidikan Agama Katolik Sanata Dharma). Keduanya dibantu oleh Paul Widyawan, sebagai pimpinan Vocalista Sonora, yang menjadi rekan setia dalam berkarya hingga akhir hayat. Tidak hanya itu, mereka juga menggandeng berbagai pihak. Kelompok paduan suara Vocalista Sonora dan Kursus Organ, yang sudah ada sebelum PML pun menjadi rekan tetap dan bagian dari PML.

Bibit yang baru tumbuh ini juga harus menghadapi gelombang sekularisasi yang masuk ke Indonesia pada tahun 1970. Dampak sekularisasi ini terlihat dengan adanya Misa Band serta apa saja boleh dalam liturgi. Menghadapi itu, PML menyeleksi lagu terbaik antara lagu Gereja dari Prancis (Gelineau), Jerman, Belanda, dan menyusun buku “Gema Hidup” sebagai langkah awal untuk merealisasikan impian menghadirkan lagu berbobot dan menarik.

Kongres Musik Liturgi tahun 1975 di Yogyakarta (Foto: Dok.PML)

Kemudian pada tahun 1973, Romo Prier diangkat sebagai ketua Seksi Musik dari Komisi Liturgi (KomLit) MAWI (sekarang KWI). Ini menjadi kunci ke langkah berikut di mana tim PML dibantu dengan beberapa penyanyi dari Vocalista Sonora diundang ke Jakarta untuk mengurus nyanyian selama Kongres Liturgi 1973. Karena lagu-lagu ini mengesankan, diputuskan untuk diadakan Kongres Musik Liturgi tahun 1975 di Yogyakarta. Kongres disiapkan dan Romo Prier pun berkeliling Indonesia untuk mengumpulkan lagu-lagu yang lahir secara lokal seperti Misa Dolo-dolo, Misa Karo, Mazmur Minahasa. Paul Widyawan juga mulai aktif sebagai komponis dengan mengarang lagu inkulturatif yang dipakai dalam kongres. Tak mengherankan diputuskanlah untuk membuat buku doa dan lagu Gereja untuk seluruh Indonesia. Maka tahun 1980 terbitlah buku “Madah Bakti” (MB) yang diresmikan dalam Kongres Liturgi di Jakarta. MB berisi 150 lagu terjemahan dari barat, 150 lagu ciptaan baru dalam gaya Barat, dan 150 lagu inkulturasi.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

Menjadi Nasional

Hingga tahun 1980 PML masih bekerja Yogyasentris. Tahun 1984 melalui ajakan Romo Huvang, MSF untuk berlokarya di Buntok di hulu Barito, Kalimantan Tengah bersama umat Dayak membuka tahap baru PML, yakni dari Yogyasentris menjadi nasional. Paradigma baru pun muncul di mana tim PML memilih pergi ke akar rumput, ke hulu sungai, ke pulau terpencil, ke pegunungan Bintang Papua di mana musik tradisional hidup. Hasilnya, 57 lokakarya komposisi terlaksana dengan pola kerja baru. Orang yang tadi terlupakan kini diberi suara, mutiara yang tersembunyi ditampilkan.

Namun di tengah gairah menelurkan karya baru, terdengar kritik terhadap MB tahun 1988. Kritik itu berupa aksen kata tidak sesuai dengan “peraturan bahasa Indonesia yang benar”, lagu Gregorian kurang banyak, lagu inkulturasi terlalu banyak. “Dalam rapat KomLit KWI berulangkali didiskusikan. PML berkeberatan, dikalahkan, mundurkan diri, “terang Romo Prier. Maka tidak terjadi revisi MB tetapi terbit buku “Puji Syukur” (1992) sesaat sebelumnya PML menerbitkan buku MB suplemen dengan 300 lagu inkulturasi. “Salahkah diperjuangkan musik Gereja yang khas Indonesia? Betulkah lirik nyanyian selalu ikut peraturan ahli bahasa Indonesia? Benarkah lagu Gregorian yang lahir dari budaya yang serba berlainan “mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena” (SC 112)?” tulisnya. Tahun 2000 terbitlah MB edisi 2000 dengan seleksi dari lagu Suplemen ditambah sejumlah lagu baru dari lokakarya di Papua, Maluku, Flores, Timor, dan Batak.

Merefleksikan kembali perjalanan 50 tahun PML, Romo Prier mengungkapkan, “Dapat dikatakan, kita sudah menemukan identitas musik Gereja Indonesia yang sedikit banyak ditentukan oleh inkulturasi. MB memainkan peranan cukup besar untuk membentuk identitas lagu Gereja Indonesia. Pertentangan adalah tanda hidup dan buktinya Musik Gereja Indonesia hidup serta Bhineka Tunggal Ika makin nampak di dalamnya melalui inkulturasi.”

Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No. 27, Tahun ke-75, Minggu, 4 Juli 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles