HIDUPKATOLIK.COM – Aku baru saja mematikan laptopku saat kulihat gadis kecil itu lagi di luar toko. Ia menempelkan wajah dan kedua telapak tangannya ke kaca. Usianya kutaksir belum genap sembilan tahun. Wajahnya manis meskipun terlihat agak pucat. Rambutnya lurus sebahu. Ada tahi lalat di bagian bawah mata kirinya
Ini sudah ketiga kalinya kulihat ia berdiri dan mengintip ruangan dalam toko barang bekas milikku. Pandangannya hanya terarah ke sudut ruang toko. Di sana ada berbagai macam barang yang belum sempat kutata. Entah barang mana yang telah menarik perhatiannya.
Dua hari yang lalu aku sempat kaget karena ia seperti tiba-tiba saja muncul di sana. Ketika kudekati dan kutanya di mana ibunya, ia lari menjauh. Ketika ia datang lagi untuk yang kedua kalinya, aku menyuruhnya masuk sambil menunggu ibunya menjemput. Barangkali saja ia tersesat saat ibunya sibuk berbelanja di pasar. Namun ia menggelengkan kepalanya lalu pergi begitu saja.
Kali ini aku kembali melihatnya menempelkan wajahnya di kaca toko. Pandangannya masih tetap tertuju ke sudut ruang toko. Akhirnya kubuka pintu kaca tokoku. Ia memandangku ragu. Namun sepertinya ia tidak berusaha lari lagi seperti yang sudah-sudah.
“Kamu sendirian? Ke mana ibumu?” tanyaku lembut. Ia menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum. Kuulurkan tanganku ke arahnya.
“Sebenarnya toko ini sudah mau tutup. Tapi kamu boleh masuk, kok. Nanti kalau ibumu mencarimu, kamu bisa melihat beliau dari dalam,” ujarku.
Toko barang bekasku ini memang letaknya cukup strategis. Setiap orang yang menuju atau pulang dari pasar pasti akan melewati tokoku. Kuduga gadis kecil itu bosan menunggui ibunya berbelanja lalu berjalan-jalan sendiri hingga sampai ke tokoku ini. Beberapa saat gadis kecil itu terdiam sebelum akhirnya dilangkahkannya kakinya pelan, mengikutiku masuk ke dalam toko.
Sampai di dalam, pandangannya tertumbuk pada sebuah kotak kayu panjang di sudut ruang. Kotak kayu itu diantarkan oleh sepasang suami istri minggu lalu. Ada beberapa macam barang di dalamnya seperti jam dinding, boneka, lampu meja, buku-buku dan beberapa barang lain. Sebenarnya aku agak heran karena barang-barang itu masih dalam kondisi sangat bagus dan terawat. Namun sepertinya sepasang suami istri itu benar-benar tidak ingin memiliki barang-barang itu lagi.
. Aku membiarkan gadis itu mendekati kotak kayu panjang itu. Ia mengelus bagian pinggirannya. Wajahnya tampak muram. Meskipun aku ingin tahu kenapa, namun seolah ada sesuatu yang mencegahku untuk bertanya.
“Mengapa kotak kayuku ada di sini?” tanyanya dengan suara lirih. Aku mengerutkan keningku. Kulangkahkan kakiku mendekatinya.
“Kotak kayumu?” tanyaku heran. Ia mengangguk. “Kotak kayu ini bagian penutupnya agak retak karena dulu sering kuinjak-injak. Aku suka melompat-lompat dan menari di atasnya, seperti sedang berada di atas panggung,” lanjutnya. Aku pun memperhatikan kotak kayu itu. Memang benar ada bagian yang retak di bagian penutupnya. Lalu kubuka kotak kayu itu perlahan. Gadis itu memekik pelan saat melihat isinya.
“Oh, buku-bukuku…” Ia meraih sebuah buku yang ada di tumpukan paling atas. “Ibuku selalu membacakan cerita dari buku-buku ini setiap malam,” imbuhnya.
“Kalau benar semua barang ini milikmu, berarti kemarin yang mengantar kotak kayu ini kemungkinan adalah ayah ibumu,” ujarku sambil mengingat sepasang suami istri yang tempo hari mengunjungi tokoku.
“Mengapa mereka menjual barang-barangku?” Suaranya terdengar sedih. Aku hanya mengangkat bahu. Tiba-tiba saja aku juga ikut merasa sedih. Apa yang ada dalam pikiran ayah dan ibunya hingga tega menyingkirkan barang-barang milik putrinya sendiri?
Yang kuingat waktu itu mereka seolah tidak mempedulikan harga yang kutawarkan. Setelah transaksi selesai, sepasang suami istri itu bergegas pergi meninggalkan tokoku tanpa melihat lagi jumlah uang yang kuberikan. Sepertinya mereka memang tidak ingin melihat barang-barang itu lagi di rumah mereka.
Lalu gadis kecil itu mengaduk-aduk barang-barang dalam kotak kayu itu. Dikeluarkannya sebuah kotak musik berbentuk piano. Kotak musik itu terlihat masih mengkilat. Warnanya hitam dengan pinggiran keemasan. Ia membuka bagian penutup piano itu. Lalu terdengarlah lagu Fur Elise mengalun lembut. Senyumnya mengembang.
“Aku sering tak bisa tidur sebelum mendengar lagu Fur Elise dari dalam kotak musik ini,” katanya.
“Kamu boleh ambil kotak musik itu lagi kalau kamu mau,” ujarku tanpa pikir panjang lagi. Dalam hati aku merasa iba. Aku tak habis pikir mengapa ayah dan ibunya menyingkirkan barang yang membuat putrinya bisa tertidur nyenyak? Tega sekali! Gadis itu membelalak tanpa menyembunyikan rasa senangnya.
“Sungguh?” tanyanya seakan tak percaya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Barang-barang itu kubeli dengan harga yang sangat murah. Aku tak akan merugi dengan memberi sedikit kesenangan pada gadis itu.
Terima kasih,” ucapnya berbisik. Lalu gadis kecil itu melangkah keluar dari toko dengan langkah yang mantap. Kotak musik itu masih dipeluknya dengan rasa sayang. Memandangnya keluar dari tokoku, aku merasa telah melakukan sesuatu yang benar.
Esok paginya saat aku baru saja membuka toko, sepasang suami istri itu kembali datang. Kali ini wajah mereka tampak keruh. Apakah mereka akan menjual barang-barang milik putri mereka lagi? Terlalu!
Namun dugaanku salah. Sang istri mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Kotak musik itu!
Raut wajahnya terlihat bingung saat mengangsurkannya padaku.
“Aku sudah menjual benda ini kepadamu minggu lalu kan?” tanyanya. Sang suami yang tak kalah keruh wajahnya mengelus-elus pundak istrinya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Benar, Bu.”
“Lalu mengapa kotak musik ini bisa kembali lagi berada di kamar putriku?” Wajah perempuan itu terlihat sedih. Lalu sang suami merangkul dan berusaha menenangkan perempuan itu. Sesaat aku tidak paham mengapa kembalinya benda itu membuatnya sedih. Kuhela napas panjang, teringat pada gadis kecil yang kemarin datang ke tokoku
“Putri Anda yang mengambilnya kembali, Bu. Kemarin dia datang ke toko ini. Kelihatannya ia sangat sedih melihat barang-barangnya ada di sini. Dia…”
“Sebentar…sebentar… Apa? Kemarin putri kami ke sini? Bagaimana Anda tahu itu putri kami?” potong sang suami nyaris berteriak. Aku terdiam sejenak karena agak kaget mendengar suaranya yang keras. Tapi ia sepertinya menyadari reaksinya yang berlebihan. “Mmm maaf… maksud saya…bagaimana ciri-cirinya?” Kini suaranya terdengar lebih terkendali. Meskipun begitu wajahnya masih terlihat gusar.
“Usianya mungkin sekitar sembilan tahunan. Wajahnya manis, rambutnya lurus sebahu. Dan ada tahi lalat di bagian bawah mata kirinya….”
“Tidak mungkiinn… Tidak mungkiinn!” Sang istri menjerit lalu tubuhnya limbung. Untung suaminya segera memeganginya. Aku segera sigap membantu lelaki itu memapah istrinya menuju kursi di dekat pintu.
“Saya ambilkan minum, Bu,” ujarku panik.
Setelah minum beberapa teguk air putih, perempuan itu kembali terisak. Ia memeluk kotak musik itu ke dadanya sambil menangis.
“Lisaaa… Lisaaa…” Perempuan itu menyebut sebuah nama dengan bibir gemetar.
“Maaf Pak, saya tidak mengerti. Kenapa ibu menjadi sedih? Apanya yang tak mungkin?” tanyaku ingin tahu. Lelaki itu menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca.
“Lisa, putri kami mengalami kecelakaan bulan lalu. Ia… ia tak bisa diselamatkan. Kami sangat berduka dan kehilangan. Untuk mengurangi rasa duka itu, kami… sengaja menyingkirkan barang-barang yang mengingatkan kami… pada dia…” Lelaki itu terbata-bata berkisah.
“Be..,benarkah? Oh maaf, saya ikut berduka…” Aku mendegut ludah beberapa kali. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku sedikit menggigil. Jadi yang datang kemarin itu… arwah Lisa? Oh Tuhan!
“Sebelumnya putri Anda sudah beberapa kali mengintip ke dalam toko saya. Kemarin saya menyuruhnya masuk. Ia tertarik pada kotak kayu panjang itu. Ia mengatakan ibunya sering membacakan cerita dari buku-buku yang ada dalam kotak itu. Dan katanya pula, ia sering tidak bisa tidur sebelum mendengar lagu Fur Elise dari kotak musik itu. Maka saya biarkan dia membawanya…” Aku melanjutkan kesaksianku dengan suara yang gemetar..
Ibu Lisa tampak terpukul mendengar ceritaku. Isaknya makin keras. Sementara suaminya masih berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Kesedihan tergambar di raut wajahnya.
“Itu benar Lisa, Mas… Itu putri kita…” Sang istri berbisik di sela isakannya. Suaminya langsung memeluknya erat. Mereka bertangisan sesaat. Aku hanya memandang mereka sambil berusaha meredam rasa haru dan iba yang dalam.
“Pak, Bu, saya tidak akan menjual barang-barang milik Lisa. Kalau Bapak dan Ibu menginginkannya, saya tidak keberatan untuk menyerahkan kembali.” Akhirnya aku membuka suara. Bagiku, sesakit apa pun rasa kehilangan, tidak serta merta harus menyingkirkan kenangannya begitu saja. Apalagi kenangan tentang orang yang kita cintai.
Sepasang suami istri itu hanya diam. Duka masih menyelimuti mereka. Kuharap mereka tidak butuh waktu lebih lama untuk melepaskan kesedihan.
Oleh Tantrini Andang