HIDUPKATOLIK.COM – Selama 40 tahun menjalani imamat, dirinya menyadari bahwa ‘keberhasilan’ dan ‘pencapaiannya’ semata-mata karena kemurahan Tuhan.
APA dan siapakah saya? Pertanyaan ini senantiasa ‘menggangu tidur nyenyak’ Pastor Johanis Mangkey, MSC menjalani 40 tahun imamatnya. Baginya seorang imam sulit menemukan jawabannya bila melepaskan diri dari Kristus. Menyambuat ulang tahun tahbisan presbiteratnya itu (29/6), HIDUP berbincang-bincang dengan Pastor Yance, sapaannya, di ‘mabes’ MSC di Jl. Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Petikannya:
Mengapa 40 tahun imamat ini didedikasikan untuk Seminari Menengah Kakaskasen Manado?
Pertama, saya merasa bahwa perjalanan panjang panggilan untuk melayani secara formal diawali dari Seminari Kakaskasen (1966-1973). Tahun-tahun ini adalah masa sulit dalam studi sebagai calon imam. Ada banyak keterbatasan baik soal makan-minum atau fasilitas yang minim. Menu makanan setiap hari adalah nasi jagung, sayur kangkung, dan ikan asin yang kualitas rendah. Kadang kala kami mencari ubi manis liar di bukit di belakang seminari untuk disantap. Ubi itu tidak boleh dibakar takut asapnya diketahui rektor atau pembina, jadi hanya dimakan begitu saja. Puji Tuhan tidak pernah kami sakit perut. Kedua, saya melihat bahwa Seminari Kakaskasen tetap menjadi sumber panggilan bagi MSC hingga saat ini. Ketiga, saya ditahbiskan imam bersama dua rekan saya, Pastor Aloysius Roong, MSC dan Pastor Frans Rares, MSC. Dua rekan ini sudah kembali ke almamater sebagai almarhum dan menempati kuburan di belakang seminari. Maka dalam perayaan ini saya perlu kembali bersyukur bersama mereka.
Apa alasan memilih menjadi seorang imam MSC?
Di zaman saya masih kecil dan masuk seminari, imam MSC masih lebih banyak dijumpai. Walaupun ada promosi untuk menjadi imam diosesan misal, dari enam orang angkatan yang tamat dari Seminari Kakaskasen lalu masuk Seminari Tinggi Pineleng, empat orang MSC dan dua orang diosesan (projo). Tapi secara garis besar, saya memilih MSC karena pengaruh para pastor MSC yang saya jumpai saat itu. Paroki saya juga masih digembalakan pastor MSC baik dari Belanda maupun Indonesia. Saya masuk seminari menengah dibantu Pastor Joannis Talibonso, MSC. Waktu saya masuk studi di Kakaskasen ada Pastor Johanis Mengko, MSC.
Selama 36 tahun Pastor membaktikan diri dalam pelayanan internal dan struktural MSC. Apa makna dari tugas-tugas ini?
Saya tidak memiliki banyak pengalaman pastoral di tengah umat. Tapi selama perjalanan imamat ini saya telah berjumpa dengan begitu banyak orang dan kalangan baik melalui pelayanan, rapat, socius gathering, atau acara-acara tertentu. Walau hanya dua tahun melayani di tengah umat, namun dalam pelayanan pastoral dan sakramental, banyak umat dan kelompok kategorial yang saya layani. Ada perjumpaan dengan rekan imam dalam berbagai pertemuan. Ada juga para religius atau biarawan-biarawati dalam perayaan retret, rapat, atau situasi istimewa tertentu. Perjumpaan juga dengan hierarki seperti uskup dalam dan luar negeri yang saya jumpai. Saya bisa mengundang Kardinal John Ribat, MSC Uskup Agung Port Moresby, Papua New Guinea ke acara penahbisan Mgr. Rolly Untu, MSC bebrapa tahun lalu. Tugas dan tanggung jawab ini membuat saya juga bertemu kalangan lain seperti para donatur dan pengusaha, gubernur, bupati, dan wali kota. Ada juga pertemuan dengan para Duta Besar seperti Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Francesco Canalini; Mgr. Pietro Sambi; Mgr. Renzo Fratini; Mgr. Lepoldo Girelli; dan Mgr. Antonio Guido Filipazzi serta Mgr. Piero Pioppo termasuk Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Jadi ada banyak pengalaman luar biasa yang saya jumpai selama 36 tahun pelayanan struktural Tarekat MSC.
Pastor juga mengurus dispensasi dan laisasi para mantan imam atau diakon. Bagaimana cerita awalnya?
Saya mulai mengurus dispensasi dan laisasi sejak 2009 waktu menjadi Provinsial MSC. Suatu saat seorang mantan imam MSC menelepon dan meminta bantuan untuk mengurus laisasinya, proses pelepasan atau pembebasan dari ikatan dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada imamat termasuk selibat. Secara spontan saya menjawab “ya, saya akan bantu.”
Tetapi sebenarnya saya tidak paham cara dan prosesnya serta siapa yang akan menanganinya. Biasanya tugas ini diemban orang yang belajar Hukum Gereja, sedangkan latar belakang saya Spiritualitas. Saya belajar otodidak tentang proses hukum pengurusan laisasi. Untunglah mantan yang menemui saya masih berusia 39 tahun, sedangkan untuk mengajukan permohonan laisasi harus berusia 40 tahun. Saya punya waktu setahun untuk belajar dan menyiapkan dokumen-dokumen yang perlu. Lewat ketekunan dan kerja keras saya menyelesaikan hal itu dan mengirimkan dokumen itu ke Roma. Dan ada berita menarik bahwa proses itu cepat dikabulkan, suatu kegembiraan yang luar biasa. Setelah orang pertama itu, berita tersebar di kalangan para imam sehingga banyak yang akhirnya meminta bantuan.
Sudah berapa pastor atau diakon yang dilayani laisasi atau dispensasi dan apa kesulitannya?
Saya tidak saja melayani laisasi para mantan imam MSC tetapi juga mantan iman dan diakon diosesan dari Keuskupan Manado, Amboina, dan Ketapang. Sejak awal sampai sekarang sudah ada 23 (22 pastor dan 1 diakon) yang disetujui laisasinya. Saat ini sedang berjalan juga permohonan dispensasi dari kaul sementara dan kaul kekal. Ada dua pelepasan (dispensasi) dari kaul kekal dua bruder MSC dan dispensasi dari kaul sementara dari sejumlah frater dan bruder MSC. Bahkan saya pernah diminta mengurus pelepasan dari kaul kekal suster. Kesulitan utama sebenarnya terletak pada berkas-berkas atau dokumen yang harus disiapkan. Tetapi terkadang ada uskup setempat yang juga “menyulitkan” proses ini sehingga tidak memberi tanda tangan. Proses lain yang sulit adalah calon tidak terbuka pada situasinya dan menghambat proses laisasi atau dispensasi.
Kebahagian apay ag Pastor rasakan setelah mendapatkan dispensasi dan laisasi seorang mantan imam misalnya?
Saya semata-mata melihat pekerjaan ini sebagai bentuk penghayatan saya secara nyata akan spiritualitas hati yang mengedepankan kemurahan hati dan bela rasa (compassion). Suatu karya belas kasih Allah yang tak terhingga. Saya bertemu dengan banyak mantan pastor, diakon, bruder, atau frater, dan suster yang setelah keluar tidak bahagian dengan jalan hidupnya. Mereka hidup dalam tekanan baik dalam hidup menggereja maupun dalam bermasyarakat (bila berada di mayoritas Katolik). Biarlah penderitaan dan tekanan batin mereka ini diringankan agar mereka menekuni hidup tanpa tekanan dari manapun. Saya mencoba mengambil bagian membantu meringankan penderitaan moral mereka.
Apa saja refleksi Pastor dalam rangka 40 tahun imamat ini?
Pertama, saya bersyukur bahwa ada banyak kesempatan yang saya jumpai dalam 40 tahun imamat ini. Saya merasa, dalam segalanya kasih Kristulah yang menyempurnakannya. “Super omnia autem hæc, caritatem habete, quod est vinculum perfectionis” (Di atas semuanya itu: kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan-Kol.3:14). Kedua, saya menyadari bahwa kasih karunia Allah yang memampukan saya setia selama 40 tahun dalam hidup imamat, dalam suka dan duka, dalam gembira dan perjuangan, dalam kerapuhan dan kelemahan: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahankulah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor. 12:9). Ketiga, apapun yang telah saya upayakan dan dipandang sebagai pencapaian adalah untuk kemuliaan dan kejayaan Kristus, yang memanggil dan mengutus saya. Maka saya percaya harusnya bukan saya yang dihormati dan dihargai tetapi Dia yang harus menjadi besar dan saya menjadi kecil. Illum oportet crescere me autem minui (Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”-Yoh. 3:30. Kutipan ketiga ini saya ambil sebagai moto imamat 40 tahun lalu sebagai imam, tetapi saya upayakan agar tetap menjiwai hidup imamat saya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No.26, Tahun ke-75, Minggu, 27 Juni 2021