web page hit counter
Sabtu, 21 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

MANAJEMEN: SEPERTIGA GAJI UNTUK GAYA HIDUP ATAU SEPADAN PENGHASILAN

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “Gaji kamu harus 3 kali biaya hidupmu,” demikian nasihat singkat seorang senior di kantor suatu saat. Mengapa harus 3 kali lipat dan datang dari mana hitung-hitungannya?

Sepertiga yang pertama dari gaji (atau penghasilan total) itu untuk biaya hidup sehari-hari, yang sudah pasti harus dibelanjakan. Ya kebutuhan pokok (primer) seperti sandang, pangan, papan, dan sejenisnya. Itulah dana yang harus selalu ada dari seorang manusia untuk hidup secara layak dan minimum.

Sepertiga yang kedua adalah untuk kebutuhan sekunder yang berkaitan dengan usaha menciptakan atau bahkan menambah kebahagiaan hidup, sifatnya penunjang. Kebutuhan ini bisa ditunda setelah kebutuhan primer dipenuhi. Contoh kebutuhan sekunder: pendidikan, kesehatan, dan hiburan.

Sepertiga yang ketiga adalah untuk kebutuhan tersier, yang berkaitan dengan usaha menciptakan atau meningkatkan harga diri, prestise, gengsi, atau bisa juga disebut gaya hidup. Sifatnya seperti aksesoris, untuk menambah penampakan bagi orang lain. Sampai di sini belum disebut tabungan atau cadangan untuk masa depan, dan dana darurat untuk biaya tak terduga seperti pengobatan sakit kritis.

Seseorang yang peduli dengan perencanaan keuangan, tentu akan bijak menentukan alokasi dana yang tepat untuk biaya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Dahulukan dana kebutuhan primer, dan bila ada sisanya baru untuk kebutuhan sekunder dan atau tersier. Janganlah besar pasak daripada tiang, lebih besar biaya (primer) daripada penghasilan. Apalagi bila memaksakan belanja kebutuhan tersier.

Karena alasan (mendadak) tertentu, seseorang bisa saja mengubah peruntukan dan porsi alokasi anggarannya. Setelah itu akan kembali ke besaran alokasi yang sudah seharusnya. Bisa juga melibatkan dana pinjaman untuk kebutuhan mendesak, setelah itu membayarnya secara mencicil.

Bersyukurlah orang yang hidupnya berkecukupan sejak lahir karena kemampuan orang tua, dan atau atas usaha pribadi orang itu sendiri sejak dini. Dalam keadaan apa pun juga, yang ideal adalah membiasakan hidup sesuai kemampuan diri sendiri. Dengan demikian, orang akan meminjam hanya setelah melalui perencanaan yang matang dan wajib mengembalikan pinjaman itu.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Macam-macam Gaya Hidup

Secara umum, ada 4 macam gaya hidup yang dilakukan oleh seseorang. Mulai dari gaya hidup yang dibentuk di keluarga sejak kecil; lalu karena kebutuhan fungsi sosialnya; lingkungan tempat berada; serta akhirnya gaya hidup yang khas dan melekat pada orang itu sendiri sebagai penanda khusus.

Sejak kecil, orangtua dan keluarga sudah membentuk dan membiasakan gaya hidup tertentu, mulai dari cara hidup bersih dan sehat. Ini berarti, segala makanan dan sarana bermain orang itu harus memenuhi syarat minimum untuk menunjang kesehatannya. Berlanjut saat memasuki pendidikan, orangtua akan memilihkan sekolah yang sesuai kebutuhan anak, harus bermutu, dan seterusnya.

Seseorang yang sudah dibiasakan bercita rasa tertentu sejak kecil, cenderung akan membawa gaya hidupnya itu ke dalam keseharian selanjutnya. Tentu saja yang berasal dari keluarga berkecukupan, bisa memiliki lebih banyak pilihan gaya hidup daripada orang dari keluarga yang lebih sederhana.

Menyangkut gaya hidup seseorang karena fungsi sosial, misalnya mewakili organisasi, orang itu mesti menjaga marwah (martabat) dari organisasinya. Apalagi kalau orang itu menempati jabatan fungsional dan atau struktural yang terhormat. Orang itu akan sadar diri untuk selalu tampil dengan pakaian yang rapi dan wangi bila hendak bertemu orang lain. Artinya, orang itu perlu mengenakan pakaian yang lebih dari standar keseharian hidupnya.

Lebih daripada itu adalah segala bentuk aksesori (pernak-pernik) yang melekat dari ujung rambut kepala hingga ujung kaki. Dalam hal ini kaum perempuan umumnya memerlukan lebih banyak pilihan barang yang melekat di tubuhnya daripada kaum laki-laki. Seperti sepatu, tas jinjing, perhiasan, dompet, pena, gawai pintar, dan seterusnya. Semua yang melekat dan barang tambahan ini untuk menunjukkan siapa dirinya serta kepantasannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Demikian pula, tempat makan yang didatangi beserta menu makannya, tempat hang out, padang golf, atau sejenisnya, perlu disesuaikan dengan kedudukan sosialnya. Semuanya dilakukan agar selalu hadir layak dan sepantasnya di mata orang lain, dalam keadaan sedang mewakili status sosial itu atau tidak.

Ada kalanya, lokasi pergaulan juga menuntut gaya hidup tertentu. Penampilan seseorang yang bekerja di lingkungan tertutup (seperti pabrik), tentu dapat lebih sederhana daripada bila harus di wilayah terbuka (seperti perkantoran). Tugas fungsional di bagian depan kantor yang sering berhubungan dengan tamu, atau pekerjaan internal yang hanya saling dikenal sesama karyawan sekantor, juga akan memengaruhi kebutuhan bergaya seseorang.

Kedudukan sosial itu seolah mengikat seseorang sepanjang hidupnya, di mana dan sampai kapan pun. Bila hadir dalam pesta, seseorang yang mempunyai kedudukan sosial itu juga harus memberi hadiah yang sepadan dengan strata sosialnya. Kadang kala disebut ‘kapasitas’, seseorang itu hadir dalam kapasitas sebagai apa? Orang lain lebih suka melihat ‘kapasitas’ maksimum yang ditampilkan oleh sang ‘tokoh’, walaupun sang tokoh itu sendiri justru ingin hadir dengan kapasitas minimum, apa adanya.

Menghadapi Perubahan

Organisasi yang merawat marwahnya, akan menyediakan fasilitas yang cukup bagi personelnya agar dapat selalu tampil layak seperti yang diharapkan. Mulai dari pakaian, aksesoris yang melekat pada tubuhnya, kendaraan dan rumah dinas, tempat-tempat entertainment yang didatangi, kelas kursi pesawat dan hotel yang digunakan, dst. Semua yang disebut di atas adalah kebutuhan standar bahkan primer yang terkait dengan representasi seseorang karena kegiatan organisasinya. Sesuatu yang malah merupakan kebutuhan tersier, dilihat dari kehidupan standar sehari-hari orang itu.

Untuk semua biaya yang ditimbulkan, organisasi biasanya menyediakan alat bayar dalam bentuk kartu kredit. Limitnya ada yang tak kira-kira besarnya seperti menjadi isu sexy nasional belum lama ini. Hampir semua biaya dinas yang disebutkan di atas, dapat ditagihkan (reimburse) ke kantor. Apakah biaya itu memang betul untuk kegiatan dinas sepenuhnya, atau sebagian campuran untuk biaya nondinas, atau seluruhnya kepentingan pribadi yang ditagihkan seolah-olah untuk keperluan dinas?

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Semua fasilitas dan atau kemudahan di atas, semakin hari semakin melebur tak terpisahkan antara yang urusan dinas dengan yang tujuan pribadi. Semakin lama, kebiasaan konsumsi tersier itu semakin melekat, bahkan keluarga pun ikut menikmati tanpa menyadari batasan dan sifat sementaranya.

Kebiasaan seseorang dan keluarga ikut menikmati fasilitas organisasi, bisa membahayakan sebab bila karena sesuatu alasan, penunjang biayanya ditiadakan secara mendadak. Bisa karena orientasi dan atau reorganisasi, perubahan fungsi seseorang itu, atau hingga kehilangan pekerjaan/organisasi itu sendiri. Perubahan mendasar itu, dapatkah dikendalikan dengan baik, kembali ke keseimbangan?

Bedakan yang Hak dengan Fasilitas

Orang yang sadar, akan mampu memisahkan mana fasilitas yang merupakan hak melekat pada dirinya. Dan mana yang diberikan sementara selama orang itu melakukan tugas fungsional atau struktural organisasinya. Oleh karena itu, orang akan lebih santai manakala menghadapi perubahan yang menyebabkannya kehilangan fasilitas itu. Tidak berusaha mempertahankan kedudukannya, dan atau mencari-cari penghasilan tidak wajar untuk menambal biaya tersier yang sudah bukan haknya.

Dalam keseharian, kita sering menemukan orang-orang yang tetap hidup bersahaja sekali pun sedang menjabat dan berhak atas banyak fasilitas. Sebagai pejabat tinggi negara atau pun sebagai pengusaha yang berkelimpahan. Orang-orang seperti itu, biasanya tampak aneh, semacam pencitraan, atau tidak peduli lingkungan sekitarnya. Dunia usaha kita pernah mengenal Bob Sadino yang selalu tampil apa adanya. Atau orang-orang yang berhasil menyesuaikan gaya hidupnya sepadan dengan penghasilan.

Orang-orang yang hidupnya tanpa beban. Bagi mereka, hidup itu bisa murah, gengsinya yang mahal.

Cosmas Christanmas, Kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles