HIDUPKATOLIK.COM— Kej. 22:1b-19; Mzm. 116:1-2, 3-4, 5-6, 8-9; Mat. 9:1-8
SEKIAN lama Abraham harus melalui perjalanan imannya untuk belajar apa artinya percaya. Sebagaimana dikatakan St. Paulus: Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Rom. 4:18). Meskipun demikian, Abraham masih harus menghadapi ujian iman yang lainseperti dikisahkan dalam bacaan pertama hari ini.
Apakah iman itu harus menjadi sedemikian absurd dan mengerikan? Apakah Allah sungguh menghendaki derita dan korban setragis itu?
Dari Abraham kita belajar untuk berpasrah kepada Allah dalam setiap kesempatan. Akan tetapi dari Yesuslah, yang wafat di salib, orang benar untuk orang-orang yang berdosa,
kita belajar bahwa bahkan dalam kematian pun Allah tetap setia. Abraham memberi
teladan pada kita untuk percaya, tetapi tidak memberikan kepada kita jaminan
penghiburan karena anak-anaknya tetap mati juga. Hanya peristiwa Yesuslah
yang memberi kita pengharapan bahwa maut telah dikalahkan oleh hidup dalam
ketaatan Anak Allah.
Kebangkitan-Nya membebaskan kita dari ketakutan akan
kematian. Pengalaman keselamatan sedemikian terwujud pertama-tama dalam
rekonsiliasi, dalam pengampunan, dalam pengalaman didamaikan dengan Allah,
seperti dalam kisah si lumpuh dalam Injil hari ini.
Romo Vitus Rubianto Solichin, SX
Dosen Kitab Suci
STF Driyarkara, Jakarta