HIDUPKATOLIK.COM – Tesseron Lot 29 tinggal seruas jari di gelas enamel decanter. Wajah lelah Nick berusaha menawarkan senyum. Aku kembali melihat senyumnya, masih tetap sama dengan 15 tahun lalu ketika dia masih di seminari tinggi. Telapak tangan yang besar dan kukuh itu menggenggam tangan kananku. Matanya menatapku seolah mencari tahu di dalam mataku, bagaimana dalam seolah sekejap saja aku telah bisa menemuinya di Benjarong, Dusit Thani, saat dia transit sebelum melanjutkan penerbangan ke Israel.
“Mataku bertanya dan kau tahu itu. Tapi aku juga tahu bahwa pertanyaanku begitu bodoh karena tahu bahwa pertanyaan di mataku, seperti beberapa pertanyaan terdahulu, tak kan pernah kau jawab,” kata Nick.
Matanya tetap berada di mataku. Kubalas tatapannya dengan senyum. Ia belajar puas dengan jawaban itu. Dilemparkannya pandangannya ke luar jendela. Dari ketinggian tampak kesibukan SM Makati. Lalu lalang orang-orang yang keluar masuk pusat perbelanjaan itu sebentar mengalihkan perhatiannya dari kekecewaan kecil ketidakpuasannya.
“Win, kadang aku menyesalkan ada acara bedah buku itu. Tapi meninggalkanmu justru membuatku tersiksa,”katanya.
Yang dimaksudkannya adalah acara bedah buku biografi salah satu tokoh di Kepulauan Riau. Saat itu Nick dan timnya menjadi sponsor utama dan aku didapuk panitia menjadi pembawa acara. Karena sie acara belum juga mendapatkan biodatanya, aku diperbolehkan ketua panitia melangkahi tugasnya dengan menghubungi pihak sponsor langsung. Sejak itu dalam beberapa kesempatan yang tidak jauh dari acara perbukuan, aku selalu berjumpa dengan Nick.
Makin lama aku kian masuk dalam keseharian Nick, demikian pula sebaliknya. Dari menjemputku sepulang mengajar di Univ.Universal hingga berakhir pekan di rumah dengan masak bersama rumpu rampe dan sambal lawar. Dari karaoke rumah dengan That’s Why You Go-nya Michael Learn to Rock sampai memantau tukang membetulkan sliding door di rumah.
Bukan hal sulit untuk jatuh cinta padanya. Seorang sapioseksual sepertiku akan mudah jatuh cinta pada lelaki cerdas seperti dia. Gelar strata satunya tiga, gelar strata duanya dua dan telah menyelesaikan program doktoralnya. Sekarang sedang mencari sponsor untuk program penelitiannya. Meskipun seorang sapioseksual nyaris mengabaikan postur tubuh dan ketampanan karena lebih mengutamakan kecerdasan, Nick memiliki tubuh tinggi besar dan berdada bidang. Kegemarannya pada fitness dua hari sekali membuat dada dan biseps lengannya nyaman untukku bersandar. Nick paket nyaris lengkap buatku.
Nick tidak pernah mengucapkan kata cinta. Tapi bahasa tubuh dan caranya bersikap padaku menunjukkan perhatian dan sayang, lebih dari kepada orang lain. Aku menikmati keberduaan setiap kali itu ada. Sekadar menikmati mie Bangka di Kompleks Tunas III atau asal jalan saja menghabiskan bensin mobil hingga ke sudut-sudut kota. Aku hapal harum tubuhnya, juga semua barang yang ada di mobilnya. Saling menikmati setiap jengkal bagian tubuh lalu terengah kelelahan.
Kami berdua sama-sama padat pekerjaan. Dari pagi hingga larut malam aku berada di tempat pekerjaanku. Jika pulang malam, aku buru-buru berkemas. Tapi Nick selalu ada buatku. Ia pasti selalu sudah di shelter Patamal lebih dahulu daripada aku. Katanya, tidak baik jika aku yang menunggu. Pukul 22.00 bukan sore lagi bagi perempuan. Rute yang dilewati juga rawan kasus kriminal. Maka Nick selalu mengajak pulang bersama meskipun kami berbeda kendaraan. Ia menyamakan pulangnya, keluar dari kampus yang dipimpinnya pada jam yang sama.
“Nick, aku tidak ingin mempersulit dirimu. Pasti untukku, kamu juga demikian,” kataku suatu kali di antara desau angin malam dan riak ombak.
Kuakui, relasi ini dibenci oleh mereka yang konservatif meskipun wajar bagi mereka yang berpandangan liberal. Aku dan Nick selalu terhimpit oleh pandangan itu. Berelasi dengan Nick seperti ada yang ingin dilepas tapi terasa sulit. Seperti mau pergi tetapi kaki tak mau melangkah. Ia pun mengiyakan rasa itu.
Dari Café de Mori, tampak lampu-lampu bergerak. Itu lampu kapal feri Batam-Singapura yang merapat di pelabuhan internasional Harbour Bay. Bulan yang tersapu awan menjadi representasi buramnya hubungan ini. Bukan tentang pribadi, tetapi posisi dan status masing-masing membuat sulit bergerak lebih. Aku hanya bisa menemui Nick hanya dalam waktu tertentu dan sebisa mungkin tidak ada orang tahu. Relasi ini menaikkan adrenalin tersendiri dan itu sedap-sedap ngeri karena harus pandai-pandai dan sangat berhati-hati terhadap orang lain. Aku dan Nick bersikap seperti tidak punya relasi apa-apa jika kami dipertemukan dalam suatu acara dan punya jawaban bijak ketika orang bertanya.
“Besok aku lanjut ke Cairo lalu hari berikutnya St. Catherine, Taba, Dead Sea, Tiberias, Petra, Amman, dan hari terakhir Abu Dhabi. Setelah itu aku akan istirahat. Rasanya ada sesuatu di pinggang ini,” kata Nick.
Keningku berkerut. Bukan tentang deretan kota-kota tempat ziarahnya tetapi gangguan di pinggangnya itu. Keluhan yang sama kudengar dua minggu lalu ketika kami di Batam. Setelah kuoles dengan minyak angin katanya lebih nyaman rasanya. Kuharap dia tetap sehat hingga pulang nanti.
Aku kembali ke Indonesia keesokan harinya sama hari dengan penerbangannya Manila-Cairo. Menunggu kepulangannya kusibuk-sibukkan hariku, lebih dari biasanya agar tidak terasa hari cepat berlalu. Belum juga sepekan, Nick meneleponku. Ia dipulangkan lebih dulu karena jatuh sakit setelah dari Laut Mati. Sempat dirawat di sana tetapi ia memilih pulang untuk rawat lanjutan.
“Saya mencurigai semacam luka parut di hatinya,” kata dokter setelah melihat hasil USG abdomen dan tes biopsi.
Nick melanjutkan perawatan di Jakarta untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik dan lengkap. Telah dua kali operasi untuk mengeluarkan cairan nanah dari hatinya tetapi kondisinya justru makin merosot. Lagu dari ML2R kesukaannya sempat kusenandungkan di telinganya: Baby, won’t you tell me why there is sadness in your eyes? I don’t wanna say goodbye to you. Love is one big illusion I should try to forget. But there is something left in my head. Ia berusaha tersenyum. Matanya terus memandangku. Tangannya bergerak ingin menyentuh pipiku tetapi kembali terkulai.
Matanya berkedip-kedip. Napasnya terengah-engah. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu tetapi yang terdengar hanya erangan-erangan lembut. Air matanya jatuh. Lelaki yang sebulan lalu masih gagah perkasa itu sekarang begitu kurus dan layu. Ia menangis. Air matanya meleleh dan jatuh di sprei putihnya. Hepatomegali yang disandangnya terlalu berat. Penyakit itu merampas kebahagiaan kami. Kugenggam tangannya. Mata kami beradu. Kukirimkan pesan dari pikiranku: kuat, Nick. Kau harus kuat. Via dolorosa ini kau lalui bersama Yesus dan aku. Kita akan selalu bersama.
Nick menyerah setelah sebulan dirawat di Jakarta. Pagi itu gelap seketika. Langit terasa runtuh bagiku. Hatiku hancur. Perih rasanya. Doaku selama ini terasa sia-sia belaka. Dalam duka yang dalam ini aku harus tetap bisa mengendalikan diri karena aku ada di ruangan bersama beberapa orang. Sebisa-bisaku, aku tidak menampakkan kesedihan, terlebih-lebih ada Bapa Uskup di ruang perawatan VIP ini.
“Pater Nick akan diterbangkan besok pagi. Misa requiem akan disiapkan para pastor di katedral,” kata Uskup.
Betapa pun aku berteriak jangan pergi, Nick tetap pergi. Ia pergi bersama seluruh salib yang disandangnya: persoalan kampus dan Gereja, dua tempat yang membesarkannya namun di tempat yang sama pula begitu banyak onak dan duri yang tak kuasa dituntaskannya.
Samar-samar aku melihat Nick terbang sambil menari Sole Oha di sebuah kampung kecil di bibir pantai selatan Pulau Lembata, menghadap ke Laut Sawu.
Oleh Lidwina Ika
HIDUP, Edisi No.24, Tahun ke-75, Minggu, 13 Juni2021