HIDUPKATOLIK.COM – MENJADI orangtua tidak ada sekolahnya. Apalagi menjadi orangtua Kristen. Mengenang cara saya mengajarkan tentang Tuhan kepada anak-anak saya, saya tidak yakin bahwa saya telah melakukannya dengan benar. Saya tidak ingat di bagian mana saya mengajarkan hal-hal baik kepada anak saya. Mungkin karena saya bukan tipe orang yang suka bicara, sehingga saya tidak yakin apakah selama ini saya sudah mengajarkan hal-hal yang benar.
Yang saya ingat adalah bahwa saya sangat ingin mengenalkan tentang Tuhan sejak dini. Sehingga walaupun anak sulung saya belum bisa berjalan dengan lancar, umurnya belum dua tahun, saya sudah membawanya ke Sekolah Minggu. Karena dia belum bisa berjalan dengan lancar, saya ikut duduk di kelasnya, menemani.
Saya juga membelikan dan membacakannya Alkitab bergambar untuk balita. Saya membacakannya berulang-ulang. Dia sangat suka kisah tentang Samuel. Mungkin karena di bagian itu, ada bagian yang diulang-ulang, yaitu ketika Samuel dipanggil oleh Tuhan berulang-ulang. Kadang-kadang saya menceritakan juga kisah-kisah lain di luar buku itu. Hingga suatu kali , ketika dia berumur sekitar empat tahun, di suatu malam dia menangis ketakutan tanpa dia bisa menjelaskan kenapa hari itu dia takut. Malam itu saya membacakannya cerita tentang Elisa dan bujangnya dari 2 Raja-raja 6 yang pada waktu itu bujangnya dibukakan matanya untuk melihat malaikat-malaikat Tuhan di sekitar mereka yang siap melindungi mereka. Saya tekankan padanya, jangan takut. Karena walaupun kita tidak bisa melihat mereka, tetapi malaikat-malaikat itu ada di sekeliling kita. Kemudian anak saya bisa tenang.
Seingat saya, anak saya yang sulung mengikuti sekolah minggu sampai dia bergabung dengan komunitas Putra Altar. Saya harap dengan terlibat dalam pelayanan sekitar altar, dia mendapat pengalaman dan hikmat pribadi dari Tuhan.
Sayangnya saya memperlakukan anak saya yang bungsu dengan cara yang berbeda. Karena anak saya yang bungsu adalah perempuan, saya minta istri saya yang mengurusnya untuk sekolah minggu dan sebagainya. Sayangnya hal itu tidak berjalan sesuai harapan saya, sehingga si bungsu tidak mengikuti Sekolah Minggu sejak balita seperti kakaknya. Puji Tuhan, Tuhan mengingatkan saya dari sebuah retret keluarga, untuk memperhatikan pendidikan rohani anak saya lagi. Setelah retret tersebut, saya mulai membawa si bungsu ke sekolah minggu. Pada waktu itu kira-kira umurnya sekitar lima tahun.
Si bungsu sejak kecil sudah lancar membaca. Kira-kira umur tujuh tahun dia sudah membaca novel anak-anak. Karena saya termasuk penyuka buku, saya sering mengajak keluarga ke toko buku. Momen yang paling berkesan adalah ketika si bungsu mengatakan, “Papa belikan buku, dong. Tapi jangan buku kisah-kisah Alkitab .” Saat itu saya terhenyak. Ternyata selama ini saya terlalu banyak membelikannya buku-buku kisah Alkitab, sehingga dia kurang bebas memilih buku-buku bacaan lain. Setelah itu saya berhenti membelikannya buku-buku kisah Alkitab. Sesudah dia agak besar, saya mulai membelikannya buku renungan harian untuk anak/remaja sesuai umurnya.
Hal-hal itu saya ingat. Tapi saya tidak ingat apakah saya memberikan nasihat-nasihat yang baik pada anak-anak saya. Sekarang kedua anak saya sudah besar. Si bungsu akan mulai kuliah tahun ini. Sekarang bukan lagi hanya saya yang mengajarkan tentang kebaikan kepada mereka. Karena mereka-pun kadang-kadang mengajarkan kebaikan kepada saya. Siapa yang mengajar siapa? Dalam kehidupan ini kita sama-sama saling belajar dan mengajar tentang iman, harapan dan kasih.
Mat 5:19b: Tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga.
Julius Saviordi, alumni KPKS St. Paulus Tangerang