HIDUPKATOLIK.COM – “HARI ini, Gereja Indonesia secara resmi menggunakan buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) tahun 2020.” Demikian pernyataan resmi Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Kardinal Ignatius Suharyo dalam acara Peluncuran dan Launching TPE 2020 di Aula Wisma Penerbit dan Toko Rohani OBOR, Jumat, 7 Mei 2021.
Peresmian TPE 2020 ini ditandai dengan pemukulan gong oleh Kardinal Suharyo disaksikan Sekretaris Eksekutif KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC; anggota Dewan Moneter KWI, Mgr. Silvester San dan Mgr. Agustinus Agus. Sementara Ketua Komisi Liturgi (Komlit) KWI Mgr. Petrus Boddeng Timang ikut bersama para uskup, imam, suster, biarawan-biarawati serta umat Katolik lewat kanal Zoom atau Youtube.
Dalam sambutannya, Kardinal Suharyo menegaskan makna Ekaristi dalam hidup beriman umat Katolik. Menurutnya, Ekaristi menjadi bagian penting dalam hidup umat Katolik Indonesia. Hal ini bisa dirasakan setiap Ekaristi, di mana gereja-gereja di Indonesia tak pernah sepi. “Perayaan Ekaristi di paroki-paroki tidak pernah kurang umatnya. Kalau mau mendengar cerita saudara-saudara di tempat jauh, meski gereja sulit bahkan tidak memiliki gedung gereja sekalipun, umat tetap setia merayakan Ekaristi,” ujarnya.
Artinya, sambung Uskup Agung ini, Ekaristi selalu mendapat tempat istimewa di hati umat Katolik Indonesia. Di tengah pandemi juga, umat masih mau mengikuti Ekaristi secara online. Ada berbagai sarana agar Ekaristi dapat dirayakan. Salah satunya adalah lewat buku TPE.
Butuh Proses
Dijelaskan, TPE yang dipakai saat ini adalah TPE 2005 karena dinyatakan resmi dipakai tahun 2005, sesuai petunjuk Missale Romanum (MR) 2002 dan disesuaikan dengan MR 2008 sebagai tanda kesatuan umat dalam Gereja Katolik Roma dengan Ritus Latin. “Jadi TPE 2020 ini adalah TPE yang lahir dari TPE 2005 dan didisarkan pada MR 2002, disesuaikan dengan MR 2008, sehingga jadilah TPE 2020,” sebut Kardinal Suharyo.
Kardinal juga menegaskan bahwa TPE 2020 ini butuh usaha pendistribusian dan pemahaman pembaharuan di tengah para pelayan pastoral (para pastor) dan tanggapan-tanggapan yang datang dari umat dalam liturgi Ekaristi. “Silakan para uskup menentukan kapan persis TPE 2020 ini mulai berlaku. Tetapi waktu tidak berlakunya lagi TPE 2005 dipilih 1 November 2021. Jadi silakan menyesuaikan dengan kebutuhan pastoral di keuskupan masing-masing,” pesan Kardinal Suharyo untuk para uskupnya.
Menyinggung soal proses yang panjang hingga dihasilkannya TPE 2020, Mgr. Subianto menjelaskan bahwa TPE 2020 ini adalah hasil kerja keras berbagai pihak. “Karena Ekaristi adalah puncak dan iman umat Katolik maka proses ini juga dikerjakan dalam semangat kehati-hatian,” jelasnya.
Kerja keras itu bisa digambarkan dalam proses yang panjang. Tahun 2008, KWI telah mengutus Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM selaku Ketua Komlit KWI dan Sekretaris Eksekutif Komlit KWI Pastor Bernardus Boli Ujan, SVD untuk menyerahkan bahan terjemahan MR kepada Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen Vatikan. Tak lama berselang, pada 29 Agustus 2008, Penanggungjawab teks-teks liturgi Asia-Pasific Mgr. Francois Tran Van Kha mewakili Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen memberi tanggapan terhadap terjemahan MR itu.
Selanjutnya tahun 2014, KWI telah mengutus Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka, MSF Ketua Komlit KWI saat itu didamping Pastor Bosco da Cunha, O.Carm (alm) selaku Sekretaris Eksekutif Komlit KWI untuk membahas terjemahan MR di Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen Vatikan. Utusan KWI ini diterima perwakilan Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen Mgr. Antonio Kollamparampil pada 20 Maret 2014.
Pada 14 April 2016, Kardinal Suharyo hadir dalam rapat kerja penerjemahan MR bersama Mgr. Boddeng Timang selaku Ketua Komlit KWI saat ini. Kardinal Suharyo yang juga telah mereview isi TPE pada pertengahan Desember 2020, kemudian diresmikan pada Hari Raya Keluarga Kudus 27 Desember 2020.
Pastor FX Sutanto selaku Direktur Penerbit OBOR dan Pastor John Rusae Sekretaris Komlit KWI menyerahkan TPE 2020 kepada Ketua Presidium KWI Kardinal Suharyo dan pada 7 Mei 2021 TPE yang baru ini di launching penggunaannya.
Mgr. Subianto menambahkan hadirnya TPE yang baru ini juga atas masukan dari Paus Fransiskus dalam ad limina para Uskup Indonesia tahun 2019 lalu. Waktu itu para uskup bertanya soal wewenang untuk mengubah sebuah TPE. Paus Fransiskus menjawab bahwa wewenang untuk meresmikan terjemahan TPE adalah konferensi para uskup setempat, maka KWI memutuskan untuk mengevaluasi dan membaharui TPE MR 2005 menjadi TPE MR 2020.
Menarik dan Indah
Di tempat terpisah saat dihubungi, Mgr. Boddeng Timang menuturkan TPE 2020 ini berhasil terbit dan di launching berkat kerja sama berbagai pihak. “Kami dengan rendah hati pantas mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut khususnya para liturgicus,” ujarnya sambil berharap semoga TPE 2020 ini membuat Ekaristi semakin hari menjadi semakin baik dan makin indah.
Ia menggarisbawahi beberapa perubahan dalam TPE 2020 baik tanggapan dari umat atau imam sendiri. “Kami Komisi Liturgi KWI berharap setiap paroki khususnya para pastor paroki bisa terlibat aktif memberi pelatihan-pelatihan teknis berliturgi sesuai TPE 2020 kepada umat. Hal ini agar kita bisa merayakan Ekaristi dalam suasana yang indah dan sesuai kaidah MR yang ada.”
Hal yang sama dijelaskan Dosen Liturgika STF Driyarkara Jakarta Pastor Jakobus Tarigan. Menurutnya, Gereja Indonesia menyambut gembira TPE 2020 sebagai sarana merayakan Ekaristi dengan lebih baik, lebih benar, lebih indah, dan lebih hikmat.
Menurutnya, cukup mencolok perubahan bila dibandingkan TPE 2005 dengan TPE 2020. Dibuat akomodasi istilah atau kata-kata yang tepat dari bahasa Indonesia agar semudah mungkin dipahami umat beriman.
Pastor Jack sapaannya mengingatkan bahwa tentu dalam terjemahan kita boleh saja menafsir teks asli ke dalam bahasa Indonesia. Namun kita pun boleh belajar pada St. Hieronimus, dalam penerjemahan Kitab Suci harus dibuat “kata per kata” karena Sabda Allah jauh melampaui kemampuan manusia untuk menafsirkannya. “Saran St. Hieronimus ini mutatis-mutandis (sesuai prosedur) berlaku juga untuk terjemahan teks-teks liturgi,” sebutnya.
Ia percaya bahwa seorang ahli Kitab Suci dan liturgi dapat menjelaskan dan menelusuri misalnya saja pemakaian salam “Tuhan bersamamu”. Tinjauan ilmiah penting untuk para imam. Namun yang paling penting, salam tersebut mampu mengarahkan umat kepada dasar dan pemberian hidupnya yang disebut Allah. Salam pertama sekali dan utama adalah ungkapan komunikasi antara Allah dan manusia. “Diusahakan agar bahasa liturgi tidak bersifat konseptual abstrak dan juga tidak menjadi simbolis yang cenderung kabur.”
Pastor Jack mengakui bahwa TPE 2020 merupakan hasil kerja keras semua pihak dengan sadar akan sebuah proses sejak tahun 1971 sampai sekarang. Tentu saja tak ada gading tak retak. Misalnya, Doa Bapa Kami belum direvisi padahal doa ini selain bagian penting dalam Ritus Komuni, justru banyak digunakan di luar liturgi setiap hari. Salah satu yang perlu ditinjau adalah “Bapa Kami yang ada di surga dimuliakanlah nama-Mu” (MR: “Pater noster, qui es in caelis; sanctificétur nomen tuum;”). Dalam Alkitab terjemahan LAI yang terjemahannya diterima oleh KWI, “dikuduskanlah” nama-Mu (Mat. 6:9; Luk. 11:2). Jelaslah, terjemahan “dimuliakanlah” merupakan tafsiran teks asli “sanctificétur”. Namun demikian dengan beberapa kekurangan lainnya, dapat menjadi bahan proyek revisi di masa depan, entah kapan.
Sebutnya, model terjemahan apa pun, pada dasarnya bahasa liturgis adalah bahasa mistik, bahasa persatuan dengan Allah, khususnya persatuan dengan kehadiran Kristus dalam perayaan liturgis (bdk. SC, 7). Keahlian penerjemah sekaligus dilandasi iman kristiani Gerejawi. Karena “kata” tidak hanya mengandung arti leksikal (kamus), tetapi lebih dari itu, yaitu bermakna ungkapan iman.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 23, Tahun ke-75, Minggu, 6 Juni 2021