HIDUPKATOLIK.COM – Wacana kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden RI, sudah berkembang lebih cepat dibanding era sebelumnya. Pada era sebelumnya wacana baru riuh setahun menjelang berakhirnya masa jabatan kedua, pada periode kepemimpinan nasional era ini sudah mulai di awal tahun kedua periode kepemimpinan Jokowi-Mah’ruf Amin.
Dipicu sejumlah survei tentang pemetaan pemilu 2024, wacana memanas, utamanya di lingkungan internal partai. Sempat berkembang, mengalihkan perhatian publik dengan kondisi kecemasan terjangan Covid, tetapi kemudian lebih jadi topik persoalan internal partai-partai besar terutama. Ada jurang perbedaan harapan publik dan harapan partai. Repotnya yang berhak mengajukan calon adalah partai. Sesuai UU kalau tidak memenuhi ambang batas 20 persen anggotanya di DPR, partai pengusul bersangkutan harus berkoalisi, sementara ambang batas itu muskil dicapai tanpa peranan partai.
Dalam kondisi demikian terjadi perbenturan kepentingan sebagai dinamika partai yang orientasinya kekuasaan. Di tengah perbedaan harapan masyarakat dan partai, wajar muncul celetukan Jokowi-Mah’ruf Amin dilanjutkan dengan periode ketiga. Menanggapi celetutan itu Presiden Jokowi mengatakan, “Itu namanya menjerumuskan saya.” Komentarnya tentu bukan basa-basi “wong Jawa”—inggih–inggih ora kepanggih”, tetapi saya kira dan kita harapkan berdasar rekam jejaknya dalam periode pertama kepemimpinan, dia tidak ingin merusak tatanan yang sudah dibangun pasca-1998. Presiden Jokowi membalikkan hukum klasik ucapan Lord Acton. Bagi Jokowi, kekuasaan itu tidak serakah. Kepemimpinan yang erat dengan kepentingan merebut, membesarkan dan melanggengkan kekuasaan (Niccolo Machiavelli), tidak otomatis dihidupi oleh seorang pemimpin, pun ketika kesempatan terbuka lebar.
Merujuk cara Martin Heidegger yang tidak memberikan definisi tetapi menyampaikan prasarat, kepemimpinan bisa diuraikan dengan menunjukkan hubungan erat antara kepemimpinan dan pribadi pemimpin. Demikian sepercik pemikiran acara online bedah buku Darma Kadarman. Rintisan, Pendidikan, Kaderisasi susunan St. Sularto, R. Royanto, Royani Lim, terbit April 2021, yang diselenggarakan dalam rangka syukuran 33 tahun Yayasan Bhumiksara, di Kampus Unika Atma Jaya, Jakarta 8 Mei yang lalu.
Kepemimpinan transformatif dijadikan payung atas karya pelayanan Aloysius Maria Kuylaars Kadarman, SJ selama 40 tahun di Indonesia. Lima karya besar yang digagas, dirintis dan diselenggarakan Romo Kadarman (1918-2005), menampilkan inspirasi kepemimpinan transformatif, mengembangkan model kepemimpinan yang tidak harus selalu berasal dari tokoh politik atau tokoh bisnis. Kepemimpinan transformatif bisa berasal dari siapa saja—kepemimpinan yang setia pada kaidah kepemimpinan yang melayani–nomenklatur yang belum muncul di era tahun 60-an. Kursus Pertanian Taman Tani di Salatiga yang didirikan Romo Kadarman tahun 1965, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (lembaga pendidikan tinggi manajemen pertama di Indonesia) tahun 1967, sekarang PPM Manajemen di Jakarta, dan Yayasan Bhumiksara tahun 1988, adalah tiga lembaga kader kepemimpinan dari lima lembaga rintisannya.
Inspirasi Kedalaman Spiritulitas
Tiga karya Romo Kadarman dari lima lembaga perintisannya, saya tempatkan dalam sebuah bejana inspirasi kepemimpinan transformatif; kepemimpinan yang diinspirasi jiwa spiritualitas Ignatian, diaktualisasikan dengan praksis kepemimpinan ke depan. Pembicara dalam bedah buku itu, Romo Benedictus Hari Juliawan, SJ (Provinsial SJ Provinsi Indonesia), Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan GusDURian) dan Rhenald Kasali (akademisi), mengaktualisasi dan mengeksplorasi inspirasi kepemimpinan Kadarman. Di tahun-tahun 1960-1980an itu Romo Kadarman memberi nama ketiga lembaga yang digagasnya dengan istilah kepemimpinan spiritual. Kepemimpinan transformatif, kepemimpinan berintegritas dan berbagai nomenkaltur sesudahnya, berangkat dari kepemimpinan spiritual. Bahwa kepemimpinan dalam bidang apa pun, menguar dari kedalaman hidup kerohanian sang pemimpin.
Tentang kepemimpinan, yang selalu muncul spontan pemimpin politik atau pemimpin bisnis. Merekalah yang punya kuasa untuk menggerakkan dan melakukan banyak perubahan dalam masyarakat. Kekuasaan yang dimilikinya digerakkan oleh kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan itu menjadi dasar dan pemicu perubahan-perubahan transformatif dalam masyarakat; kepemimpinan yang mengubah dengan kata kunci melakukan terobosan-terobosan pun keberanian mengambil sikap no way, tidak terhadap godaan yang melawan arus utama dan jiwa dasar melayani masyarakat dan kepentingan bersama.
Identik dengan dorongan dari dalam, kehadiran tokoh-tokoh agama seperti Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Bunda Theresa menyebut spontan sebagai tokoh agama yang berpengaruh besar dalam perubahan masyarakat, niscaya tidak digerakkan oleh kepentingan kekuasaan politik, bisnis atau ambisi pribadi. Mereka digerakkan dan diinspirasi oleh kedalaman hidup spiritual. Spiritualitas menempatkan martabat sesama sebagai yang utama. Kehadiran dan karya mereka menjebol sekat-sekat perbedaan, sekaligus membumikan kehidupan keagamaan sebagai sarana yang memersatukan bukan memisahkan.
Dalam kehidupan Gereja Katolik saat ini, penampilan pribadi Paus Fransiskus merupakan sosok pemimpin yang istimewa, mengutip Ignatius Kardinal Suharyo. Belum satu tahun sebagai Paus, Majalah Time, tahun 2013, menempatkannya sebagai nomor satu dari 50 pemimpin dunia yang berpengaruh. Sebagai Paus bukan Eropa yang pertama sejak lebih dari 1.200 tahun, gaya kepemimpinan Paus Fransiskus sangat berbeda dan istimewa; seorang pemimpin transformatif, pemimpin yang memahami masa depan kehidupan yang tidak hanya menyampaikannya lewat ensiklik, di antaranya yang relevan saat ini Laudato Si (Puji BagiMU) dan Fratelli Tutti (Saudara Sekalian), tetapi juga terobosan-terobosan yang membuat orang terhenyak dan kagum.
Paus Fransiskus disebut pemimpin karismatik di samping kepemimpinannya yang transformasional. Wajahnya yang selalu tersenyum dan tangan melambai mengasosisasikan seorang pribadi yang “dekat”. Kita kaget ketika dalam acara audiensi umat mingguan di Vatikan pertengahan Mei yang lalu, Paus tertawa lebar ketika ada umat meletakkan topi di atas kepalanya.
Turunan kepemimpinan tranformatif zaman ini berbeda dengan zaman Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesus pada abad ke-16. Dasarnya sama, dorongan kedalaman hidup spiritual. Seorang Ignatius Loyola, berubah secara total menjadi seorang yang merdeka yang kemudian dirumuskan dalam buku Latihan Rohani, buku wajib bagi para anggota Yesuit. Paus Fransiskus berkat pengalaman Allah yang Maharahim, mengalami transformasi terus menerus, yang membuahkan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan kreatif dalam karya pelayanan.
Bagi Romo Kadarman dengan karya-karya perintisannya di Indonesia, sebagai seorang Yesuit, niscaya perubahan total Ignatius Loyola menjadi dasar inspirasinya. Romo Kadarman menggabungkan panggilan hidupnya sebagai rohaniwan-biarawan sekaligus ahli manajemen dalam paduan kepemimpinan tranformatif yang sering dipertukarkan dengan kepemimpinan berintegritas. Rintisan-rintisan yang sebaiknya menjadi virus menghidupkan—manajemen lebih berkenaan mengatasi kerumitan dan kepemimpinan berkenaan mengatasi perubahan (Robbins, 2003)—kedalaman spiritual menggerakkan perubahan sosial ke kondisi yang lebih baik, bukan saling mengerkah karena tamak-rakus. Dalam sisi praksis, sekadar contoh, memadukan bisnis dan spiritualitas adalah cerminan jiwa yang mindful (Sudhamek AWS dalam Mindfulness–Based Business, 2020).
Bukan Harapan yang Muskil
Apa kaitan deskripsi kepemimpinan transformati yang diintrodusir Romo Kadarman dengan mulai riuhnya wacana kepemimpinan nasional pasca-2024? Menyegarkan kita, bahwa spiritualitas bisa menjadi sumber mata air keberpihakan pada rakyat. Transformasi sosial yang dilakukan seorang pemimpin demi kesejahteraan rakyat dan kebaikan bersama. Harapan itu muskil ketika kekuasaan yang digenggam adalah hasil permainan KKN dan uang, sehingga yang dikembangkan bukan kekuasaan itu bukan sesuatu yang “suci” tetapi “pedang Achilles” yang membabat habis perintangnya dengan segala cara. Yang diusahakan adalah demi kepentingan menang perang, kebesaran dan kelanggengan kekuasaan.
Wacana kepentingan spiritual hanya mimpi? Pernyataan “itu artinya menjerumuskan saya” adalah luapan ketulusan hati dari nuansa kepemimpinan spiritual. Nuansa ini digerakkan oleh pemahaman dan penghayatan yang benar, apa pun agama dan latar belakang kepercayaannya, tetapi menguar dari ketulusan hati, buah dari penghayatan hidupnya. Memang tidak mudah, sebab kepemimpinan telanjur dilatarbelakangi berbagai kepentingan yang nyebal dari hakikat kepemimpinan sebagai sarana melayani rakyat dan kebaikan bersama. Tidak mudah, sebab suasana dan kehidupan perpolitikan dikuasai oleh paradigma “kekuasan itu serakah”, ingin terus dan ingin lebih besar, luapan nafsu yang takkan terpuaskan.
Dalam kondisi demikian, undang-undang dan peraturan yang mengatur praksis kekuasaan yang melayani publik, kehilangan mantra. Taruh contoh tentang keharusan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN (Pasal 5 Ayat (6) UU No. 28/1999) bisa dengan mudah dilupakan ketika praksis kekuasaan didominasi kepentingan partai yang sering tidak selaras dengan makna mulia kekuasaan.
Ketika praksis kekuasaan dalam hal ini kepemimpinan nasional merupakan penugasan partai niscaya mudah digelincirkan tidak sebagai sarana melayani masyarakat, tetapi melayani partai atau melayani diri sendiri. Karena itu ketegasan mengatakan “tidak” pada partai untuk hal-hal tertentu dan “tidak” yang bertentangan dengan peraturan, adalah kecerdasan yang menguat dari buah kedalaman spiritualitas kepemimpinan.
St. Sularto, Penulis utama buku Darma Kadarman. Rintisan, Pendidikan, Kaderisasi (2021)