web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

ARTHA

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “Artha…’’ Begitu yang tertulis. Aku hanya punya nama itu, tiada lain. Nama yang kini hanya tinggal sebagai torehan indah di sebuah papan nisan yang lapuk termakan usia.

Sejak kecil, aku terbiasa bertanya mengapa harus aku? … Entahlah. Ini pertanyaan atau pernyataan, sanggahan atau tuduhan atas diriku. Satu yang pasti… kata Mama, ‘’Nikmati saja yang menjadi porsimu, selebihnya bukan milikmu’’. Paling tidak sejak kecil aku belajar bahwa hidup itu sederhana dan sederhana itu porsinya cukup.

                                                               ***

Bukan salahku jika aku terlahir miskin. Miskin sejak mataku ini melihat dunia. Bukan salahku juga jika aku terlahir dari rahim ibu yang sama sekali tak pernah mengecap bangku pendidikan. Ya, Ibuku tak pernah lulus SD. Ayahku, ia sempat duduk di bangku perguruan tinggi beberapa semester. Hanya terpaksa berakhir karena sudah bosan. Bosan terus-menerus menjadi buronan polisi dan para intelnya akibat kecanduan judi yang membuat ayah berhutang di mana-mana. Maka merantaulah ayah dan menikahi Ibu, puteri seorang yang dikenal banyak hartanya di desa kami yang kemudian bersedia melunasi hutang-hutang ayah asal saja bersedia menikahi putrinya yang menyandang keterbelakangan mental. Walau demikian, cintaku sungguh besar pada Ibu. Aku tak tau bagaimana ia merawatku. Yang kumengerti ialah akulah yang merawatnya, memberinya makan, memandikannya, mencari dan membawanya kembali ke rumah saat hilang. Merawatnya dengan cinta  sederhana yang kumiliki.

Aku ingat saat itu …

Usiaku masih sangat belia. Dengan menggunakan seragam putih-merah kusam-hampir tak pernah menyentuh setrikaan-, aku berjalan mendekati sebuah warung ‘’Mpok Ira’’ biasa dipanggil. Dengan polosnya kusampaikan kebutuhanku padanya, yakni ‘’sekilo beras yang paling murah, dengan terasi sedikit’’ begitu pesan Ibu. Kulihat wajahnya tersenyum padaku. Kupikir cuaca cerah senja itu menghangatkan. Mpok Ira berdiri semakin mendekat, memandangku lamat-lamat. Kemudian meludahi wajahku dan mengusirku dengan kasar, sambil berteriak berpesan agar aku jangan datang lagi ke warungnya.

Aku berlari ketakutan sambil menangis. Aku memang tidak ingat entah sudah berapa kali aku datang ke warungnya meminta hal yang sama. Aku tidak tahu kalau untuk memperoleh sesuatu harus ada sesuatu lain sebagai ganti yang senilai dengan yang kita inginkan.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Entah sudah berapa jauh aku berlari sampai seseorng memanggilku. Ketika aku menoleh, sebuah kerikil tajam mendarat di dahi ku. Rasa sakit, pedih yang kemudian menyisakan darah di sana. Sementara aku mengerang kesakitan, Mereka — yang tak pernah kusebut teman– sedang tertawa dengan lucunya sambil berteriak dengan nyaring.. “Anak orang gilaa…..”. Sapaan hangat yang setiap hari kudapatkan.

***

Bulan nampak  sombong untuk tidak menyembunyikan sulurnya. Purnama pada Oktober memang menguntungkan bagiku karena akan menerangi rumah kardus kami yang hampir roboh itu. Sedikit-sedikit cahayanya menembus masuk ke dalam, lewat atap yang sudah berlubang di sana-sini. Biasanya anak-anak akan bermain petak umpet di sekitar halaman, dan aku senang menyaksikannya. Beberapa pasangan keluarga sedang bercerita dengan celoteh lucu anak mereka, duduk di pangkuan ibunya, dan ada yang naik di pundak ayahnya. Ahhh… aku cukup bahagia melihat mereka tertawa semuanya. Rasanya aku ada di sana. Aku mungkin akan bernyanyi di depan Ibu, atau menari di depan Ayah, dan membuat mereka tertawa karena aku tidak mahir keduanya. Tapi di mana Ayah… sudah 3 tahun terakhir ini dia hilang tanpa jejak atau pun pesan. Aku bahkan terlalu lupa merindukannya. Menurut cerita tetangga kami, Ayah sudah beristri lagi. Ia bahkan mengungsikan aku dan Ibu ke rumah kardus kumuh ini, sementara rumah peninggalan nenek ia ambil-alih. Hanya tinggal aku, rumah kardus, dan Ibu. Ibu.  Ahh Ibu..?? Tiba-tiba aku tersadar sesuatu. Ibu… Di mana Ibu… Kucari Ibu, tidak ada.

Rumahku memang terlalu remang karena hanya sebuah petromak yang kami miliki.

“Ibuu..’’ teriakku memecah heningnya malam, tetapi tidak ada jawaban. Aku lelah mengitari rumah walau hanya berukuran 4 X 4 meter persegi. Yang kutahu tujuanku satu-satunya adalah menemukan Ibu. Ibu belum makan. Kalau ia pergi ia akan meresahkan banyak orang. Aku khawatir Ibu akan bertemu dengan orang-orang jahat di jalanan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Ahh Ibuu… ia tak biasa pergi malam-malam begini… Beberapa tetangga yang kutanyai pun tak melihat ibuku. Adapula yang mengabaikan pertanyaanku. Namun tak membuatku putus asa. Tetap kucari Ibuku bertemankan purnama yang setia menemaniku di atas sana, bercampur perasaan takut dan sedihku. Ibu, satu-satunya hartaku di dunia ini. Apapun dan bagaimanapun caranya, aku harus menemukkan Ibu…

Sinar surya perlahan menyilaukan. Suara di sekitarku begitu sibuk pagi itu. Aku tak tahu siapa dan apa yang dibicarakan. Sebagian besar mereka adalah tetangga kami. Kepalaku terasa pusing dan membuatku memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Aku tak dapat bangun. Aku lupa sejak kemarin aku belum mengisi perutku dengan makanan. Dan.. Ibuu?? Aku sadar Ibu belum kutemukan.

“Artha.. bangun Dek!’’ seorang ibu dengan nada khawatir mengguncang-guncang tubuhku.

“Dek, Ibumu.. Ibumu!’’ Ibu? Di mana?

Sekuat tenaga kucoba untuk bangkit. Tampak kerumunan orang memenuhi rumah kardus kami sambil membawa usungan. Entah apa di  dalamnya, yang pasti sesuatu terbalut di sana, diletakkan perlahan tengah ruangan. Sekarang semua mata menatapku. Harap-harap cemas aku mendekat dan merebahkan diriku. Seperti seseorang di balik balutan itu menantiku. Kuberanikan untuk membuka perlahan, dan… INI PASTI SALAH!! APAKAH INI MIMPI?? Aku mencoba menyeimbangkan tubuhku, mengucek-ngucek mataku, tetapi tidak. Ini sungguh, dah, oh… Ibu!!

“Ibuuu…’’ Teriakku pada perempuan yang terbungkus kain panjang di hadapanku dengan wajah bersimbah darah dari bagian pelipisnya. Tangisku menjadi-jadi, tak percaya. Seseorang menjelaskan sesuatu, tetapi aku tak dapat mengerti. Yang kuingat bahwa Ibuku ditemukan sudah demikian. Aku tak tahu hendak mengadu pada siapa, dan menuntut kepada siapa. Ibu, satu-satunya harta dalam hidupku sudah diambil dariku. Ya, hari itu, saat itu, Ibu mengajarkanku arti sebuah kehilangan. Kehilangan seluruhnya dalam hidup. Berganti Perasaan takut yang begitu menghantuiku. Sekarang dan selamanya aku akan sendirian… oh Ibu.. mengapa harus aku???

 

* * *

“Sudah cukup? Kuharap begitu”

“Cukup, Mama’’. Kataku sambil menyeka pipiku. Setelah menabur kembang dan berdoa, aku mencium papan nisan yang bertuliskan nama Ibu. “Artha”. Nama yang sama denganku yang diberikan oleh nenek.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Memang sekali dalam setahun, aku mengunjungi makam ibu, tepat di hari ulang tahunku seperti ini. Hari ini usiaku genap 20 tahun. Sepuluh tahun bersama Ibu, sepuluh tahun bersama mama yang mengasuhku sejak hari kepergian Ibu. Ya, mama. Aku dan anak panti asuhan lainnya memanggilnya mama suster. Dia seorang malaikat yang menyelamatkan hidupku dari masa lalu dan mengembalikan cerita masa depanku, membawaku keluar dari sempitnya rumah kardus, dari orang-orang yang biasa memanggilku si anak orang gila, serta dari persampahan tempatku biasa mengais sisa makanan, dari kejamnya metropolitan. Dia, harta yang telah kembali. Pengganti Ibu tersayang-perempuan hebat yang menjadi bahan tawa orang-orang, perempuan hebat yang entah bagaimana menjadi perantara aku ada, petempuan hebat yang sabar dengan kegilaan ayah. Wanita hebat yang kini sudah bahagia di surga, yang selalu kurindukan dalam tiap bait doaku. Mama berjanji untuk tetap membawaku ke tempat ini lagi, walau mungkin hanya sekali dalam beberapa tahun, karena aku harus menuju rumahku yang baru. Aku menyetujuinya untuk masa depanku.

“Artha, jaga kesehatan di sana dan tetap semangat walau segala sesuatu tak mudah. Terima bimbingan dan jangan menolak didikan’’.

Aku memeluknya hangat di balik jubahnya yang menyimpan sejuta kasih sayang. Selamat tinggal untuk sementara waktu Ibu dan mamaku, sebelum aku menjadi sepertimu juga suatu hari nanti. Kutahu, inilah Porsi untukku seperti yang dikatakan mama. Inilah yang disediakan oleh-Nya, yang harus kunikmati. Ya, inilah harta bahagia masa depanku yang tak seorang pun dapat mengambilnya kelak.

MencintaiMu dengan seluruh cintaku yang sederhana’’

Oleh Sr. Desideria Sitorus, KYM                                                                                                                      

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles