HIDUPKATOLIK.COM – “Ini pengalaman luar biasa yang saya syukuri betul karena saya tidak dapatkan dalam dunia sekolah, tapi justru dalam pertemuan semacam ini.”
KOMISI Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI) kembali menggelar Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) secara daring untuk kedua kalinya. Sejak masa pandemi Covid-19 melanda dunia, opsi daring menjadi sarana terbaik untuk tetap bergerak menggemakan pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55. Melalui kegiatan daring semakin banyak umat juga yang terjaring. Berbagai macam lomba pun diadakan agar umat Katolik se-Indonesia semakin kreatif untuk menggali makna di balik pesan Bapa Suci.
Lomba PKSN
Lomba wajib yang selalu ada adalah menulis. Ini juga beragam dengan diadakan lomba penulisan opini kemudian pelatihan dan lomba menulis di media massa yang dibawakan oleh para wartawan mumpuni dari berbagai media nasional. Selain itu, lomba dengan format kekinian juga tak lupa diadakan seperti lomba konten kreatif, lomba podcast pewartaan, dan lomba video bercerita. Tidak ketinggalan, ada lomba cipta lagu dengan tema PKSN.
Tahun ini Komsos juga menghadirkan teroboson baru melalui ajang Komsoslympics. Ada dua grup lomba dalam Komsoslympics, yakni grup A untuk ajang adu cepat menjawab soal pilihan ganda seputar Pesan Paus untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-55 dan Gereja Katolik dan Grup B untuk ajang kompetisi membuat karya mini kreatif dan inovatif seputar Gereja. Dalam Grup A dibagi lagi menjadi tujuh kategori yakni Putra-Putri Altar, Imam dan Biarawan/wati, OMK, Anak PAUD dan SD, Lansia, Pengurus Komsos, dan umat Paroki. Sedangkan untuk Grup B juga dibagi menjadi tujuh kategori sebagai berikut: Lomba Pantun Doa, Lomba Meme Komunikasi, Lomba Jingel Kasih, Lomba Tiktok Keluarga, Lomba Siar Youtube, Lomba Blog Pesan Paus, dan Lomba Quote Nasihat. Komsoslympics mulai pada 16 Maret 2021 hingga memuncak di Hari Minggu Komunikasi Sedunia, 16 Mei 2021.
Cerita dari Agats
Undangan lomba secara daring ini juga sampai ke Keuskupan Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Salah satunya kepada pemilik nama Simon Petrus Sarkol. Melalui instagramnya, ia melihat postingan terbaru akun Instagram @komsoskwi yang mengajak umat Katolik se-Indonesia untuk mengikuti lomba cipta lagu dengan tema PKSN. Sebagai seorang yang tertarik dengan bidang musik, ia tergugah. Namun, keinginannya untuk mengikuti lomba kian kuat saat melihat tema tahun ini yang bertajuk “Datang dan Lihatlah” (Yohanes 1:46).
Pria yang akrab disapa Petrus ini mengaku tema ini telah membawanya dalam refleksi historis keluarganya yang datang ke Papua. “Sebenarnya kami asli dari Kei, Maluku Tenggara, tetapi tete nene (kakek nenek) kami mau datang ke Papua untuk menyapa saudara-saudara di Papua, mau menggandeng mereka dan mengangkat mereka setara dengan saudara-saudara di sana. Hal ini terus berlangsung hingga ke anak cucu melalui profesi kami masing-masing,” tuturnya. Ia melanjutkan, tete nenenya diutus oleh Keuskupan Amboina. Mereka adalah guru-guru perintis yang waktu itu datang ke daerah Papua. Sebelum ke Asmat, sang tete terlebih dahulu berkunjung ke daerah Muyu. Di Asmat ia berprofesi sebagai tukang kayu lalu menjadi kepala pos misi. Kemudian ayah Petrus juga meneruskan cita-cita orangtuanya. Sang ayah juga bekerja di keuskupan sebagai kurator Museum Asmat. Kini, Petrus juga meneruskan jejak keluarganya. Ia juga bekerja di keuskupan dengan bekerja sebagai staf di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats. “Rasa cinta kepada masyarakat Papua turun karena pelayanan kepada sesama dan itu juga rasanya tertanam pada saya sebagai petugas pastoral PSE. Profesi ini betul-betul membuat semakin sayang dengan umat kita di sini melalui perjumpaan dan berusaha hadir bersama mereka melalui kegiatan pemberdayaan. Nah, tema ini sungguh luar biasa direfleksikan dengan pengalaman hidup saya,” imbuhnya.
Untuk itu dalam proses cipta lagu saat membuat syair, ia pertama-tama mengenang kembali perjalanan keluarganya lalu melihat juga bagaimana Paus datang menyapa umat di Irak. Bagaimana seruan “Datang dan Lihatlah” menjadi sebuah cahaya dalam batinnya. Kurang lebih selama dua minggu ia menyusun syair itu. Dengan bermodalkan peralatan sederhana headset, ponsel pintar, laptop, dan keyboard ia menciptakan lagunya. “Saya sendiri tidak percaya diri ketika harus merekam nyanyian saya, sepertinya banyak falsnya,” akunya sambil terkekeh.
Selalu ada tantangan dalam setiap perjuangan. Meskipun kesulitan ditemukan dalam pengalaman pertamanya mengikuti lomba, ia sangat menikmati hal yang sedang dikerjakannya. Bagi Petrus, proses mencipta lagu ini mengingatkannya kembali akan hakikatnya sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Dalam bait pertamanya, ia merefleksikan bagaimana sebagai manusia hal pertama yang harus dilakukan adalah datang kepada Tuhan. Syairnya berbunyi demikian, “Datang dan lihatlah pesona pribadi-Nya. Jadilah kudus serta hidup dalam kebenaran.” Dalam syair refrain (pengulangan) ia juga menegaskan untuk setia ikut Tuhan dengan menimba kekuatan melalui Ekaristi. “Setia ikut Tuhan di sini maksudnya mewartakan kebenaran melalui tutur kata, sikap, dan perbuatan di mana saja kita di utus dan berkarya karena kita adalah gambaran Kristus,” ungkapnya antusias.
Umat Paroki Katedral Salib Suci Agats ini pun berharap semoga lagunya ini dapat menjadi inspirasi iman bagi pendengarnya. Tetap setia dalam mewarta kebenaran dan berlaku baik kepada sesama. Selain itu, ia berharap pula semoga dengan kegiatan PKSN KWI ini juga mampu mendorong umat di keuskupannya untuk memiliki komsos per paroki. Terakhir ia berpesan, saat berjumpa dengan masyarakat Papua jangan selalu cepat menyimpulkan sesuatu apalagi menggunakan kacamata pribadi. Misalnya, ia memberi contoh, ketika harus berdebat dengan ahli gender bagaimana sang ahli menyimpulkan perempuan Asmat tertindas karena mereka bekerja sedangkan laki-laki tidak. Padahal maksud dari bekerja itu adalah bagian dari mengolah tubuh agar selalu sehat. “Ini relevan dengan pesan Paus datang dan lihatlah, serta saya tambahkan sedikit untuk tinggal dulu dan jangan langsung beri kesimpulan,” ujarnya terkekeh.
Terus Menulis
Berbeda dengan Petrus, Elias Anwar dan Suster Rachela Kristiyanti Wa Ada Maria Runsa, CB lebih tertarik dalam dunia tulis menulis. Sudah dua kali mereka mengikuti pelatihan menulis dari program PKSN online. Keduanya pun mengaku sangat bahagia saat pekan PKSN datang lagi dengan pelatihan menulis.
Sebagai tenaga pendidik di SMA Regina Pacis Surakarta, Elias ingin memberikan banyak karya kepada anak-anak yang dididiknya. Ia ingin anak didiknya tetap memiliki kemampuan menulis karena dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah. “Saya ingat almarhum Romo YB Mangunwijaya pernah mengritik bahwa ada sesuatu yang hilang dari generasi ini, yaitu mereka tidak pandai menulis. Kenapa tidak pandai menulis? Karena mereka itu malas membaca lebih senang dengan ponsel pintar yang serba instan,” sebutnya. Untuk itu, ia ingin membekali dan mengasah diri lebih lagi dalam bidang menulis agar anak didiknya terinspirasi dan memiliki keinginan untuk menulis.
Guru Pendidikan Agama yang mengagumi tulisan Paus Fransiskus ini membeberkan bahwa tujuan utama mengikuti pelatihan PKSN KWI bukan untuk mencari juara. Baginya memperoleh ilmu baru dan berporoseslah yang utama. Ia pun mengenang pengalamannya tahun lalu ketika mengikuti pelatihan menulis feature. “Ketika nulis feature saya merasakan memang betul-betul butuh perjuangan untuk membuat satu tulisan saja. Sebagai penulis pemula, ini sempat membuat saya stres, bagaimana harus turun ke lapangan mencari narasumber, lalu mengolah lagi. Pengalaman tahun lalu itu justru memotivasi saya untuk terus menulis,” akunya.
Tahun ini, kelahiran Makassar, 16 Mei 1974 memutuskan mengikuti lomba menulis opini serta pelatihan dan lomba menulis di media massa. Elias mengaku mendapat banyak sekali ilmu baru. Salah satu kebaruan yang didapatkan adalah semakin berani untuk menulis opini. “Jika dahulu saya lebih banyak menulis berita, maka di sini dari berita itu saya buat menjadi sebuah refleksi misalnya. Untuk itu, lomba menulis opini ini mendorong saya untuk berani mengungkapkan sebuah pandangan saya sendiri akan sebuah masalah,” terangnya. Selain itu, ia juga sangat senang dan semakin terpacu saat mendengar sharing dari para wartawan profesional. “Saya dapat pengalaman baru dari Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com. Ia sungguh memberikan ilmu sebagai seorang wartawan. Jadi ketika menulis ada sepuluh faktor yang harus diketahui, misalnya apakah tulisan ini memiliki dampak yang luar biasa? Karena jangan sampai tulisan ini memiliki dampak biasa saja. Lalu seorang penulis harus benar menyampaikan kebenaran, jangan sampai mendapatkan berita justru dari orang lain tanpa melakukan track dan cross check,” bebernya antusias.
Dengan bersemangat umat Paroki St. Paulus Kleca-Solo, Kevikepan Surakarta, Keuskupan Agung Semarang (KAS) juga antusias saat mendengarkan pengalaman dari Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, Stefanus Pramono. Darinya, Elias mendapat ilmu untuk mengambil angle dalam tulisan. “Kita bisa saja mengalami peristiwa yang sama tapi yang membedakan adalah pemilihan angle. Jangan sampai tidak tepat memilih angle,” ujarnya. Ilmu itu pun ia akui langsung diaplikasikan saat mengikuti lomba PKSN yakni menulis caption di Facebook. Ia menjelaskan, “Saya kan baru mengikuti di menit terakhir, saya amati gambar yang ditampilkan. Gambar yang dilihat banyak orang tapi coba saya melihat angle yang lain. Ilmu itu saya terapkan dan puji Tuhan panitia melihatnya menarik. Ini pengalaman luar biasa yang saya syukuri betul karena saya tidak dapatkan dalam dunia sekolah, tapi justru dalam pertemuan semacam ini.”
Semakin Percaya Diri
Tidak ketinggalan, Sr. Rachela juga turut membagikan pengalamannya. Kelahiran Labasa, Sulawesi Tenggara, 22 Mei 1993 ini sedari dulu memang suka menulis. Baik di kongregasi maupun tempat perkuliahannya di Universitas Sanata Dharma, ia bergabung dalam komunitas menulis seperti mengolah web Kongregasi CB dan menulis di Majalah Empati milik Prodi Bimbingan dan Konseling.
Lewat pelatihan menulis opini dan media massa yang diadakan Komsos KWI, ia mengaku semakin percaya diri dalam menulis. Dengan polos pendamping asrama putri SMP Stella Dulce II Yogyakarta ini mengakui kelemahannya, “satu kelemahan saya klo nulis udah dapat masukan, ah tulisanmu masih jelek, pasti langsung down rasanya.” Ketakutannya ini pun dibabat saat pemateri pelatihan menulis di media massa, mengatakan untuk tidak patah arang saat tulisanmu dianggap belum layak dan tetaplah berproses. “Di situ saya tersentak juga. Sebagai penulis yang handal mereka saja terus ditantang menciptakan tulisan yang bagus, apalagi saya yang masih pemula harus banyak berlatih dan jangan cepat kendor semangatnya,” ungkapnya.
Dengan itu, biarawati yang tinggal di Komunitas CB Suryodiningratan, Yogyakarta ini pun mulai berani menulis di salah satu surat kabar lokal. Koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta menjadi pilihannya untuk mengasah kemampuannya. “Dulu saya takut salah jika menulis, sekarang makin percaya diri aja karena ikut pelatihan ini. Saya bersyukur Komsos KWI membuka peluang ini,” ujarnya senang
Baik Elias maupun Sr. Rachela sepakat agar pelatihan menulis ini tidak hanya diadakan saat PKSN saja. “Saya berharap ada pelatihan menulis yang rutin dari Komsos KWI minimal sebulan sekali biar kita penulis pemula ini selalu bisa mengasah dari,” sebut Elias diamini Sr. Rachel.
Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia
HIDUP, Edisi No.20, Tahun ke-75, Minggu, 16 Mei 2021