HIDUPKATOLIK.COM – IA menemukan kembali mimpi dan sebagian dirinya yang hilang. Pejumpaannya dengan harpa, membangkitkan lagi mimpinya menjadi pemusik yang sempat terkubur.
Denting musik mengalun indah memenuhi Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta Selatan, saat jemari lembut Regina Handoko memetik dawai harpa. Untuk sekian kalinya, Regina, sapaannya, seakan menghipnotis para penikmat musik klasik dengan petikan harpa dan suara merdunya.
Konser di malam bulan Mei 2017 itu istimewa, itulah konser tunggal perdana Regina. Konser bertajuk “Hearts in Harmony Concert” itu juga merupakan konser amal, yang dia gelar dalam rangka memperingati setahun berpulangnya sang ayah tercinta ke rumah Bapa akibat kanker. Seluruh pendapatan konser, dia serahkan kepada salah satu yayasan kanker anak.
Mimpi yang Pupus
Dari ayahanda, Regina mewarisi darah pemusik. Ketika baru berusia empat tahun, dia telah diikutkan kursus piano di Yayasan Pendidikan Musik. Di tempat ini, dia menjalani pendidikan hingga tingkat akhir. Selain piano, dia juga belajar vokal. Tak hanya satu, dia bahkan “nyantrik” ke beberapa guru vokal yang sudah “punya nama”. Alhasil saat usianya masih belia, dia telah menorehkan prestasi. Di antaranya, dia menjuarai sejumlah lomba bintang radio dan televisi kategori seriosa, baik di tingkat DKI Jakarta maupun nasional.
Semakin Regina belajar piano dan vokal, kecintaannya pada musik klasik kian terpupuk. Menginjak masa remaja, seleranya akan musik klasik membuat dia tidak merasa cocok dengan musik “jedang-jedung”, yang tren di antara teman-teman sebayanya ketika itu. Baginya, alunan musik yang tenang adalah yang paling sesuai dengan dirinya. Pop klasik adalah yang paling ringan baginya. “Teman-teman sering bercanda menyebut selera musik saya seperti oma-oma,” kenangnya sambil tertawa, dalam wawancara, 17/6/2020.
Regina berencana studi musik, usai lulus SMA. Guru vokalnya bahkan mau merekomendasikannya kepada seorang guru besar di salah satu perguruan tinggi di Jerman. Sayang, mimpi itu harus pupus karena ayahnya menentang. Sebagai dokter, dia tidak bisa meninggalkan pasien. Dia takut bila terjadi sesuatu pada putrinya, dia tidak bisa ada untuk menolongnya. Selain itu, ayahnya juga berpikir apakah putrinya itu bisa hidup hanya dari musik.
Regina pun menguburkan mimpinya sebagai pemusik. Dia lalu kuliah jurusan ekonomi dan menjadi wanita karier. Meski demikian, dia tetap mendapatkan tawaran untuk bernyanyi di berbagai acara pada akhir pekan. Di tahun kedua dia bekerja, dengan izin sang ayah, dia mengundurkan diri dan banting setir. Tidak hanya menyanyi, Regina bersama teman-teman SMA-nya juga menyediakan jasa event organizer (EO). “Nyanyi-nyanyi, jadi EO ternyata lebih nikmat daripada kerja kantoran. Hati saya memang di situ,” ujarnya.
Ketika menikah pada 2006, Regina meninggalkan semua kesibukannya, kecuali bernyanyi. Dia ingin fokus merawat keluarga kecilnya. Kepada putri-putrinya, dia mengenalkan piano sejak masih sangat muda. Namun, dia berpikir, tak cukup bermain piano, mereka harus punya “instrumen kedua”.
Dalam suatu acara, sebagai soprano, Regina berduet dengan Heidi Awuy. Dia begitu terpesona dengan alunan musik dari harpis pertama Indonesia itu. Saat itu, dia tahu apa yang akan menjadi instrumen kedua para putrinya. Regina pun memutuskan belajar harpa dari Heidi. Dia berharap bisa menarik minat anak-anaknya dan menjadi guru bagi mereka. Keputusan itu baru dia wujudkan ketika putri bungsunya sudah berusia dua tahun.
Baru sebulan belajar, Regina sudah diajak tampil bersama sang guru. Dia mampu menguasai harpa dengan cepat karena sebelumnya ia piawai dalam piano. “Piano dan harpa itu sama persis. Bila grand piano dibuka, tampak seperti harpa tidur,” katanya.
Kala itu, meski masih junior, setiap ada kesempatan tampil bersama Heidi, kesempatan itu tidak akan dia sia-siakan. Semangatnya begitu berapi-api. Meski terbilang baru mengenal harpa, Regina seperti menemukan kembali sebagian dirinya. Dia tak menampik, beberapa kali ada yang mencibirnya, sebab di usianya yang sudah tua tetapi permainannya belum terbilang hebat. “Saya pantang mundur, saya main terus, saya belajar terus,” ujar Regina.
Terus Berguru
Regina juga berilmu dari guru lainnya. Setidaknya ada sepuluh masterclass harpa di beberapa negara penah dia ikuti. Hal ini dia lakukan, demi menjadi harpis profesional. Setiap masterclass berarti ada ujian, Regina sengaja menjalani ini semua, sebab dia ingin setiap tahun ada kemajuan dalam bermain harpa. Dia bahkan telah menyelesaikan Grade 8 pada Associated Board of the Royal Schools of Music di London, Inggris dengan nilai memuaskan dua tahun lalu.
Usaha Regina tidak mengkhianati hasil. Sejak awal belajar harpa hingga kini, dia telah tampil di banyak konser besama beberapa orkestra. Tak selalu memainkan harpa, di orkestra itu, ia juga bisa berperan sebagai solis soprano, soprano harpis, maupun harpis. Beberapa di antaranya, ia penah tampil besama Twilite Orchestra, Bandung Philharmonic Orchestra, Jakarta Concert Orchestra, Jakarta City Philharmonic Orchestra, dan Jakarta Simfonia Orchestra.
Dari pengalamannya, Regina menuturkan, siapapun bisa memainkan alat musik apapun. “Boleh jadi, nyanyi adalah pemberian dari Tuhan karena ‘alat musiknya’ ada di dalam tubuh, tetapi instrumen selama tekun dan enjoy, pasti bisa dipelajari dikuasai. Orang yang punya bakat tetapi tidak tekun, tidak akan bisa maju juga,” ujarnya.
Keyakinan Regina itu tak lantas membuatnya hanya fokus pada harpa. Apalagi sebagai soprano harpis, di mana dia bernyanyi sambil memetik harpa. Bernyanyi adalah urusan pertama yang harus dia bereskan. “Saya mantapkan dulu proses nyanyinya baru kemudian saya belajar harpanya,” katanya.
Bukan perkara mudah untuk mengatur nafas, aku Regina. Sebab sembari dia memetik harpa, dia harus bersenandung sambil duduk dan memainkan pedal dengan kakinya. Regina harus menyelaraskan vokal, tangan, dan kaki. Baginya, kunci untuk bisa melakukannya dengan baik adalah perut yang kuat untuk napas panjang, sehingga nada tetap stabil. Hingga kini, dia tetap aktif mengikuti masterclass vokal dengan penyanyi-penyanyi klasik internasional di beberapa negara. Tahun 2018, dia mendapatkan diploma vokal dari Trinity College Music – London di Singapura. Di tempat ini, dia lulus dengan nilai sangat memuaskan.
Pengalaman dan pendidikan yang Regina tempuh tidak hanya mengantarkannya pada panggung-panggung orkestra. Dia juga telah menggelar konser tunggal tiga kali pada tahun 2017, 2018, dan 2019. Tercapai sudah cita-cita Regina kecil. Baik konser tunggal maupun konser bersama orkestra. Di setiap konser ini, dia mengakui, memiliki rasanya masing-masing. “Saat tampil solo, saya lead sendiri, saya ‘menjadi lagunya’ dengan diiringi orkestra. Sebaliknya, dalam orkestra saya mengiringi dan menjadi bagian puzzle dari kesatuan musik yang megah.”
Dari sederet pertunjukan yang pernah dia jalani, Regina mengungkapkan, dia paling menikmati saat tampil di gereja. “Saat bermain di gereja, saya merasa lebih bebas, bermain dengan sepenuh hati karena tidak ada tekanan bahwa saya sedang dinilai,” ujarnya.
Suara malaikat
Ketertarikan Regina pada harpa dia sebutkan karena suara harpa baginya seperti suara malaikat. Di rumahnya, harpa menjadi sarana dia mencurahkan perasaannya. Petikan harpanya itu pun cukup mempengaruhinya keluarganya. Suaminya akan memintanya memainkan harpa ketika kembali ke rumah dengan beban kerja yang cukup melelahkan. Putrinya kini juga menjadi harpis cilik, yang kerap tampil di berbagai panggung orkestra. “Harpa itu seperti alat musik dari surga. Suaranya sangat angelic, tenang, dan menimbulkan rasa damai,” ungkapnya.
Semangat belajar tanpa mengenal batasan umur sukses membuatnya menjadi ibu dari pemusik cilik. Bersama suaminya, Regina juga menjalani bisnis sebagai distributor harpa untuk Indonesia dan Singapura sejak 2016 lalu.
Di tengah kesibukannya sebagai soprano, harpis, istri, ibu, juga pebisnis, Regina rupanya tetap berkomitmen terlibat dalam pelayanan di Gereja. Dia telah aktif melayani sejak masih di bangku SD. Dia terlibat baik sebagai solis maupun pelatih dalam koor di Paroki St. Petrus dan Paulus Mangga Besar, Jakarta Barat dan Koor Serviam di Paroki St. Theresia Menteng, Jakarta Pusat. Kini dia aktif melayani di Saint Peter Canisius International
Catholic Parish, Jakarta sebagai pemazmur dan harpis.
Regina mengakui, saat ini tidak ada lagi ambisi tertentu yang ingin dia kejar. “Saya menikmati hidup saya sebagai ibu dan istri, itu profesi utama saya. Tidak ada ambisi apa-apa lagi yang saya kejar,” ungkapnya.
Hermina Wulohering
Profil
Regina Handoko
Lahir : Jakarta, 30 Januari 1978
Suami : Adrian Handoko
Anak : Celine, Celia, Celestia
Pendidikan :
SMA Santa Ursula Jakarta
Sarjana Ekonomi Univesitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Prestasi :
Juara II New York Golden Classical Music Awards International Competition 2020, kategori Classical Vocal
Juara I Vienna Grand Prize Virtuozo International Music Competition 2019
Majalah HIDUP edisi 26 tahun 2020