HIDUPKATOLIK.COM – LAGU terakhir telah selesai dinyanyikan. Satu persatu orang-orang mulai berjalan keluar dari dalam gereja. Aku berdiri di depan pintu. Kupandangi mereka satu per satu dengan teliti, mencari sosok yang kutunggu.
Seorang gadis kecil dengan rambut keriting menyapaku. Wajahnya manis dengan senyum yang lucu. Aku menundukkan kepalaku memberi tanda bahwa aku siap menyambut sapaannya. Namun saat tangannya terulur padaku, seorang perempuan yang tubuhnya beraroma bunga menarik tangan mungilnya secara tiba-tiba.
“Jangan Sayang! Dia kotor sekali.” Perempuan itu menatapku dengan pandangan jijik. Aku pun menegakkan kepalaku lagi. Ia menarik tangan gadis kecil itu agar menjauhiku.
“Tapi Ma…”
“Ayo pulang!” perintahnya lagi. Gadis kecil itu tampak kecewa. Namun ia tak bisa menolak saat tangan perempuan wangi itu menarik pergelangan tangannya lebih kuat. Sambil melangkah terseret-seret mengikuti langkah Sang Ibu, beberapa kali gadis kecil itu menoleh padaku, memandangku dengan iba.
Setelah sosok gadis kecil dan ibunya itu lenyap dari pandanganku, aku kembali melanjutkan pencarianku. Sosok yang kutunggu itu tak ada. Ke mana dia? Bukankah terakhir kali ia berpesan agar aku menunggunya di sini? Hingga kursi-kursi panjang dalam gereja itu kosong, aku tetap tak menemukan dia. Seorang lelaki muda yang sering kulihat membersihkan gereja muncul paling belakang. Ia menatapku dengan dua tangan bersiap menutup pintu.
“Kamu lagi? Sudah berapa kali kubilang, ia tak ada di sini,” katanya. Lelaki itu selalu mengucapkan kata-kata itu, tepatnya sejak ia sering melihatku berdiri di depan pintu hingga orang terakhir keluar. Yang tak kupahami, mengapa sosok yang kutunggu tak pernah keluar dari gereja itu? Apa yang dilakukannya di dalam sana? Sayang aku tak pernah diperbolehkan untuk masuk dan mencarinya di dalam. Seandainya bisa…
“Pergilah! Gereja akan ditutup!” usir lelaki muda itu. Dengan lunglai aku melangkah menjauhi pintu. Beberapa kali kutolehkan kepalaku ke pintu gereja yang telah ditutup itu, berharap sosok yang kutunggu itu tiba-tiba muncul dari sana. Namun ia tak ada. Sungguh tak ada.
***
Aku ingat sewaktu pertama kali bertemu dengan lelaki bermata ramah itu. Ia berusaha menenangkanku saat aku berdiri kedinginan di depan kios rokok dekat rumahnya. Hujan seharian membuat tubuhku menggigil dan lapar. Saat tangannya terulur, aku tak berusaha menjauh seperti yang biasa kulakukan pada orang asing. Aku juga tak menolak saat ia mengajakku berjalan pulang ke rumahnya.
Kami berhenti di sebuah rumah kecil bercat hijau muda. Seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah tak kalah ramahnya menyambutku di depan pintu. Lelaki itu lalu memperkenalkan perempuan itu sebagai istrinya. Tak butuh waktu lama untuk menyukai perempuan manis itu. Sepiring nasi hangat bertabur daging panggang membangkitkan nafsu makanku. Dalam waktu tak lama, piring itu pun kosong. Mereka tertawa lalu memelukku.
Lalu mereka menamaiku Ronan, sebuah nama yang keren dan membuatku senang. Aku diperlakukan seperti anak mereka sendiri. Sepasang suami istri itu pun menjadi orang tuaku sejak hari itu.
Aku terus tumbuh dalam kasih sayang mereka. Setiap pagi, mereka mengajakku berjalan kaki menuju gereja. Aku memang tidak pernah diperbolehkan masuk. Mereka hanya memintaku untuk menunggu di depan pintu.
“Tunggu di sini sampai kami keluar, Ronan,” begitu kata mereka. Aku pun selalu setia menunggu hingga lagu penutup kudengar. Mereka akan keluar bergandengan tangan dan mendapatiku berdiri di depan pintu. Lalu kami bertiga pulang bersama menuju rumah kecil bercat hijau itu.
Hari-hari berlalu hingga kami bertiga sama-sama menua. Aku selalu menikmati kebersamaan dengan mereka. Namun pada suatu hari yang tak pernah kuduga, kudapati lelaki itu menangis sesenggukan di tepi ranjang. Ia menggenggam tangan istrinya yang terbaring diam. Wajah perempuan itu sangat pucat. Matanya terpejam. Bibirnya terkatup rapat. Tak ada suara jawaban keluar dari sana meskipun suaminya menggoyang tubuhnya dan memanggil namanya berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, orang-orang datang menyalami lelaki itu sambil menepuk-nepuk pundaknya. Kurasakan suasana berbalut kesedihan ketika kuikuti rombongan orang-orang yang membawa tubuh perempuan itu ke sebuah tempat yang sunyi di ujung desa. Di sana tubuh perempuan itu dibaringkan lalu ditimbun dengan tanah. Ada rasa sakit yang tak bisa kugambarkan ketika melihat lelaki itu bersimpuh di depan timbunan tubuh istrinya dengan wajah basah. Aku hanya mendampinginya, merasakan rasa kehilangan yang sama.
Beberapa waktu lamanya lelaki itu tidak mengajakku ke gereja. Ia hanya mengurung diri di kamarnya dan bersedih. Yang kulakukan hanya berusaha untuk duduk di dekatnya dan ikut merasakan dukanya. Apalagi yang bisa kuperbuat selain membuatnya tak merasa sendirian?
Namun barangkali benar bahwa waktu mampu menyembuhkan. Akhirnya lelaki itu berhasil melewati masa berkabungnya. Aku senang. Kasih sayangnya tak berubah. Ia kembali mengajakku pergi ke gereja setiap pagi. Kami berjalan berdua saja tepat setelah lonceng gereja berbunyi. Lalu ia akan memintaku untuk menunggu di depan pintu seperti dulu saat kami masih bertiga.
Orang-orang di gereja pun telah hafal dengan kami berdua. Mereka memanggil lelaki itu dengan sebutan Pak Tua. Rambutnya yang keperakan, punggungnya yang sedikit bungkuk, serta jalannya yang lambat-lambat memang sesuai dengan sebutan itu.
“Duduklah di sini Ronan. Tunggu sampai aku keluar,” begitu perintahmya selalu. Aku pun duduk di depan pintu. Apa susahnya menunggu? Aku telah melakukannya sejak dulu, sejak kami masih bertiga.
Namun hari itu rupanya berbeda. Aku tak menemukan sosok Pak Tua di antara orang-orang yang keluar gereja. Lelaki muda yang bertugas menutup pintu mengusirku dan mengatakan bahwa Pak Tua sudah tak ada. Aku tak paham kata-katanya. Yang kutahu bahwa aku harus terus menunggu Pak Tua di pintu gereja, seperti biasa.
Hari-hari berlalu dan aku masih selalu menunggu di depan gereja. Tepat setelah nyanyian penutup selesai, aku akan berdiri tegak mencari sosok Pak Tua di antara orang-orang yang keluar dari pintu. Beberapa orang akan menyapaku dan mengelusku. Namun tak sedikit yang tak mempedulikanku, bahkan mengusirku. Tubuhku yang kotor dan bau membuat mereka jijik padaku. Akhirnya aku selalu berjalan lunglai menuju jalanan dan bersedih karena sosok Pak Tua tak kutemukan di antara mereka.
Seperti hari ini, aku kembali menunggu Pak Tua di antara orang-orang yang selesai berdoa di gereja. Kupandangi mereka satu per satu, berharap Pak Tua ada di antara mereka, lalu mengajakku pulang ke rumah kecil bercat hijaunya.
“Kasihan, setiap pagi dia menunggu Pak Tua,” kata seorang perempuan sambil menunjukku. Lalu ia mendekatiku, mengulurkan tangannya untuk mengelusku. Aku tak bereaksi. Yang kumau hanya Pak Tua. Lelaki itu yang setiap hari kutunggu. Kemana dia?
“Apa ia tak tahu bahwa Pak Tua sudah meninggal mendadak saat mengikuti misa di gereja beberapa bulan lalu?” tanya lelaki yang berdiri di sampingnya. Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Tangannya tak henti mengelus kepalaku.
“Dia selalu menunggu di depan pintu ini. Waktu itu Pak Tua diangkut lewat pintu samping. Kurasa ia tak tahu kejadian itu. Setiap hari ia masih tetap menunggu Pak Tua di sini.” Perempuan itu masih mengelusku. Entah mengapa aku merasa sangat sedih mendengar kata-kata mereka. Mereka membicarakan Pak Tuaku. Apa yang terjadi? Mengapa mereka tak mempertemukanku dengannya?
“Bagaimana kalau kita membawanya pulang?” Perempuan itu menoleh pada lelaki itu. Lelaki itu terdiam. Pandangannya tak menyiratkan keramahan seperti yang kutemukan pada Pak Tuaku. Kurasa ia tak menyukaiku. Ia menggelengkan kepalanya, pelan namun tegas.
“Kurasa ia tak akan mau. Anjing binatang yang sangat setia. Ia pasti akan pergi dari rumah dan kembali ke sini lagi menunggu tuannya. Dia akan merepotkan kita.” Lalu lelaki itu mengajak perempuan itu pergi. Awalnya perempuan itu agak berat meninggalkanku, namun akhirnya ia menuruti bujukan lelaki itu. Mereka pun meninggalkanku. Kupandangi lelaki itu menggandeng perempuannya berjalan hingga lenyap dari gerbang gereja. Dan aku masih di sini, sendirian, menunggu Pak Tuaku, entah sampai kapan.
Oleh Tantrini Andang
Ilustrasi oleh Norbert Randhy