web page hit counter
Selasa, 5 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Beato Mark Çuni (1919-1946) : Serigala Pembebas Albania

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM GEREJA Albania menyebut, para martir sebagai “serigala” iman. Mereka bergerilya mewartakan misi pembebasan umat dari provokasi komunisme.

 BULAN April 1939-1942, Italia mencaplok Albania, kemudian Jerman tahun 1943-1944. Usai Perang Dunia II (1939-1945), lahirlah wajah baru Albania. Rezim Komunis berkuasa di Albania dibawah pemerintahan Enver Hoxha (1908-19485), pemimpin Partai Buruh.

Hoxha menancapkan taring kekuasaannya dengan mengatur perlindungan integritas wilayah Albania. Akibatnya, rakyat menjadi korban. Ia mengubah bentuk negara republik menjadi komunis, kemudian berubah lagi menjadi Republik Rakyat Sosialis Albania tahun 1976. Dengan bentukan ini, paham hoxaisme dan komunisme menjangkit rakyat Albania.

Dalam cengkeramannya, Hoxha menolak praktik keagamaan. Setiap pelayan pastoral ditangkap dan dipenjarakan. Lingkaran demon hoxaisme memaksa Albania berkembang dalam tumpahan darah. Hoxha menjadi singa yang lapar kekuasaan. Tidak saja para imam, para calon imam dan awam berakhir di ujung bedil. Sedikitnya 38 martir tewas di masa pemerintahan Hoxha. Satu di antara mereka adalah Frater Mark Çuni.

Calon imam Keuskupan Agung Shkodër-Pult ini menjadi martir, saat masih menjalankan masa pendidikannya di Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Shkodra. Ia dianggap sebagai mata-mata Vatikan. Ia dituduh menyebarkan “propaganda literasi” melawan komunis.

Beato Mark Çuni/www.catholicalbania.org

Kontra Marxisme

Bila para klerus di Albania dijuluki “banteng” pertahanan Gereja, maka para frater ini dijuluki “serigala”. Meski Gereja melihat para frater sebagai “pemburu” jiwa, sebaliknya Hoxha memandang mereka sebagai “singa ompong”. Para frater tidak memiliki pengikut, seperti halnya para uskup dan imam. Di bidang politik, suara kaum muda tak diperhitungkan. Selain karena tak memiliki medan pastoral, juga tak mewakili Gereja dalam manuver politik.

Inilah kelengahan Hoxha. Ia fokus hanya kepada pejabat Gereja. Para frater tampil dengan metode misi yang tak terduga. Mark, frater tingkat akhir ini “meninggalkan” seminari dan bergerilya menyebarkan iman.

Kelahiran Desa Bushat (sekarang wilayah Vau i Dejës, Shkodra), 30 September 1919 ini melihat tanda-tanda degradasi moral sejak kehadiran komunis. Sejak itu, aktivitas Gereja mati suri. Para pejabat Gereja dibungkam, sebagian lagi menjadi martir.

Baca Juga:  Renungan Harian 4 November 2024 “Hospitalitas”

Kediktatoran Hoxha membawa Mark dan rekannya Frater Gjergj Bici mencetuskan sebuah “gerakan perlawanan”. Mereka menyebutnya “literasi pembebasan” umat pedesaan. Dari meja kerja, keduanya memproduksi risalah bulanan berjudul, “Aurora Consurgens”, yang berisi pesan-pesan penguatan.

Keduanya menulis sendiri risalah itu. Beberapa materi didapat dari tulisan para imam atau uskup. Di bagian akhir risalah tersebut, mereka memasukkan ajaran-ajaran Gereja. Tulisan mereka yang paling fenomenal adalah risalah soal propaganda komunis. Keduanya menyampaikan sebuah ide terbuka, bahwa komunis telah menindas rakyat. Mereka menolak seruan Hoxha, yang menggaungkan ajaran Karl Marx, “Agama adalah candu rakyat.”

Bagi Frater Mark, pernyataan ini tak mendasar. Ia merevitalisasi kehadiran agama sebagai lembaga moral. Dalam risalahnya ia menulis, “Agama tak sekadar desahan makhluk yang tertindas. Jiwa dari kondisi tanpa jiwa. Kepercayaan yang salah tempat, atau keyakinan metafisika yang salah. Beragama bukan berarti orang tak memiliki roh spiritual. Sebaliknya, pengalaman akan realitas yang menderita adalah cara tepat beriman. Melihat agama harusnya sebuah aksiomatik yang tak perlu diperdebatkan, tetapi dihayati dalam pengalaman hidup.”

Frater Mark menilai, Marxisme seperti halnya teori-teori lain, tidak dapat dibenarkan hanya dengan tafsiran tunggal. Epistemologi telah mengajarkan kepada dunia bahwa satu naskah akan selalu dibaca dalam konteks pemahaman yang khas oleh setiap pembaca. Kacamata inilah yang kemudian menyanggah teori Marxisme. Dengan bahasa yang sederhana, risalah yang dibuat Frater Mark berhasil menguatkan banyak umat sampai ke daerah pedesaan.

Beato Mark Çuni (belakang) menjadi misdinar dalam sebuah Misa yang dipimpin Pastor Ejëll Deda tahun 1943/www.catholicalbania.org

Politik Praktis

Risalah ini diperkuat oleh sebuah puisi satir yang ditulis Pater Kolë “Gjon” Shllaku OFM (1907-1946). Tanpa menyebut nama Pater Kolë, puisi ini berhasil menyentil sisi kemanusiaan komunisme. Frater Mark dan Frater Gjergj membuat gaduh pertahanan lawan.

Mereka sadar tindakan ini berbahaya bagi panggilan, sehingga keduanya meminta bantuan kepada surat kabar Albania, Bashkimi Shqiptar, -sekarang dikenal Baskhimi: Albanian Uni. Setelah selebaran diperbanyak, Mark segera mendistribusikannya kepada para frater yang berpastoral di pedesaan. Walhasil, umat semakin terprovokasi untuk membenci Hoxha.

Baca Juga:  "SOS": Ini Kebutuhan Mendesak Korban Erupsi Gunung Api Lewotobi Laki-laki

Bersamaan dengan beredarnya selebaran satir itu, rumor tentang Pemilu di Albania tahun 1945 semakin tersiar. Geraja merasa waswas, karena tidak ada kandidat lain selain komunis. Atas alasan ini, Frater Mark dan Frater Gjergj pergi pergi bertemu Frater Zef Plluni, kerabat Gjergj, di Seminari Illyricum, utara Albania. Mark meminta bantuan Frater Zef untuk mendapatkan ahli stensil dan meminjamkan beberapa mesin tik. Frater Zef memang memiliki relasi dengan beberapa penggiat media di Illyricum.

Sayang, kiblat pastoral Frater Zef berbeda dari dua “gerilyawan” ini. Ada ketakutan soal panggilannya, sekaligus kekejian komunis. Sebenarnya, Frater Zef mencoba menghalangi mereka agar tidak terlibat dalam politik praktis. Selain bukan saatnya, juga aksi mereka tak direstui otoritas Gereja.

Tekad kedua frater ini semakin bulat. Mereka terus membangun kerjasama rahasia dengan Albanian Uni. Menjelang pemilihan umum, mereka membagikan lima selebaran kepada orang-orang terdekat termasuk Gjelosh Lulashi, yang kemudian juga wafat sebagai martir dan menjadi beato. Tetapi situasi ini berubah setelah beberapa hari memasuki Pemilu. Tanggal 27 November 1945, satu peristiwa naas dialami Frater Fran Gaçi. Ia ditangkap dan  disiksa. Meski sempat dibebaskan tapi akhirnya ia meninggal dunia.

Pada 2 Desember, pemilihan umum pertama diadakan. Hanya ada satu calon tunggal yaitu dari Partai Komunis. Rakyat mengikuti pemilihan dengan syarat wajib, yaitu menyetujui kandidat dari partai itu. Memprediksi situasi ini, Frater Mark meminta agar selebaran rahasia itu diperbanyak lagi. Mereka mencantumkan nama seorang calon lain, yang dianggap mewakili suara kaum tertindas.

Lima hari setelah selebaran itu ada di tangan rakyat, tepatnya 7 Desember, Frater Mark, Frater Gjergj, Frater Ndoc Vata, serta Lulashi ditangkap beberapa imam Yesuit dan Fransiskan. Berselang beberapa hari, rektor mereka, Pastor Daniel Dajani SJ (1906-1946) dan Provinsial Serikat Yesus, Pastor Giovanni Fausti, SJ (1899-1946) ikut ditangkap. Kedua imam Yesuit ini ditangkap dalam perjalan pulang usai merayakan Misa bagi almarhum Fran Gaçi.

Baca Juga:  Donor Darah Alumni Kolese Jesuit Indonesia: Setetes Darah Menyelamatkan Kemanusiaan

Mereka dituduh sebagai mata-mata Vatikan. Mereka dianggap mengkhinati konstitusi. Karena usaha Frater Mark dan Frater Gjergj, rakyat menjadi pembelot dan menentang keputusan Pemilu. “Kami para seminaris, tidak akan menyesal dan tidak meminta belas kasihan kepada hakim. Kami tidak butuh kebebasan. Kalau negara tak merestui, Tuhan yang akan menjamin hidup kami,” ujar Frater Mark.

Sukacita Surgawi

Di dalam tahanan, Frater Mark terus diberi tawaran jaminan agar menyangkal imannya. Semua tawaran itu selalu berujung pada penolakan. Sebaliknya, ia menawarkan diri sebagai pengajar katekumen bagi para komunis. Akhirnya lewat proses yang panjang, pada 22 Februari 1946, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Delapan orang, dihukum mati dengan cara ditembak, selain Frater Mark, pengadilan juga menjatuhkan hukuman mati kepada Pastor Gjon, Pastor Fausti, Pastor Dajani, Mark Çuni, Gjergj Bici, Lulashi, Fran Mirakaj, dan Qerim Sadiku. Hukuman untuk Frater Gjergj belakangan diubah menjadi kerja paksa, sedangkan Fran Mirakaj dilaporkan meninggal September 1946.

Mereka yang dijatuhi hukuman mati itu diangkut ke sebuah pemakaman Katolik di Shkodra, di sana mereka dieksekusi. Jazad enam martir ini tampak terbaring dengan saling berpegangan tangan. “Mereka terbunuh karena kebencian iman. Mereka telah menjadi martir Kristus,” ujar Mgr. Leone Giovanni B. Nigris, Prefek Kongregasi Propaganda Fide Vatikan dalam proses beatifikasi martir Albania.

Dekrit beatifikasi Frater Mark Çuni dan delapan martir lain akhirnya disetujui Paus Fransiskus. Misa dibeatifikasi bagi mereka diadakan di Katedral Shën Shtjefnit, Shkodër, Albania pada 5 November 2016 yang dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Kardinal Angelo Amato, SDB. Tanggal ini juga ditetapkan untuk mengenang Beato Mark Cuni bersama 35 Martir Albania lainnya.

Yusti. H. Wuarmanuk

Majalah HIDUP edisi 21 tahun 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles