web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

KALA MATA TERORISME MENYASAR RUMAH IBADAH, SIDNEY JONES: POLA-POLA KELOMPOK TERORIS SAAT INI MENGALAMI PERUBAHAN

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Bukan sekali saja gereja menjadi sasaran aksi bom bunuh diri di Indonesia, terakhir di depan gerbang Katedral Makassar. Urgen antisipasi agar tak terulang lagi.

MAKASSAR adalah sebuah kota yang terletak di pesisir pantai. Kota pelabuhan ini menjadi salah satu kota tersibuk di Indonesia bagian Tengah dan Timur. Orang-orang dari berbagai daerah datang berjumpa di Makassar, entah untuk urusan bisnis atau mencari pekerjaan. Kondisi ini memberi warna tersendiri bagi Gereja Keuskupan Agung Makassar (KAMS).

Di Makassar mayoritas penduduk beretnis Tionghoa, Makassar-Toraja, Flores, dan Jawa. Umat Katolik tersebar di sembilan paroki. Dalam derap pastoral, paroki-paroki yang ada di Makassar selalu bersentuhan dengan masyarakat dan kultur seperti ini. Maka, pastoral yang dikembangkan adalah pastoral merangkul semua. Rangkulan itu bisa mewujud dalam macam-macam pelayanan termasuk hubungan baik dengan umat agama lain.

Mereka yang merantau ke Makassar tidak menanggalkan budaya, termasuk paham-paham dan pola pikir asali yang berlatar intoleran (mengarah ke radikal dan terorisme). Dengan penduduk yang heterogen, Makassar menampilkan wajah kota yang terbuka bagi setiap orang yang datang.

Budayawan Makassar, Ishak Ngeljaratan saat dihubungi menyebutkan di sinilah sisi lain Kota Makassar. Keterbukaan budaya dan agama tanpa saringan yang pasti, telah melahirkan juga bibit-bibit intoleransi dan radikalisme. Akibatnya, pada perayaan Minggu Palma, (28/3/2021) terjadi bom bunuh diri di depan gereja Hati Yesus Yang Maha Kudus Katedral Makassar. Aksi ini membuat puluhan umat Katolik mengalami luka berat dan ringan.

“Kota Makassar telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat progresif dari berbagai sektor, geliat kegiatan ekonomi sangat terasa. Posisi strategis dengan potensi nilai budaya, daya tarik wisata, serta dukungan infrastruktur yang memadai. Tak kalah heboh, agama yang heterogen juga melahirkan pribadi-pribadi yang eksklusif dan radikalis,” ujar Ishak.

Lima Faktor

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Aksi teroris di depan Katedral Makassar telah melunturkan semboyan Kota Makassar sebagai kota damai. Ishak menambahkan, sejak aksi teroris di Makassar, brand Makassar sebagai kota bijaksana bagi mahasiswa juga ikut ternoda. Sebab terduga pelaku bom bunuh diri di Katedral Makassar adalah generasi milenial kelahiran 1995. Bukan saja itu, setelah aksi itu sedikitnya 16 orang terduga teroris yang diamankan dan diketahui membantu aksi bom bunuh diri di depan gerbang Katedral.

“Artinya bangku perkuliahan tidak menjamin seseorang untuk berpikir jernih. Paling penting saat ini adalah pendidikan iman yang positif dengan terbuka mengenal dan menerima sesama sesama saudara dan ciptaan Tuhan,” ujar Ishak dalam.

Jika ditilik ke belakang, teror di Makassar adalah satu dari sekian aksi yang menyasar gereja-gereja Katolik di Indonesia. Tahun 2016, pernah terjadi pencobaan bom bunuh diri di gereja Stasi St. Yosep di Jl. Dr. Mansur Medan, Sumatera Utara. Pelaku, 18 tahun memaksa diri maju ke mimbar di mana Pastor Albert Pandiangan, OFMCap hendak berkhotbah. Pada ransel pelaku ditemukan bom rakitan yang belum meledak. Meski tidak ada korban jiwa, tetapi peristiwa ini meninggalkan trauma membekas bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Medan.

Peristiwa paling menggemparkan dan meninggalkan trauma mendalam bagi Gereja Indonesia adalah bom bunuh diri di Gereja St. Anna, Duren Sawit, Jakarta Timur. Pada Minggu 22 Juli 2001, ledakan sangat keras terjadi dengan asap hitam menyelimuti seluruh isi gereja di Jl. Laut Arafuru Blok A7/7, Jakarta Timur itu. Bom itu meledak saat Misa yang dipimpin Pastor Suryo Suryaatmaja, SJ dan dihadiri sekitar 900 umat. Akibatnya, lima orang dilaporkan tewas, puluhan lainnya luka-luka, bahkan ada yang cacat permanen (kehilangan kaki) sampai sekarang. Rata-rata korban terkena pecahan kaca dan benda keras. Dalang kejadian 20 tahun silam itu adalah Zainal Abidin Sangadji yang kemudian dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Irjen Pol. Marthinus Hukom selaku Kepala Datasemen Khusus 88 (Antiteror Polri) menjelaskan sepanjang tahun 2020, Densus telah menangkap 228 tersangka kasus terorisme. Paling menonjol dan menjadi sorotan adalah 23 teroris dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Di antara mereka, ada beberapa teroris pelaku ataupun berencana melakukan aksi pemboman di gereja-gereja.

Kelahiran Ambon, 30 Januari 1969 ini mengungkapkan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya terorisme adalah adanya penganut paham eksklusivisme agama. Akibatnya, muncul penolakan dan rasa kebencian terhadap yang lain yang berbeda dengannya.

Mantan Direktur Penegakan Hukum Kedeputian 2 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ini mengutip tulisan Charles Kimball, seorang pendeta Methodis dalam buku When Religion Becomes Evil mengatakan, ada lima tahap sebuah agama berpotensi radikal. Pertama, ketika penganut paham eksklusif di atas mengklaim kebenaran absolut membuat interpretasi yang bisa saja menyimpang soal kitab sucinya. Kedua, kepatuhan buta pada tokoh tertentu tanpa melalui nalar sehat. Ketiga, ada tujuan untuk membangun era ideal atau sebuah kondisi yang penuh kemakmuran. Ketika tujuan itu tidak terpenuhi, maka muncul radikalisme. Keempat, menghalalkan segala cara demi tujuan yang dimaksud. Kelima, mendeklarasikan atau mengobarkan “perang suci” untuk menggolkan tujuan tertentu itu.

Jenderal bintang dua ini menambahkan lima tahapan ini tak bisa dipungkiri juga berkembang di Indonesia. Dalam beragama, mereka memiliki pandangan hidupnya sendiri yang berbeda dengan arus utama yang sebetulnya jauh lebih besar jumlahnya. Tak jarang, mereka melihat gejala sosial yang terjadi sesuai dengan cara pandangnya, dan jika tak sesuai, timbul perlawanan dari mereka. Bentuk riil dari kelompok ini, salah satunya adalah aksi terorisme.

Mengapa Gereja?

Secara terpisah, Sidney Jones selaku pengamat terorisme di Asia Tenggara saat dihubungi menjelaskan, pola-pola kelompok teroris saat ini mengalami perubahan. Dahulu kelompok ini melibatkan anak atau istri mereka. Kini, kata Jones, kelompok ini melibatkan kaum perempuan dan generasi milenial.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus
Sidney Jones

Penasehat senior Interntional Crisis Group ini menambahkan, kaum muda rentan untuk disusupi ideologi radikalisme. Hal ini terkait usia muda dan usaha mencari jati diri lalu bertemu dengan doktrin-doktrin radikal yang dianggap dapat menyalurkan keinginan generasi muda. Sementara perempuan, akhir-akhir ini dinilai lebih militan daripada laki-laki. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan, kaum perempuan yang menjadi otak aksi teror.

Menurutnya, sejak Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) muncul, banyak anak muda tertarik bergabung. Bukan Indonesia saja, di banyak negara lain, termasuk negara-negara Barat. Bergabungnya kaum muda ini karena berbagai alasan. “Kalau satu tertarik, sudah tentu ada anggota keluarga, teman, kerabat yang ikut tertarik. Itu tren yang terjadi khusus pada kaum milenial dan perempuan,” ungkapnya.

Persoalannya mengapa rumah ibadah, semisal gereja, menjadi sasaran? Menurut analisa Jones, ada beberapa faktor. Pertama, kencenderungan gereja terjadi sejak konflik agama di Ambon dan Poso di masa lalu. Dari konflik yang memakan korban di kedua belah pihak dalam konflik horizontal tersebut, kelompok teroris memandang gereja sebagai media balas dendam. Kedua, ada banyak kasus di mana ada usaha mengebom gereja, pelaku melihat gereja sebagai tempat Kristenisasi melawan agama yang dianutnya. Ketiga, eksistensi kelompok radikal ISIS, dan akibatnya gereja menjadi sasaran.

Mecermati fenomena ini, makin urgen untuk tidak hanya memikirkan sistem pengamanan gereja-gereja, tetapi juga bagaimana menangkal paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme kini dan di masa depan. Agar tak terulang lagi, peristiwa serupa peledakan bom bunuh diri di halaman (di dalam) gereja seperti di masa lalu.

Yusti H. Wuarmanuk

(HIDUP, NO. 16, Tahun ke-75, 18 April 2021)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles