HIDUPKATOLIK.COM – PASTOR Juan Alonso Fernandez, MSC ditembak tiga kali di kepalanya. Nyawanya direbut oleh kekejaman rezim militer yang pada masa itu menguasi Amerika Tengah. Ia menyusul dua rekan imam MSC yang sebelumnya mati dengan keji di tangan para serdadu. Duka yang sangat mendalam namun sosoknya tetap dikenang bagi beberapa orang yang mengenalnya.
Sosok Pastor Alonso telah terukir di ingatan Uskup Emeritus Manado, Josephus Theodorus Suwatan, MSC hingga saat ini. Ia mengenalnya ketika di Manila, Filipina. Mereka berangkat bersama-sama dengan pesawat ke Jakarta pada bulan Juni 1963.
Dari Jakarta, Mgr. Suwatan melajutkan perjalanan ke Manado, tepatnya ke Seminari Pineleng untuk melanjutkan pendidikan sebagai calon imam setelah menyelesaikan masa novisiat MSC di Carcar, Cebu yang diikuti dengan tahun pertama filsafat di Angeles City, Filipina.
Melemahkan Sapi
Pastor Juan Alonso ditugaskan di Paroki Kokoleh, Likupang Selatan, Sulawesi Utara, Keuskupan Manado. “Kami, para frater suka mendengar cerita tentang karya pastoralnya. Ternyata tidak terbatas di wilayah Paroki Kokoleh saja. Ia suka berkunjung ke mana-mana dengan sepeda motor besarnya. Ia adalah seorang explorer. Ia berjenggot dan selalu mengenakan jubahnya ke mana pun ia pergi,” jelas Mgr. Suwatan.
Banyak kisah yang menarik tentang Pastor Alonso ini. Berdasarkan buku “Memberi Diri Seutuhnya”, Mgr. Suwatan mengungkapkan dua kisah. Kisah pertama sangat menggambarkan daya fisiknya. Pada suatu hari Pastor Alonso berkunjung ke suatu desa di dekat bandara. “Kemungkinan besar Desa Talawaan, Minahasa Utara,” tambah Mgr. Suwatan. Ketika itu ia menginap di rumah ketua stasi dan karena letih, ia pun istirahat di siang hari.
Tiba-tiba ia merasa terganggu dengan suara gaduh dari sapi-sapi milik tetangga. Kebetulan sapi-sapi itu bukan milik umat Katolik. Ia pun turun dari rumah dan meminta kepada pemilik sapi-sapi itu untuk memindahkannya. Namun, si pemilik sapi-sapi itu tidak menghiraukan permintaan tersebut.
Akhirnya Pastor Alonso mendatangi salah seekor sapi kemudian memegang tanduknya dan memutarnya, Sapi tersebut jatuh ke tanah. Terkejut. Si pemilik sapi itu langsung memindahkan sapi-sapinya menjauh dari rumah ketua stasi tersebut.
Kisah kedua menggambarkan sifat penjelajahnya. Sifat ini membawa dirinya sampai ke desa-desa terpencil yang bahkan belum pernah dilewati oleh kendaraan. Suatu hari ia beranjak ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Kombi menggunakan sepeda motornya. Namun ternyata, ia harus melewati beberapa sungai kecil. Maka, ia mengangkat sepeda motornya yang besar itu lalu melintasi sungai dan melajutkan perjalanannya. Menurut Mgr. Suwatan, warga di desa kerap lari atau bahkan bersembunyi ketika Pastor Alonso datang. Warga merasa asing dengan motor besar, sosok berjubah putih serta berjenggot.
Jiwa Penjelajah
Pator Alonso adalah sang misionaris yang pantang mundur. Dilandasi dengan jiwa penjelajahnya, ia memasuki kampung-kampung yang sulit, sejauh ratusan kilometer ditempuhnya dengan berjalan kaki atau menggunakan motor bahjan berkuda.
Bagi Mgr. Suwatan, jiwa penjelajah Pastor Alonso itu menjadi jiwa misioner dalam melayani umat di mana pun ia ditugaskan. Ia mengahbiskan dua tahun untuk berkarya di tanah Minahasa. Kemudian sebagian besar karya pastoralnya di El Quiche, Guetamala, Amerika Tengah hingga tutup usia.
Pada tahun sekitar 60an, Amerika Tengah diliputi oleh rezim militer. Rezim yang menguasai semuanya dan yang mengritisi cara militer menjalankan sistem pemerintahan adalah Gereja. Ketika itu, Gereja tidak bisa berkomproni dengan pemerintahan karena berlaku tidak adil menindas masyarakat, situasi masih masih miskin tapi rezim malah mengambil semua keuntungan itu. Pada masa itu, banyak terjadi pembunuhan orang Katolik. Imam, katekis, dan orang-orang yang berusara kritis terhadap pemerintahan, dibungkam dengan senjata api.
“Pastor Alonso sungguh sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya karena komitmennya. Ia tidak takut akan medan, kesulitan seberat apapun ia jalani. Bahkan ketika menghantar dan ikut memikul peti jenasah kedua rekannya, ia bertanya, Berikut, giliran siapa?. Akhirnya ia dibunuh oleh rezim militer karena komitmennya untuk tetap mewartakan Kristus. Ia selalu berpihak kepada orang miskin,” terang Mgr. Suwatan.
Mendengar berita mengenai pengakuan dari Gereja akan kemartiran para imam MSC di Guetamala khususnya Pastor Alonso, terbesit niat Mgr. Suwatan menghadiri secara langsung. Namun, ia urungkan niat itu karena situasi pandemi yang membuat tidak memungkinkan untuk berpergian.
“Sebagai Uskup Emeritus Manado, saya bersyukur atas kesaksian hidup dan pelayanan tanpa pamrih dari Pastor Alonso, walaupun hanya dalam waktu singkat di wilayah ini. Beato Juan Alonso, doakanlah perkembangan Gereja di keuskupan Manado. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari karya misi kami di sini. Terima kasih atas komitmen dan semangat misioner, pengorbanan dan pemberian diri sehabis-habisnya, yang diteladankan kepada seluruh Gereja, khususnya kepada Keuskupan Manado,” tutup Mgr. Suwatan.
Mempertahankan Injil
Pada 21 Februari 1981 Uskup Agung Oviedo, Mgr. Gabino Díaz Merchán angkat bicara atas kematian Pastor Alonso. Keuskupan Agung Oviedo merupakan keuskupan asal Pastor Alonso. “Kita semua telah dikejutkan dengan kematian Juan Alonso, kita bersimpati dengan keluarganya, para sahabat dalam kesedihan mereka. Umat El Quiché menjadi yatim piatu karena kehilangan imam mereka,” ungkap Mgr. Gabino yang dikutip dari buku “Memberi Diri Seutuhnya”.
Ketua Konferensi Waligereja Spanyol ini menanggapi kematian Alonso merupakan salah satu dari banyak kematian imam, orang Kristiani, katekis dan semua korban yang teraniaya. Namun sebagai orang Kristiani, penyesalan tidaklah cukup. “Kita menginginkan keadilan dan perdamaian di Guetamala. Darah para martir akan menjadi benih rekonsiliasi di Guetamala,” tambahnya.
Menurutnya, kematian Pastor Alonso dapat diinterpretasikan dalam banyak cara. Mgr. Gabino menekankan dalam khotbahnya, hendaknya umat yang percaya tidak mencari interprestasi lain daripada seperti dalam Injil: kematiannya berarti pengorbanan seorang Kristiani yang telah memberikan segala sesuatu bagi Kristus. Ada satu hal yang dapat diyakini mengenai sosok Pastor Alonso: Ia meninggal ketika membantu orang-orang kecil dan misikin melalui pelayanan sucinya.
Sekali lagi, Pastor Alonso sangat paham akan risiko dalam karyanya sebagai seorang imam di tengah situasi yang menantang. Ia adalah seorang saksi cinta Allah dengan kata-kata dan perbuatan. “Ia meninggal untuk mempertahankan Injil dan demi cintanya akan orang-orang yang membutuhkan,” pungkas Mgr. Gabino.
Karina Chrisyantia
(HIDUP, Edisi No.15, Tahun ke-75, Minggu, 11 April 2021)