HIDUPKATOLIK.COM – Diskusi tentang akhir cerita dari film Avanger Endgame menarik perhatian saya, saat anak saya mengatakan, “Cara marvel mengakhiri karakter Tony Stark sangat epik. Sebagai simbol sebuah kepribadian yang berkembang dan mengalami transformasi”. Saya bukan fans film superhero jadi kurang paham tentang tokoh-tokohnya, namun tampaknya bagi fans superhero yang mengikuti ke-7 film sekuel tentang ironman, mereka memiliki suatu ikatan emosional dan kesan tersendiri terhadap karakter dari tokoh ini.
Karakter Tony Stark yang dibangun oleh Robert Downey Jr selama 1 dekade, tampaknya mengurasi emosi fansnya saat tokoh ini mengakhiri kisah hidupnya dengan mengorbankan diri untuk keselamatan sesama. Perubahan karakter Tony dari sosok egosentris menjadi sosok superhero yang perduli dengan orang lain, membuat fans hanyut. Sebagian fans bisa saja terinspirasi dan malah bertanya2-tanya, apa sesungguhnya yang membuat Tony bisa mengalami transformasi dalam hidupnya. Tentu saja dalam hal ini karena sutradara yang mengatur akhir cerita Endgame, namun bisakah hal ini juga terjadi dalam kehidupan nyata?
Diskusi film diakhiri dengan pernyataan, “Mungkin dunia akan lebih baik jika setiap manusia yang ada di bumi ini mengalami proses transformasi seperti Tony”….. dan kami semua terdiam dengan pikiran kami masing-masing.
Duc in Altum
“Duc in altum” adalah perintah Yesus kepada Simon Petrus dalam Injil Lukas, saat Petrus gagal menangkap ikan pada hari itu. Yesus meminta Petrus untuk bertolak lebih dalam dan menebarkan jala. Petrus meskipun sempat komplein karena hal yang diperintahkan Yesus, si tukang kayu adalah di luar nalar pemikiran rasionalnya sebagai seorang nelayan berpengalaman. Namun Petrus tetap mau melakukan apa yang diminta oleh Yesus.
Seruan Duc in Altum bagi saya adalah sebuah perintah untuk melakukan sesuatu agar terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Kemauan Petrus lah yang akhirnya membuat semua nelayan takjub karena banyaknya ikan yang berhasil ditangkap. Kisah ini diawali dengan kegagalan Petrus dan diakhiri dengan transformasi dirinya dari penjala ikan menjadi penjala manusia.
Dalam sebuah kajian teologi spiritual St. Montfort, santo yang mendevosikan diri pada spiritualitas Maria, dikatakan bahwa moment transformative terjadi saat manusia mengosongkan dirinya, dan melakukan penyangkalan diri yang paling radikal.
Tuhan tidak meminta Petrus karena kehebatan dan kompetensinya, tetapi karena Petrus mau taat mengikuti perintah-Nya. Petrus mau menyangkal nalar rasionalnya dalam profesi dia sebagai nelayan dan mengosongkan dirinya dari “ilmu kenelayanan” yang dikuasainya. Penyangkalan diri dan pengosongan diri Petrus inilah yang membuat dia mau taat mengikuti arahan Yesus yang bukan nelayan.
Tampaknya Tuhan tidak mencari org yang kompeten dan cerdik pandai di sini, tetapi orang sederhana dari kalangan nelayan, yang punya hati untuk percaya dan bersedia. Orang yang kompeten lebih dari Petrus mungkin banyak di zamannya, tetapi yang mau melakukan apa yang dilakukan Petrus kemungkinan besar bisa dihitung pakai jari.
Petrus yang awalnya komplen karena merasa diri lebih tahu dan ahli dalam bidang nelayan daripada Yesus si Tukang kayu. Namun kemudian dia tersungkur di depan Yesus, merasa diri tidak layak dan melepaskan segala kesombongannya. Penyangkalan diri dan pengosongan diri Petrus diikuti pertobatan. Dia bersedia melepaskan segala atribut kenelayanan yang melekat dalam dirinya dan menanggapi panggilan untuk ikut Yesus. Petrus yang dulunya seorang penjala ikan, sekarang menjadi Petrus seorang penjala manusia. Petrus yang sekarang berbeda dengan Petrus yang dulu.
Sebuah slogan “Aku yang dulu bukanlah yang sekarang”, digunakan oleh sebuah komunitas penulis memoar untuk mengajak para penulisnya berpartisipasi dalam buku memoar bertajuk “transformasi diri”. Banyaknya penulis memoar yang berpartisipasi menunjukan bahwa transformasi dapat terjadi pada setiap orang dalam kehidupan nyata. Bukan karena arahan sutradara seperti transformasi Tony Stark atau pun cerita dongeng sekolah minggu tentang mukzijat yang terjadi di aman dahulu kala seperti kisah transformasi Petrus. Namun kisah nyata transformasi dari penulis memoar yang terjadi sekarang ini dan di zaman ini.
Jika setiap orang mau dan bersedia melakukan perubahan, kemungkinan besar harapan akhir dari diskusi film Endgame dapat terwujud yaitu menjadikan dunia lebih baik. Rasanya memang sulit jika kita memikirkan perubahan yang radikal, instan dan berdampak luas. Tetapi sebuah quotes dari Lau Tzu “Journey of a thousand miles, begins with a single step” mungkin bisa menginspirasi kita semua. Mulailah dengan sebuah langkah kecil, mungkin dampaknya tidak sebesar yang dilakukan Tony Stark. Atau pun hasilnya tidak membuat semua orang takjub seperti yang dialami Petrus. Namun paling tidak, kita berani dan mau melakukan satu langkah kecil perubahan daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Sekecil apapun langkah kita menuju perubahan yang lebih baik, dalam hal apapun, mulailah dari diri sendiri.
“Better to do something imperfectly than to do nothing perfectly” (Robert H. Schuller).
M. Fellicia Fenny S, Kontributor