web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Dua Mukzijat dari Balik Bencana di Lembata

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – VIDEO  BERDURASI kurang dari satu menit tentang mukjizat altar dan tabernakel yang tidak rusak di Gereja Stella Maris Lewotolok, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah beredar luas di media sosial. Video itu pun jadi buah bibir (tentang peristiwa iman ini, lihat misalnya: https://www.youtube.com/watch?v=OUUMB6mFJwM; https://www.youtube.com/watch?v=V4YhulvG0Jg; https://www.youtube.com/watch?v=0qjs2F6VJZs; https://www.youtube.com/watch?v=ranqDxWDMS8, https://www.youtube.com/watch?v=OUUMB6mFJwM).

Betapa tidak. Sebagaimana dikisahkan Bernadus Kewuel, seorang warga desa Lewotolok yang rumahnya tidak jauh dari gereja dan yang selamat dalam musibah itu, hujan turun sangat lebat sekitar pukul 1.30 pagi waktu Indonesia tengah. Itu adalah hari minggu Paskah, 4 April 2021, hanya beberapa jam setelah perayaan malam Paskah di gereja mereka. Di malam Paskah itu, Romo Sinyo da Gomes, Deken Lembata baru saja selesai bercengkerama dengan beberapa umat seusai misa malam Paskah. Bernadus belum lama meninggalkan gereja dan balik ke rumah sebelum banjir bandang itu menerjang dari arah Gunung Ile Lewotolok (https://regional.kompas.com/read/2021/04/09/193211978/cerita-bernadus-selamat-dari-banjir-di-lembata-saya-lihat-banjir-besar)

Suara lirih dan tangisan seseorang dari video tersebut mengekspresikan perasaan takjub. Betapa Gereja Stella Maris Lewotolok yang dalam kalkulasi manusia seharusnya hanyut dan hancur, ternyata masih berdiri kokoh. Hanya bagian belakang gereja itu yang terkubur lumpur. Menyimak video dan foto, perhatian kita pun tertuju pada altar, tabernakel dan patung Yesus di Salib yang tampak utuh.

Bagian belakang gereja Stella Maris Lewotolok, Lembata yang terendam lumpur sedang diperbaiki. Tampak altar, tabernakel dan patung Yesus di Salib yang masih utuh. Sumber: https://regional.kompas.com/read/2021/04/09/193211978/cerita-bernadus-selamat-dari-banjir-di-lembata-saya-lihat-banjir-besar

Mungkin teman-teman sulit membayangkan peristiwa menakjubkan kita. Sebagai orang yang berasal dari desa yang tidak jauh dari tempat kejadian, saya bisa memberikan gambaran di sini. Gereja Stella Maris Lewotolok terletak persis di pinggir kali, tidak jauh dari bibir pantai. Jika kita perhatikan rumah-rumah di sekitarnya yang hancur dan rata dengan tanah dan gereja Stella Maris masih kokoh berdiri, sulit rasanya untuk tidak menghubungkannya dengan mukjizat dan tanda-tanda kebesaran Tuhan.

Alkitab yang Masih Utuh

Mukjizat Tuhan dari balik bencana tampak tidak berhenti di Lewotolok. Mari kita bergeser ke arah timur, ke desa Waimatan yang teletak 5,8 kilometer dari gereja Stella Maris Lewotolok. Ada sebuah keajaiban yang terjadi di sana.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Adalah Yogi Making, salah seorang relawan mengisahkan kejadian ini di akun facebook-nya (https://www.facebook.com/Eliasmaking). Kamis, 8 April 2021, Yogi dan teman-teman relawan menyusuri desa Waimatan. Mereka bekerja keras menemukan puluhan mayat yang masih tertimbun lumpur dan batu-batu besar. Desa Waimatan yang terletak persis di lereng gunung itu nyaris terkubur seluruhnya oleh lumpur dan batu-batuan yang runtuh dari lereng gurung.

Desa Waimatan yang tampak hancur diterjang lumpur dan batu-batuan.

Demikianlah, di tanggal 8 April itu, mata Yogi tertuju pada sebuah buku yang nyaris hancur. Buku itu tergeletak di atas sebuah batu. Penasaran, Yogi pun mendekat. Dan ternyata …. Yogi menghela nafas. Sebuah Alkitab tampak tergeletak di atas batu itu. Alkitab yang nyaris hancur itu ditemukan dalam keadaan terbuka. Dan lebih menajubkan lagi, bagian Alkitab yang terbuka itu menunjuk ke Kitab Ayub.

Alkitab yang selamat dari amukan banjir bandang dan reruntuhan batu di desa Waimatan, Lembata. Foto: Yogi Making/https://www.facebook.com/Eliasmaking

Keesokan harinya, Yogi mendeskripsikan pengalaman ini di laman facebook, katanya, “Sebuah Alkitab saya temukan terletak di atas batu di lokasi terdampak bencana [di] desa Waimatan, Kamis, 8/4/2021, kondisinya kotor, penuh lumpur, tetapi dalam posisi terbuka, persis pada Kitab Ayub yang menulis tentang ‘kesalehan Ayub dicobai’”. Yogi melanjutkan, “Seluruh harta Ayub dijarah dan dibakar, juga anak-anak Ayub habis tersapu badai. Dan Ayub dalam cobaan itu berkata, ‘Tuhan yang memberi Tuhanlah yang mengambil, terpujilah nama Tuhan.’”

Tafsiran Sederhana

Kalau kita perhatikan Kitab Ayub yang terbuka itu, tampak sebagian besar bab 1 dan dan sebagian besar bab 7. Itu artinya bab 2–6 dapat dipastikan sudah sobek dan rusak oleh bajir. Bab 1 dan bab 2 Kitab Ayub berbicara mengenai kesalehan Ayub dicobai, bab 3 tentang keluh kesah Ayub, bab 4–31 tentang percakapan Ayub dengan sahabat-sahabatnya. Khusus tentang bab 7 yang tampak pada foto, di situ dikisahkan bahwa “hidup itu berat”.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Apa arti semuanya ini? Saya mencoba menafsirkannya dari kacamata seorang beriman Katolik. Saya mengajukan 3 tafsiran berikut.

Pertama, Alkitab yang tidak hancur tetapi kotor dan berlumpur itu menggambarkan kehidupan kita sebagai umat Allah. Orang Waimatan yang seratus persen Katolik itu baru selesai merayakan malam Paskah. Sebagai manusia, mereka dan kita semua adalah makhluk berdosa. Kita kotor dan penuh lumpur (bdk lagu “Hanya Debulah Aku”, PS 481), tapi kita tidak akan hancur dan binasa. Banjir dan bencana adalah waktu Tuhan untuk menyucikan dan membersihkan kita. Barangkali seperti yang dikatakan Yesus kepada Petrus yang menolak kakinya dibasuh di malam perjamuan terakhir, “Tidak semua kamu bersih” (Yoh. 13:11).

Kedua, bab 1 Kitab Ayub tentang kesalehan Ayub dicobai sebagaimana tampak di foto itu hendak mengatakan apa? Emosi dan pikiran saya dibawa kepada saudara-saudara saya di desa Waimatan yang menjadi korban dan keluarga-keluarga mereka yang masih hidup. Banyak dari para korban itu adalah para suami, istri dan anak-anak, beberapa anak-anak kecil nan lugu, anak-anak remaja, kakek dan nenek, juga pasangan muda suami istri. Seperti yang juga dilakukan Ayub, keluarga yang ditinggalkan pasti mengajukan gugatan dan protes kepada Allah: mengapa saya, mengapa keluarga saya, mengapa anak-anak saya, mengapa suami/istri saya, mengapa orang tua saya, mengapa kampung kami, dan seterusnya.

Pertanyaan dan gugatan ini akan terus diajukan selama hidup. Akan menjadi pengalaman yang sangat pahit dan lirih jika tragedi ini dijadikan oleh orang/pihak tertentu untuk memperolok dan mempermalukan mereka yang terkena musibah.

Dalam situasi demikian, Kitab Ayub bab 1 yang terbuka itu mengingatkan kita untuk tidak berhenti pada level meratapi penderitaan atau pun menjauhkan diri dari Allah. Kita tampaknya diajak untuk terus membaca baris demi baris dari kitab Ayub itu untuk menemukan kebesaran hati Ayub: mengeluhkan tindakan Allah kepada orang benar (Ayub bab 16) adalah bagian dari dinamika iman, tetapi keyakinan bahwa Allah akan tetap berpihak (Ayub bab 19), bahwa Allah sebenarnya tidak acuh tak acuh melainkan peduli dan hadir (Ayub bab 24), bahwa kebesaran Allah tidak akan pernah terselami secara tuntas (Ayub bab 26), bahwa tujuan sengsara adalah pertobatan (Ayub bab 36), dan bahwa Allah akan memulihkan keadaan kita dan memperbaruinya (Ayub bab 42).

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Ketiga, bab 7 dari Kitab Ayub yang terbuka itu mengafirmasi situasi hidup keseharian kita, baik itu sebelum maupun sesudah bencana alam. Bahwa hidup itu memang berat, bahwa hidup itu penuh cobaan. “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?” (Ayub 7:1) Orang-orang yang dekat dengan Allah saja mendapat cobaan bertubi-tubi, apalagi kita yang masih jauh dari Allah dan masih membanggakan kedosaan kita.

Hidup pasca bencana tidak akan pernah menjadi lebih ringan. Cobaan akan datang silih berganti. Cobaan Kesetiaan kita pada Allah pun akan selalu dipertaruhkan. Di situ kita mesti mengingat peristiwa Alkitab yang ditemukan nyaris hancur di atas batu di Desa Waimatan itu. Kita adalah insan yang kotor dan berdebu. Hidup kita akan terombang-ambing di tengah arus banjir dan percobaan, tetapi berita gembiranya adalah kepastian bahwa kita tidak akan pernah dihancurkan dan dibinasakan. Allah akan tetap menatang kita. Dia akan menolong dan memulihkan hamba-hamba-Nya, supaya kita tidak terus dipermalukan para penghina Tuhan (Bdk 1Kor. 10:13).

Tuhan, terima kasih atas seluruh peristiwa alam ini. Jadikan kami umat yang senantiasa dekat, memuji dan memuliakan Dikau, kini dan sepanjang masa (Bdk Mmz. 62: 2-3). Amin

Yeremias Jena, Katekis/Dosen Unika Atma Jaya, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles