HIDUPKATOLIK.COM – Kedatangan beberapa misionaris pertama Congregatio Missionis (CM) dan Ordo Karmel yang bersama-sama naik kapal Johan de Wit dari Genoa, 6 Juni 1923, adalah fakta historis. Kapal ini berlabuh di Batavia. Misionaris CM dan Ordo Karmel menjejakkan kaki di tanah misi. Mereka diutus menabur benih iman dan mengusahakan panggilan orang-orang pribumi. Kelak, jejak kecil ini meluas menembusi tak hanya batas-batas tarekat mereka masing-masing tapi juga batas-batas geografis.
KONSILI Vatikan II (KV II) memberikan dampak sangat besar bagi Gereja Katolik di seluruh dunia. Konsili bertujuan membarui Gereja universal secara spiritual dengan kembali ke sumber-sumber Tradisi Suci baik yang tertulis, yakni Kitab Suci, maupun yang lisan seperti dari para Bapa Gereja dan Orang-orang Kudus. Dengan ini diharapkan Gereja dapat memperoleh kesegaran baru sehingga mampu menjawab tantangan zaman, dan iman Katolik dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (aggiornamento). Pengaruh KV II merasuki sendi-sendi terpenting kehidupan Gereja universal, termasuk pendidikan para calon imam.
Optatam Totius (OT) adalah “Dekret tentang Pembinaan Imam”. Sebagaimana dokumen KV II lainnya, isi Optatam Totius ini juga kental dengan pembaruan. Artikel 7 menegaskan perlunya penyatuan seminari-seminari tinggi. Menanggapi hal ini, para formatores (pembina) seminari tinggi, dosen, pemimpin tarekat, uskup di seluruh Indonesia terpanggil untuk segera membarui pembinaan calon imam. Mereka menyadari bahwa pendidikan seminari secara eksklusif atau sendiri-sendiri tidak lagi sesuai dengan panggilan dan perutusan Gereja di tengah-tengah dunia yang terus berubah. Mereka pun mengadakan pertemuan -pertemuan.
Seminari Tinggi Bersama
Pendidikan para calon imam di Indonesia sebelum KV II, pada umumnya dijalankan secara “kurang efisien”. Data dari Notulensi Rapat tanggal 1 Oktober 1966 di Batu yang dihadiri 18 orang, mewakili 10 seminari tinggi dan tiga skolastikat di Yogyakarta (MSF, OFM, SCJ), mencatat bahwa pada Tahun Ajaran 1966-1967 ada 10 seminari tinggi di seluruh Indonesia. Seminari ini tersebar di Bandung, Yogyakarta, Kediri, Batu, Ledalero, Menado, Pematangsiantar, Sukarnopuro, dan Cicurug. Secara keseluruhan 10 seminari ini mempunyai 66 orang dosen dan 373 mahasiswa. Di seminari tinggi Ordo Karmel Batu ada empat dosen dengan 12 mahasiswa. Dan di seminari tinggi CM Kediri ada enam dosen dan 14 mahasiswa.
Dalam rapat tanggal 29 September – 1 Oktober 1966 tersebut kesadaran untuk saling bekerja sama dan bersatu tampak demikian jelas. Sudah saatnya seminari tinggi yang sendiri-sendiri di wilayah masing-masing ditinggalkan dan dibarui. Kini saatnya seminari tinggi memiliki pendidikan teologis filosofis bersama yang mampu menjawab tantangan zaman sebagaimana diamanatkan Optatam Totius. Tarekat religius dan keuskupan harus mulai bekerja sama, berkolaborasi mengelola pendidikan para calon imamnya.
Para dosen seminari tinggi CM di Kediri dan OCarm di Batu serta pemimpin kedua tarekatnya kian mempererat kolaborasi mereka dalam persaudaraan dan persahabatan. Dimulailah perundingan-perundingan awal untuk menyepakati penyatuan Seminari Tinggi Regina Apostolorum milik Ordo Karmel di Batu dengan Seminari Tinggi Santo Yosef milik CM di Kediri. Untuk menyatupadukan pandangan mendirikan seminari tinggi bersama, CM dan Ocarm berkali-kali melakukan pertemuan.
Menurut salah satu perintis, Romo J. Haryanto, CM, Kota Malang dipilih sebagai lokasi seminari tinggi bersama karena tiga alasan. Pertama, Mgr. Albers O.Carm (Uskup Malang) mendukung sepenuhnya. Kedua, agar CM dan Ordo Karmel bisa sama-sama memulai rumah pembinaan yang baru. Ketiga, Ordo Karmel menyediakan diri sebagai tempat pertama, yakni di Jalan Talang, yang mempunyai beberapa ruang untuk kelas.
Panitia persiapan terkait dengan berbagai kepentingan pendiriannya, dibentuk dengan Ketua Romo Kirdi Dipojudo, OCarm dan Sekretaris Romo J. Haryanto, CM. Karena Romo Kirdi mundur dari imamat, Romo Haryanto yang mengeksekusi persiapannya. Para dosen dari kedua seminari tinggi terlibat langsung dalam perundingan-perundingan awal. Sebenarnya Societas Verbi Domini (SVD) Regio Bali-Lombok sempat ikut rapat beberapa kali. Namun, melalui surat resmi tertanggal 12 Juli 1969, SVD mengundurkan diri.
Akhirnya, setelah melewati serangkaian perundingan dan kendala-kendala, pada tanggal 1 Maret 1971, pendirian Seminari Tinggi Bersama dengan nama “Institut Filsafat dan Theologia” (IFT) disahkan oleh Provinsial Ordo Karmel, Romo F.X. Hadisumarto, OCarm dan Provinsial Kongregasi Misi, Romo C. Reksosubroto, CM. IFT menjadi ujud nyata dari komitmen bersama merespons Optatam Totius sekaligus bukti kuatnya kolaborasi dan persaudaraan antara Ordo Karmel dan Kongregasi Misi. 50 tahun kemudian, kesepakatan pendirian IFT ini direfleksikan sebagai kesepakatan membangun “kapal baru” seminari tinggi. Pada tahun 1972 nama “Institut Filsafat dan Theologia” berganti menjadi “Sekolah Tinggi Filsafat Teologi” (STFT). Dan pada tahun 1973 nama STFT dilengkapi “Widya Sasana” yang artinya “Istana Pengetahuan”.
Kapal Berlayar
Langkah-langkah awali STFT Widya Sasana (STFT WS) berada dalam masa perjuangan yang sulit. Sarana prasarana, sumber daya manusia terutama dosen dan jumlah mahasiswa masih di bawah standar. Sampai lima tahun pertama, jumlah mahasiswa tercatat hanya 34 orang. Di fase awali ini perjuangan para perintis sungguh luar biasa. Rektor pertama (Romo Haryanto) berjuang keras bersama para dosen seperti Romo Hendropuspito, OCarm, dan Sumadi (sopir biara Karmel Batu), Evi ALMA (sekretaris pertama) untuk mengurusi segalanya.
Dalam keterbatasan, kapal sederhana STFT Widya Sasana berlayar menerjang ombak dan angin tantangan awal pendiriannya di Jalan Talang. Dalam berlayar, Kongregasi Misi dan Ordo Karmel didukung penuh Keuskupan dan beberapa biarawan-biarawati. Sekitar sepuluh tahun kemudian, tarekat Societas Verbi Domini (SVD) bergabung. Pembangunan kampus baru di Jalan Terusan Rajabasa 2 yang lebih luas ketimbang di Jalan Talang, kepindahannya tahun 1983, dan pendirian gedung pascasarjana tahun 2014 merupakan berkah melimpah dari persahabatan lembaga-lembaga partisipan dan para donatur.
Selain CM, OCarm, dan SVD yang menjadi komponen penting “Kapal STFT Widya Sasana”, ada Keuskupan Surabaya dan Bali yang ikut bergabung. Lalu menyusul keuskupan (Pontianak, Banjarmasin, Sintang, Sanggau, Palangkaraya, Samarinda, Tanjung Selor, Ketapang, Sorong-Manokwari, Merauke, Timika, Medan, Ambon, Ruteng, Kupang, Bogor, Sibolga). Bergabung pula CDD, CP, SMM, OSM, MSF, CSE, dan beberapa kongregasi religius biarawan-biarawati seperti BHK, PK, PIJ, SPM, OSA, H.Karm, P.Karm, Suster CP, SSpS, PRR, FSGM, OSU, juga para awam Katolik serta umat beragama lain. Partisipasi mereka amatlah signifikan dalam mengarungi samudra pelayanan pendidikan yang makin menjawabi tantangan zaman.
Tradisi Ilmiah
Tradisi ilmiah yang pertama adalah “Hari Studi”. Hari Studi STFT Widya Sasana sejak 1977 menjadi momen subur yang menumbuhkan persahabatan secara efektif dan nyata di lingkup kampus, di dalam Gereja Keuskupan, dan masyarakat. Tema Hari Studi pertama tahun 1977: “Pastoral Orang Cerai Kawin Lagi”. Setiap tahun Hari Studi terus dijalankan tanpa jeda hingga tahun 2021 ini dengan tema-tema aktual dalam konteks zamannya, seperti: “HAM Telaah Filosofis Teologis” (2001); “Iman dan Pewartaan di Era Multimedia” (2010); “Kamulah Sabahat-Ku” (2020).
Pada awalnya Hari Studi dipersembahkan untuk para imam sebagai bagian dari ongoing formation. Dalam perkembangannya Hari Studi menjadi hari-hari penyegaran Umat Allah yang juga melibatkan para pakar atau praktisi dari luar STFT. Hari Studi adalah salah satu bentuk integrasi riset-studi filsafat teologi. Aktualitas Hari Studi diletakkan pada disermen apa yang menjadi “tanda-tanda zaman” pada waktu itu. Realitas semacam ini hanya mungkin dijalankan karena relasi penuh persahabatan di kampus Widya Sasana. Perjalanan kapal layar STFT WS, tanpa disadari, telah berada di samudra luas peziarahan bangsa Indonesia dan Gereja universal.
Momen ilmiah historis khusus yang lain terjadi pada 13 Desember 1996. Pada 13 Desember 1996, STFT Widya Sasana menyelenggarakan Studium Generale dengan menghadirkan Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), yang saat itu Ketua Pengus Besar Nadlatul Ulama (NU). Studium Generale bersama Gus Dur sekaligus merupakan “benih” bagi upaya-upaya masif pembangunan dialog interreligius sebagai panggilan kepada semua untuk menjadi sahabat satu sama lain. Kehadiran Gus Dur ini dipandang sebagai providentia Dei (penyelenggaraan Ilahi), yang memanggil seluruh Gereja Katolik dan umat beragama lain untuk memikirkan bersama keadaan negara.
Mahasiswa STFT WS memiliki Majalah bernama FORUM yang terbit pertama kali tahun 1978 dan ber-ISSN sejak September 1990. Sejak tahun 1991 buah pemikiran, kreativitas, dan penelitian para dosen STFT WS dihimpun dalam Seri Filsafat Teologi Widya Sasana yang terbit rutin setiap tahun. Tahun 2001 STFT WS menerbitkan Jurnal Studia Philosophica et Theologica yang menjadi wahana baru bagi eksplorasi dan riset filsafat dan teologi. Jurnal ini telah mengalami beberapa akreditasi.
Pembenahan Sistem
Senyatanya pembenahan sistem sudah senantiasa dilaksanakan sejak kapal STFT WS berlayar 50 tahun silam. Pembenahan sistem pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi) ini terakselerasi sejak 1998 ketika STFT WS terakreditas C untuk pertama kalinya.
Pembenahan sistem pendidikan STFT WS dengan berbagai level mutu capaian menghasilkan buah-buahnya. Tahun 2005 program Sarjana Filsafat Agama Kristen memperoleh akreditasi A. Dalam reakreditasi selanjutnya selalu mendapatkan nilai A. Tahun 2006 ada penggelaran Guru Besar kepada Berthold Anton Pareira, OCarm (bidang Kitab Suci Perjanjian Lama) dan Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm (bidang Kitab Suci Perjanjian Baru). Tahun 2008 merupakan tahun dimulainya program Magister Filsafat dengan dua konsentrasi: Filsafat Teologis dan Filsafat Sistematis. Tahun 2009 adalah tahun penggelaran Guru Besar kepada Piet Go Twan An OCarm (bidang Teologi Moral) dan F.X. Eko Armada Riyanto, CM (bidang Filsafat). Tahun 2014 merupakan tahun Akreditasi Program Magister sekaligus pendirian gedung baru pascasarjana. Tahun 2016 adalah tahun pendirian Pusat Studi Dialog yang membidangi riset tentang dialog dan pelayanan kursus misionaris bagi para imam dan biarawan-biarawati sebagai ongoing formation mereka. Tahun 2019 adalah Tahun Reakreditasi Program Magister yang mendapatkan nilai A. Dan tahun 2019 merupakan tahun akreditasi institusi.
Tahun 2019 Program Studi Doktor Teologi mendapatkan izin penyelenggaraannya dari Kementerian Agama Republik Indonesia, seturut UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012. Persahabatan dan kolaborasi dengan Bimbingan Masyarakat Katolik (Bimaas Katolik) Kementerian Agama dengan Direktur Jenderal Eusebius Binsasi dan berganti sementara sebagai Plt. Aloma Sarumaha telah meneguhkan langkah maju pengajuan Program Doktor Teologi. Perjuangan pemenuhan persyaratan pendirian program doktor yang sangat ketat telah dipenuhi berkat kerja sama dan persahabatan dengan STF Driyarkara, Jakarta dan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dimulainya S3 ini merupakan perkembangan baru yang menarik. Program ini adalah satu-satunya bagi institusi pendidikan tinggi Katolik Indonesia. Dengan hadirnya program ini di Indonesia, diharapkan kelak disiplin ilmu teologi lebih bisa “dimiliki” oleh siapa pun termasuk para awam, tak hanya klerus maupun kaum religius.
Perpustakaan STFT WS memiliki 20 ribuan judul buku, belum termasuk puluhan ribu lain yang ada di Perpustakaan CM, Ordo Karmel, dan SVD yang juga menjadi bagian dari STFT WS. Pada Semester Gasal 2020/2021 ini, STFT WS memiliki 469 mahasiswa, terdiri atas 362 mahasiswa S1, 25 mahasiswa Tahun Pastoral, 55 mahasiswa S2, dan 27 mahasiswa S3. Dengan 19 dosen tetap, 13 di antaranya bergelar Doktor dan 2 Profesor, 20 Dosen tidak tetap, serta 24 orang karyawan, kapal STFT Widya Sasana di usia emasnya ini dengan penuh syukur, rendah hati, dan optimis siap melanjutkan pelayaran peziarahannya menerjang gelombang dan angin samudra untuk sampai tujuan yang dikehendaki oleh Allah sendiri.
J.C. Wardjoko (Kontribor, Malang)