HIDUPKATOLIK.COM – KETIKA Vatikan mengeluarkan pengumuman bahwa Paus Fransiskus akan mengadakan kunjungan ke Irak, semua kalangan praktis tersentak. Tidak sedikit lalu mengajukan usulan bahkan permintaan untuk menunda kunjungan tersebut. Dua alasan pokok keberatan atas kunjungan tersebut. Pertama, situasi keamanan yang masi rawan, apalagi ketika dua serangan bom di Baghdad terjadi di bulan Januari desakan akan penundaan itu makin kuat. Alasan kedua, situasi pandemi Covid-19 di Irak yang termasuk yang masih sangat buruk. Bahkan Nuntius Vatikan di Baghdad positif terkena covid beberapa hari sebelum kunjungan berlangsung, sehingga dia tidak bisa menyambut dan menemani Paus selama kunjungan tersebut.
Paus Fransiskus sendiri tidak mengabaikan keberatan tersebut. Dia mengakui, seperti dalam wawancara dalam perjalanan pulang ke Roma, bahwa dia memikirkan serta berdoa sungguh atas kunjungan tersebut. Kunjungan Paus pasti akan mengundang kerumunan, sesuatu yang sangat riskan dalam kondisi pandemi yang belum usai. Akan tetapi dia mengesampingkan segala keberatan tersebut. Matteo Bruni, jurubicara Vatikan mengatakan bahwa alasan kunjungan itu adalah cinta, dan cinta mengatasi segala resiko. Tentu lalu menjadi suatu kekhawatiran tersendiri kalau melihat longgarnya protokol kesehatan selama kunjungan tersebut. Maka kita berharap covid tidak makin menyebar setelah kunjungan tersebut.
Beberapa kalangan mengatakan bahwa situasi Irak tidak akan membaik di beberapa tahun ke depan. Maka sekarang ataupun nanti, tidak akan banyak berubah kondisinya. Fasilitas kesehatan yang buruk dan kondisi keamanan yang sangat tidak pasti diperkirakan tidak akan membaik di beberapa tahun ke depan. Maka sekarang atau nanti, tidak akan sangat berbeda pertimbangannya. Namun Paus lebih melihat dua alasan dasar: memenuhi mimpi Paus Yohanes Paulus II yang tidak jadi berkunjung ke Irak di tahun 2000 dan situasi masyarakat dan umat Kristiani di Irak yang lama menderita akibat perang dan pertikaian tanpa henti serta kini relatif dilupakan masyarakat barat yang dulu berperan besar dalam kehancuran Irak. “Saya adalah Paus bagi mereka yang menderita,” demikian ungkap Fransiskus.
Harapan, tanda iman
Harapan adalah pesan dasar Paus Fransiskus dalam kunjungan ini. Gereja Irak digambarkannya sebagai Gereja para martir. Dia memang lebih suka dengan Gereja yang berani kotor, memar dan terluka karena berada di jalan-jalan kehidupan, daripada menempatkan diri nyaman dan mapan karena bersandar pada rasa aman diri. Umat Katolik di Irak pada tahun 2003 ada sekitar 1,5 juta, dan kini hanya sekitar 300.000. Sebagian besar dari mereka beremigrasi ke luar negeri, atau masih menjadi tertampung di kamp pengungsian di negara sekitar. Tidak sedikit pula menjadi kurban perang serta kekerasan, terlebih akibat penguasaan ISIS. Sebagai misal Gereja yang dikunjunginya pada tanggal 5 Maret Katedral Katolik Siria, Maria Ratu Keselamatan, yang di tahun 2010 dibom saat ada Ekaristi dengan korban 58 meninggal.
Fransiskus menempatkannya dalam gambaran Abraham, bapa kaum beriman, yang berasal dari Ur, yang dikunjunginya pada tanggal 6 Maret 2021. Memandang bintang di langit, yang menyinari kegelapan bumi dan menunjukkan arah harapan yang terbentang di tengah penelusuran akan jalan Tuhan. Hal itulah yang menjadi kekuatan iman umat, yang di tengah segala kecemasan dan ketidakpastian masih terus selalu mampu melihat tangan Allah yang menuntun, sehingga mereka tetap bisa melihat masa depan. Kesaksian di depan Paus dari seorang ibu Doha Sabah Abdalla dari Qaraqosh, yang anaknya menjadi kurban perang, menunjukkan itu, bahwa harapan iman itu yang menguatkannya untuk menyatakan pengampunan. Pengampunan itu, lanjut Paus, merupakan landasan bagi hidup dalam kasih Kristiani sebagaimana diajarkan Yesus.
Fransiskus menyaksikan hal itu saat mengunjungi wilayah Mosu, di dataran Ninive, yang hancur akibat ISIS, termasuk ‘Awn ad-dīn, Nabī Yūnis, musoleum Nabi Yunus. Paus mengutip Nabi Yunus yang menguatkan pendengar pewartaannya untuk bangkit dan melangkah menuju jalan Tuhan. Di tengah jejak puing kehancuran akibat perang dan terorisme tersirat sinar mata iman yang memancar, menumbuhkan harapan serta kekuatan untuk menatap masa depan, membangun kehidupan, terlebih bagi kaum muda yang merupakan mayoritas di Irak. Hal itu mungkin kalau semuanya, di tengah perbedaan agama dan tradisi iman serta budaya, bergandengan tangan, menjalin dialog, sebagaimana dilakukan Paus saat berkunjung pada pemimpin spiritual Islam Syiah, Ayatollah Ali al-Sistani di Najaf serta pertemuan antar agama di Ur, pada tanggal 6 Maret kemarin. Tidak mengherankanlah kalau kemudian pemerintah Irak menetapkan 6 Maret sebagai hari toleransi dan kehidupan bersama. Hal itu menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk menghargai kelompok-kelompok minoritas, termasuk Kristiani.
Tidak mengherankanlah kalau saat misa di Stadion di Erbil, Paus Fransiskus mengungkapkan kesaksiannya bahwa Gereja di Irak itu hidup, di dalamnya Kristus tampak sungguh berkarya. Betapapun mereka menderita namun mereka tidak bereaksi atas penderitaan tersebut dengan mengandalkan kekuatan manusia, melainkan kebijaksanaan yang datang dari atas, sebagaimana disingkapkan oleh Yesus dalam salib-Nya. Itulah tanda hadirnya Kerajaan Allah, sehingga bukan balas dendam dan kemarahan yang muncul, melainkan pengampunan dan belaskasihan, suatu keberanian kreatif untuk membangun kehidupan baru.
Tentu salah satu peristiwa penting dan mendapat perhatian luas dalam media umum adalah perjumpaan Paus dengan Ayatollah Ali al-Sistani dan pertemuan antar agama di Ur, tanah asal Abraham. Arab News memberitakannya dengan judul, “Two leaders, two faiths, one message: Let us live in peace”. Keberagaman adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah. Pembantaian atas kaum minoritas di Irak dan pengungsian mereka secara besar-besaran adalah suatu kehilangan besar bagi bangsa Irak. Ali al-Sistani lama dikenal sebagai pengecam aksi pembantaian tersebut dan banyak berbuat membela kelompok minoritas, juga minoritas Kristiani. Agama merupakan pembawa dan pewujud pesan perdamaian dan keadilan. Agama tidak bisa diam berhadapan dengan penyelewengan kekuasaan dan penggunaan kekerasan.
Umat beriman adalah para peziarah perdamaian dan keadilan. Peziarahan tersebut ditapaki di dunia ini dengan bergandengan tangan menyusuri jalan dialog. Dialog adalah jalan hidup menggereja. Abraham menapaki itu, demikian Paus di Ur, melangkah menanggalkan diri menyusuri jalan hidup baru yang ditandai dengan damai dan keadilan. Untuk itu kepedulian akan mereka yang menderita dan tersingkir perlu diwujudnyatakan, agar tatanan kehidupan bersama dapat terjalin lebih baik, menghindarkan konflik serta perpecahan. Perang dan pertikaian menghancurkan itu semua, maka karenanya umat beriman perlu sungguh mengupayakan terjalinnya perdamaian sejati.
Mewujudkan Ensiklik Fratelli Tutti
Kita bisa menyimak bahwa aura ensiklik terbaru Paus, Fratelli Tutti, bergema kuat dalam kunjungan ini. Persaudaraan umat manusia merupakan prasyarat dasar bagi terbangunnya tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Persaudaraan adalah tantangan bagi kita semua, demikian dikatakannya saat audiensi umum tanggal 10 Maret, dua hari setelah kembali dari Irak. Tidak mengherankanlah kalau motto kunjungan tersebut adalah “Kita semua saudara”. Kemurahan hati, kasih dan persaudaraan merupakan tapak jalan ke depan. Kunjungan tersebut dianggap sebagai langkah penting dalam mempromosikan persaudaraan umat manusia, agar budaya perjumpaan dan dialog dapat semakin berkembang.
Apa yang bisa kita pelajari dari kunjungan tersebut? Pertama adalah menaruh kepedulian kepada mereka yang menderita dan tersingkir sebagai langkah pastoral, sebab di situlah iman kita ditantang agar dapat semakin hidup dan berbuah. Kedua, mempelajari sungguh dan mencoba mewujudkan ensiklik Fratelli Tutti bagi kita yang hidup di tengah masyarakat majemuk Indonesia ini. Ketiga, di tengah situasi keterbatasan akibat pandemi ini kita diajak untuk menemukan jalan agar hidup iman, sukacita Injil tetap hidup dan menyebar sebagai pewartaan kabar gembira kebangkitan. Keempat, menumbuhkan selalu harapan di tengah segala kegagalan, penderitaan dan kesulitan, sehingga Gereja tetap terus menampakkan wajah yang hidup dan muda, penuh dinamika dan gairah iman.
Kunjungan Paus memang tidak menyelesaikan segala persoalan Irak, diperkirakan umat Kristiani yang keluar dari Irak tidak akan segera kembali, sebab kepastian masa depan belum terlihat. Namun harapan masyarakat Irak mekar dengan kunjungan tersebut, dan itu merupakan modal dasar penting bagi membangun kehidupan masa depan. Harapan mengajarkan untuk tidak menyerah dan terus mau berupaya bersama dan di dalam Dia. Itulah yang ditinggalkan Paus Fransiskus dari kunjungan tersebut. Harapan seperti itu selalu pula kita butuhkan apalagi di tengah persoalan pandemi, krisis lingkungan dan korupsi di negeri ini.
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog Dogmatik