HIDUPKATOLIK.COM – PERNAH enggak kita merasa berada dalam zona nyaman? Sudah enak banget posisi, enggak mau pindah, enggak mau menerima tugas tambahan, sudah “pewe” kata anak sekarang. Posisi wuenak ini bukan hanya dalam hal posisi rebahan atau duduk saja tetapi juga bisa terjadi dalam banyak hal seperti pekerjaan, pelayanan atau apapun yang ditawarkan kepada kita dan kita menolaknya. Jika pernah mengalami hal ini anda kemungkinan sedang mengalami Jonah Complex.
Jonah Complex adalah konsep dari Abraham Maslow. Sebuah sindrom ketakutan menghambat seorang individu untuk mencapai aktualisasi diri. Nama Jonah Complex sendiri diambil dari tokoh Kitab Suci, Nabi Yunus (Jonah), yang melarikan diri dari takdirnya. Yunus melarikan diri dari panggilan Allah, menolak untuk memberitakan amanat Allah kepada orang Niniwe karena ketakutan dan ambisinya sendiri.
Jonah Complex ini bukan gangguan dari luar, tetapi gangguan dari dalam diri kita, kebanyakan orang-orang mengizinkan perasaan “rendah hati” yang tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan ketakukan. Dan ini bisa menghambat kreativitas, dan mencegah diri sendiri untuk mencapai pencapaian tertinggi.
Kita pasti familiar dengan quote dari Uncle Ben “With great power comes great responsibility.” Tidak bisa disangkal kebenaran dari kalimat tersebut, semakin besar kekuasaan yang diberikan maka tanggung jawab pun akan semakin besar. Ternyata hal ini bisa menjadi salah satu penghalang kita mencapai aktualisasi diri karena kita takut untuk menggali potensi di dalam diri kita. Maslow mengatakan, “Seringkali kita lari dari tanggung jawab yang diberikan, seperti Nabi Yunus yang lari—walaupun akhirnya gagal—dari takdirnya.”
Dalam sebuah kelompok sharing, saya merasa di “tegur” saat teman kelompok saya, seorang Kristen Protestan yang taat, menceritakan dia tidak pernah membiarkan ketakutan menguasainya karena dia percaya bagaimana Tuhan selalu mencukupkan segala kebutuhan yang dia perlukan dan tidak ada satupun janjiNya yang tidak dipenuhi. Saat dia cerita, saya membatin dalam hati, itu hanya kebetulan aja kali.
Tetapi kemudian saya teringat akan kisah Abraham saat Tuhan memintanya untuk menyerahkan anaknya Ishak sebagai korban persembahan. Bagaimana Abraham melaksanakannya dengan ketaatan dan percaya penuh (Kejadian 22:1-19). Saya membayangkan bagaimana pergumulan Abraham selama 3 hari 3 malam dalam perjalanan menuju sebuah gunung, tempat Ishak akan dikurbankan, enggak kebayang gimana perasaan Abraham, berkecamuk enggak karuan pastinya.
Mungkin ada perasaan sedih karena ini untuk terakhir kalinya mereka melakukan perjalanan bersama. Mungkin juga ada perasaan takut kehilangan. Mungkin juga ada perasaan sayang yang mendalam, seolah enggak mau berpisah. Abraham meminta budaknya untuk menunggu di kejauhan, mungkin karena dia ingin menghabiskan waktunya yang tinggal sedikit dengan anak tersayangnya ini, hanya berdua saja. Sakit pastinya perasaan Abraham.
Tetapi Abraham tetap tenang bahkan saat Ishak bertanya “Bapa di manakah korban bakaran itu?” Abraham menjawab “Allah yang akan menyediakan”. Jawaban yang keren banget di tengah perasaan sakitnya, menunjukan level keimanan tingkat tinggi. Enggak salah memang Abraham mendapat julukan “Bapa orang beriman”.
Bagaimana Abraham bisa se-cool itu menghadapi ujian Tuhan, kok bisa ya. Jika saya di posisi Abraham tentunya saya akan protes sama Tuhan. Tuhan janji-janji kasih keturunan banyak, ini baru dikasih anak satu saja sudah mau diambil lagi, sudah susah dan lama dapatinnya dan sekarang Tuhan suruh korbanin, enggak lucu Tuhan bercandanya.
Seringkali kita memang kebanyakan protesnya dibandingkan taat dan menjalankan apa yang Tuhan kehendaki. Belum ngejalanin saja sudah ngeluh duluan, sudah hitung-hitungan sama Tuhan, sudah kebanyakan gaya dan akhirnya saat menjalankannya, bukan kehendak Tuhan yang dinyatakan tetapi kehendak sendiri yang dikedepankan. Saat hasilnya tidak sesuai harapan, kita menjadi kecewa, marah, sedih, mogok terus komplein lagi sama Tuhan, kok enggak bantuin, kok hasilnya begini, kok jelek banget, padahal sudah menjalankan apa yang Tuhan perintahkan.
Benarkah kita sedang menjalankan apa yang Tuhan perintahkan. Atau sebenarnya kita sedang menjalankan misi kita sendiri. Sudah murnikah niatan dalam hati kita saat menjalankan rencana-Nya ini atau sebenarnya kita hanya menjalankan apa yang diri kita sendiri kehendaki.
Seperti Yunus yang kesal, saat orang Niniwe bertobat. Yunus marah karena Allah memutuskan untuk mengampuni orang Niniwe; ia tidak ingin Allah menyelamatkan musuh Israel ini. Persoalan dasar Yunus ialah niatan Yunus dalam hatinya bukan mengabdikan diri kepada kehendak Allah tetapi pada misinya sendiri yaitu keamanan bangsa Israel. Namun luar biasanya tanggapan Allah terhadap kemarahan Yunus. Dengan belas kasihan Allah meyakinkan Yunus, bahwa Dia tetap memperhatikan baik Israel maupun bangsa lainnya.
Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menuliskan “Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, Allah tidak serampangan, Dia merencanakan semuanya dengan ketepatan yang luar biasa”. Saat Tuhan berkehendak dan memberikan sebuah misi pada kita, meneladani Abraham yang taat dan percaya penuh adalah hal yang sangat tepat dan perlu ditanamkan dalam diri kita. Abraham bisa setenang dan se-cool itu karena dia yakin Tuhan akan memperlengkapi, mencukupkan dan menyediakan segala yang diperlukan. Abraham menyadari tugasnya hanya sebatas menjalankan misi sesuai kehendak-Nya.
Yakin dan percaya akan potensi diri kita adalah kunci yang utama. Jangan biarkan Jonah Complex menguasai diri kita. Saat ketakutan melanda, beranilah mengatakan “Tuhan yang akan menyediakan”.
M.F. Fenny S, Kontributor, Penulis Bejana Kasih – Life Changing