HIDUPKATOLIK.COM – BARU saja aku akan menghidupkan mesin motor ketika dari jarak sekitar seratus meter ada orang melambaikan tangan. Telapak tangannya diangkat dan ditampakkan. Itu pertanda agar aku berhenti dulu. Jangan menghidupkan mesin motor.
Seorang laki-laki yang sudah cukup umur memasuki halaman rumah. Ketika jarak kami semakin dekat dia malah tampak ragu. Takut untuk melangkah maju. Namun tidak ingin kembali dan membalikkan badan.
“Ada apa Mbah?” tanyaku langsung sambil turun dari motor. Aku tidak pangling. Laki-laki itu biasa kami panggil Mbah Ulus. Nama lengkapnya Paulus Sudarmo. Buruh tani yang mulai kehilangan pekerjaan karena sawah pada dijual oleh pemiliknya.
“Anu, Mas…” dia tidak melanjutkan kalimatnya. Malah menelan ludah. Tampak dari jakunnya yang naik turun.
“Ada apa? Ayo masuk dulu,” ajakku sambil menggandeng tangannya. Dia kuajak duduk di teras. Karena isteriku sudah lebih dulu berangkat kerja, rumah kosong. Jadi tidak ada yang bisa sekadar membuatkan minuman.
“Anu Mas, emmm…mau minta tolong,” jawabnya dengan suara gemetar.
“Minta tolong apa? Kalau aku bisa menolong pasti akan kutolong.”
“Minta tolong Mas Sam membuatkan surat permohonan. Saya ingin mohon bantuan ke Romo Paroki.”
“Mau minta bantuan apa, Mbah?”
Mbah Ulus tidak segera menjawab. Bibirnya tampak gemetar. Bola matanya menatapku. Penuh harapan aku bisa menolong. “Saya mau minta bantuan uang ke Paroki. Kalau bisa.”
“Ooo, untuk apa Mbah?”
“Membeli henpon untuk cucu saya, Mas. Sekarang katanya sekolahnya lewat henpon. Kalau tidak punya henpon, Wage cucu saya, tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah.”
Dalam hati aku tersenyum sekaligus ingin menjerit. Mbah Ulus ingin membelikan handphone untuk Wage, cucunya. Karena pandemi berkepanjangan ini semua sekolah melakukan Pelajaran Jarak Jaruh atau PJJ. Dengan sistem daring, mau tidak mau semua murid harus punya handphone. Kalau tidak punya dia tidak bisa mengikuti pelajaran dari gurunya. Juga tidak bisa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan gurunya.
“Kemarin dia nunut di rumah temannya yang punya henpon. Tapi sudah seminggu ini temannya pindah rumah. Jadi Wage tidak bisa mengikuti pelajaran dari sekolahnya. Begitu Mas Sam.”
Aku menghela nafas. Pasti bukan hanya Wage yang kebingungan karena tidak punya handphone. Mungkin ada jutaan anak bernasib sama. Tetapi mau bagaimana lagi. Untuk melakukan tatap muka seperti dulu sangat berisiko. Virus mematikan Covid-19 tidak tampak. Begitu juga orang yang sudah diterkam, terkadang juga tidak tampak gejalanya. Pihak sekolah tidak berani mengambil risiko.
“Mau menggadaikan barang…tidak ada yang bisa kami gadaikan, Mas,” kata Mbah Ulus lirih.
“Lha orangtua Wage sekarang di mana?”
“Di kota. Katanya baru saja kena PHK. Pabrik tempatnya bekerja bangkrut, lalu ditutup. Anak saya mencoba jadi tukang ojek, isterinya jadi buruh cuci di perumahan. Apalagi mereka harus segera bayar kontrakan.”
“Kenapa tidak disuruh pulang saja, Mbah?”
“Sama saja Mas. Di sini mau bekerja apa? Saya sendiri sekarang lebih sering menganggur. Hanya kadang-kadang disuruh mencangkul di sawah atau membersihkan pekarangan.”
Hmm. Aku hanya bisa menelan ludah. Pasti juga ada jutaan orang bernasib seperti Mbah Ulus.
“Bagaimana Mas, bisa membuatkan surat permohonan bantuan ke paroki?” tanya laki-laki tua itu dengan suara bergetar.
Aku menggeleng.
“Mas Sam tidak mau membuatkan?”
“Bukan begitu Mbah,” kataku. “Di masa pandemi ini kemungkinan besar paroki juga tidak punya duit. Orang-orang yang duduk di Dewan Paroki itu terbiasa menghabiskan duit. Bikin macam-macam kegiatan yang menghabiskan duit jutaan rupiah. Mereka tidak pernah dilatih atau diajak untuk mencari duit. Karena tiap minggu ada jutaan rupiah masuk ke kas paroki dari kolekte dan berbagai macam amplop dari para donatur. Nah, sekarang pada tahu rasa mereka. Tidak ada Misa langsung, hanya Misa Virtual, lewat televisi, maka tidak ada kolekte masuk. Kemungkinan besar kas menipis atau malah sudah minus.”
Mbah Ulus mengangguk-angguk. “Lalu bagaimana soal henpon Wage?” tanyanya dengan nadas memelas.
“Berdoa saja Mbah, pasti Tuhan mendengarkan,” jawabku.
Setelah diam sejenak Mbah Ulus lalu minta pamit. Kurogoh saku baju. Kebetulan ada dua lembar limapuluhan ribu. Yang selembar kuberikan padanya. “Untuk jajan mie ayam bersama Wage,” kataku.
Di atas sepeda motor yang melaju pelan, aku baru menyadari, betapa paroki selama ini benar-benar dimanjakan umat. Tidak ada unit atau kelompok kerja yang bisa menghasilkan uang di luar kolekte atau bantuan donatur. Hampir semua kegiatan di paroki berbiaya mahal. Dalam sebulan lebih tigapuluh kali diadakan berbagai macam rapat dari berbagai kelompok. Semua butuh konsumsi. Semua butuh pengeluaran!
Ketika tiba-tiba muncul pandemi dan kolekte terhenti mendadak, mereka pasti kelabakan. Karena umat sendiri juga tidak sedikit yang ekonominya jadi morat-marit. Mereka pasti lebih memikirkan kebutuhan keluarga dari pada kebutuhan paroki!
Tiga minggu kemudian pagi-pagi sekali Mbah Ulus datang lagi. Beda dibanding waktu dulu, pagi itu wajahnya berbinar-binar. “Mas Sam benar!” katanya begitu kusuruh masuk ke ruang tamu. “Tuhan mendengar doa saya dan Wage. Di depan pintu kok tiba-tiba ada dompet dan isi uang yang banyak. Pasti cukup untuk membeli henpon buat Wage. Ini dompet dan uangnya!”
Mbah Ulus meletakkan dompet di meja dan mengeluarkan isinya. Ada dua juta rupiah!
“Ya sudah. Nanti Mbah Ulus mengajak Wage untuk membeli handphone. Biar Wage yang memilih karena dia yang akan menggunakannya. Anak jaman sekarang sudah pada pintar menggunakan handphone, Mbah,” kataku.
Mbah Ulus mengangguk-angguk. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih dan menyebut Tuhan yang baik hati. Begitu Mbah Ulus meninggalkan ruang tamu, isteriku nongol dari dalam.
“Tadi kulihat dompetnya mirip kepunyaanmu, Mas. Benar?” tanyanya sambil merapikan daster warna biru kesukaanya.
Aku hanya tersenyum.
“Jadi benar, yang dibawa Mbah Ulus memang dompetmu?”
“Sssstttt…” bisikku sambil merangkul pundaknya.
Jalan Kaliurang, 2021
Oleh Budi Sardjono