HIDUPKATOLIK.com – Yer. 20:10-13; Mzm. 18:2-3a, 3bc-4, 5-6, 7; Yoh. 10:31-42
NABI Yeremia dan Yesus, dua figur yang kehidupannya sering diparalelkan, mengalami nasib yang sama-sama tragis, dikejar-kejar dan dianiaya. Yesus bahkan dituduh menghujat dan karena itu layak dilempari batu menurut hukum. Jawaban Yesus menentang para pendakwanya rupanya justru merupakan kesempatan perwahyuan diri-Nya yang sejati:
“Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan, masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah? (Yoh. 10:34-36). Perwahyuan diri Yerus ini menyingkapkan juga martabat kita yang baru sebagai anak-anak Allah dalam Dia. Oleh karena itu, perwahyuan diri Yesus
ini sesungguhnya merupakan sumber kebahagiaan orang-orang yang percaya.
Warta tentang keputeraan Ilahi ini khas Kristiani. Mereka yang tidak percaya akan selalu menganggap perwahyuan ini sebagai hujat yang menimbulkan batu sandungan bagi mereka. Sebaliknya mereka yang menerimanya akan disebut berbahagia karena percaya. Perwahyuan akan martabat keputeraan ini satu karunia, seperti keyakinan penulis surat pertama Yohanes: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita,
sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.” (1Yoh. 3:1).
Romo Vitus Rubianto Solichin, SX Dosen Kitab Suci STF Driyarkara, Jakarta