HIDUPKATOLIK.COM— SEORANG kakek berujar kepada cucunya, “Kalau diberi dua tangan, bekerjalah dengan kedua tanganmu. Tangan yang satu jangan dimasukan kedalam saku.” Itulah pesan yang terpatri kuat dalam benak seorang imam misionaris asal Kongregasi Missionariorum a Sacra Familia atau Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Perjalanannya menuju tangga imamat dan secara khusus sebagai formator di rumah pendidikan calon imam diwarnai dengan pesan sang kakek tersebut. Bagi, Romo Antonius Marga Murwanta, MSF nasihat itu menyiratkan nilai pemberian diri secara total. Nilai yang ia bawa hingga menapaki usia 40 tahun imamat.
Nilai Pemberian Diri
Tuntutan menjadi seorang formator adalah harus memberi kesaksian hidup yang dapat diteladani
Kadang perutusan sebagai formator di rumah pendidikan, baik Seminari Menengah maupun Seminari Tinggi, sering kali ‘dihindari’. Tuntutan menjadi seorang formator adalah harus memberi kesaksian hidup yang dapat dipercaya, diteladani, dan hadir bersama formandi (orang yang dibina) sepanjang waktu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi imam kelahiran Muntilan, 17 November 1952 yang akrab disapa Romo Margo ini. Latar belakang keluarga membentuk dan menanamkan karakter kuat dalam dirinya.
Anak ke-12 dari 13 bersaudara ini berkisah bahwa orangtuanya telah mewariskan semangat pemberian diri sedari kecil. “Orangtua telah mewarisi semangat pemberian diri. Melihat selama tiga puluh tahun ayah saya menjadi seorang kepala desa dan penasihat Dewan Paroki di Banyutemumpang, Muntilan menjadi semangat tersendiri. Bersama dengan Pak Supangat dan Surajiman, ayah adalah perintis dan katekis di paroki kami. Dalam diri ayah, saya belajar nilai pengabdian diri dalam mendampingi dan mengarahkan orang lain. Dia mengurus warga desa dan umat. Ayah beriman mendalam dan berjiwa sosial,” tutur imam yang menerima tahbisan imamat pada 6 Januari 1981 di Yogyakarta ini. Setelah menyelesaikan pendidikan di Skolastikat MSF Yogyakarta, ia ditahbiskan menjadi imam dan ditempatkan sebagai pastor rekan di Paroki Atmodirono Semarang. Setahun saja ia berada di paroki.
Bekal dari Roma
Dari situ Romo Margo diutus untuk melanjutkan studi di Universitas Gregoriana Roma (1982-1986). Bidang studi yang diambil termasuk menantang. Fakultas Psikologi, spesialisasi Psikologi Spiritual. Di fakultas tersebut, penerimaan jumlah mahasiswa dibatasi. Maksimal 15 orang setiap angkatan. Jumlah mahasiswa dibatasi agar para dosen dengan mudah membimbing. “Setiap dosen membimbing satu mahasiswa secara pribadi. Ketika mengadakan praktik, dosen efektif mengadakan supervisi setiap minggu. Karena itu, calon mahasiswa yang masuk benar-benar disaring,” kenangnya.
Akarnya adalah pada kedewasaan kepribadian
Dalam perjumpaan dengan teman-teman dari negara lain di Fakultas tersebut, ia menangkap akar persoalan yang sama dalam proses formatio awal maupun on going formation (bina lanjut) para imam dan biarawan-biarawati di berbagai belahan dunia. Akarnya adalah pada kedewasaan kepribadian. “Kurang dewasanya seseorang yang tampak dalam motivasi emosional yang kurang matang akan berpengaruh pada hidup imamat atau religius yang dijalani,” katanya. Ia melanjutkan, pengalaman menunjukkan bahwa bila pada masa pembinaan, formandi kerap atau bahkan hampir selalu menjadi bahan rapat para pendamping atau Dewan Pimpinan, kemudian hari sesudah menjadi imam atau religius yang berkaul kekal, ia akan lebih merupakan bagian dari masalah komunitas, dan bukan bagian dari solusi atas masalah.
Melihat masalah itu, Romo Margo membekali diri dengan serius. Ia bertekad kuat untuk menjadi formator yang mumpuni. Semakin dalam ia belajar, semakin ia menyadari menjadi seorang formator berarti berusaha untuk membentuk para formandi agar semakin dewasa dalam menjalani hari-hari dalam bingkai panggilan khusus.
Sebagai Saudara
Kembali ke tanah air usai menyelesaikan studi, Romo Margo langsung menerima perutusan sebagai formator di Biara Nazareth, Yogyakarta. Tugasnya untuk mendampingi dan membina calon imam MSF serta binalanjut religius, frater atau imam dari berbagai tarekat dan keuskupan. Bekal ilmu yang dipelajari serta pengalaman perjumpaan dengan banyak orang menjadi amunisi baginya dalam jalan pelayanannya.
menjadi formator berarti menjadi sahabat seperjalanan
Menjadi seorang formator, bukanlah pekerjaan yang gampang. Perlu kesediaan dan kemampuan untuk menghadapi orang lain. “Ketika mengadakan tes masuk studi lanjut, saya ditanya apakah bersedia untuk bekerja sama dengan orang lain yang dianggap sulit dan bersedia bekerja di bawah tekanan,” ungkapnya. Itu
bukan awal pertanyaan yang diharapkan Romo Margo, tetapi pertanyaan itu kian mengolah batinnya. Tidak hanya itu, dalam kursus dan pelatihan formator, yang diselenggarakan selama sebulan setiap tahun di Salatiga, serta dalam penambahan bekal para formator yang diselenggarakan oleh Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), selalu ditekankan olehnya, bahwa bila bersedia menerima tugas sebagai formator berarti harus menerima untuk tidak diterima. Bila tidak sanggup, sebaiknya jangan menerima perutusan sebagai formator, daripada nantinya menderita sakit yang tidak terdiagnosa.
Baginya, menjadi formator berarti menjadi sahabat seperjalanan. Setiap orang unik dan berharga, karena dicintai dan dihargai oleh Allah. Roh Kuduslah Formator Utama. Tetapi dari sisi lain, setiap orang sangat dipengaruhi oleh sisa-sisa pengaruh latar belakang masa lalu dan latar belakang keluarga. Ini harus diolah secara tuntas. Singkat kata, seorang religius atau imam diandaikan dan diharapkan selesai dengan dirinya. Bila tidak, ia akan menjadi beban dan bukan berkat bagi sesama. “Formator adalah teman, sahabat dan saudara,” ungkapnya. Tugasnya adalah cura personalis atau pendampingan personal. Senjata utama formator adalah mendengarkan, bertekun dalam keheningan dan dapat menyimpan rahasia, kemudian membantu formandi mengenal dirinya secara mendalam dan mendorong untuk berproses serta membarui diri. Sebaliknya dari pihak formandi sangat mutlak perlu untuk bersikap terbuka, percaya, realistis, rendah hati dan mau berubah. Bila tidak, secanggih apa pun pembinaan dan pendampingan oleh siapa pun, hasilnya akan nihil. Boros energi, waktu dan biaya. Bahkan oleh Tuhan Allah pun tidak bisa, kecuali mukjizat.
Meluangkan Hati
“Saya harus lapang hati menerima dia apa adanya. Dia adalah tamu dan bahkan dia adalah Kristus sendiri,”
Asam garam proses formatio telah banyak Romo Margo lalui. Dalam proses pendampingan personal, ia memiliki beberapa kiat. Pertama, kesediaan dan kerelaan hati. Mendampingi orang lain membutuhkan hati yang mau berbagi dan berkorban. Sesibuk apa pun, ia meluangkan ruang dan waktu bagi orang lain. “Saya harus lapang hati menerima dia apa adanya. Dia adalah tamu dan bahkan dia adalah Kristus sendiri,” ujarnya.
Kedua, dan ini adalah kunci, mendengarkan. Dengan mendengarkan, Romo Margo berusaha mengenal dan membantu yang dibimbing untuk mengenal dirinya secara utuh dan mendalam. Awalnya memang tidak mudah mendengarkan kisah, keluh kesah, kemarahan, bahkan penolakan seseorang. Begitu melelahkan dan menguras
energi. Tulus melulu ingin mengerti, tanpa keinginan untuk didengarkan dan dimengerti. Untuk itu, dituntut kebugaran secara fisik dan kekuatan rohani. “Banyak orang, yang atas penyelenggaraan Ilahi dikirimkan pada saya untuk didampingi, lengkap dengan segala macam persoalan atau pergulatan hidupnya. Bila saya pernah berbicara secara pribadi dan mendalam, saya tidak akan lupa, paling tidak inti persoalannya. Yang menampung bukan saya, melainkan Kristus yang tinggal di hati, Kristus yang setiap hari kudengarkan sabda-Nya serta kusambut Tubuh dan Darah-Nya sendirilah yang menampungnya ” ujarnya.
Ketiga, sebagai formator ia berusaha untuk sabar. “Sing waras ngalah,” tegasnya. Reaksi-reaksi spontan dikendalikan. Kadang ia mendapat perlakuan atau perkataan yang menyakitkan, bahkan penolakan dari orang yang dibimbing. Tak ayal penyangkalan diri harus ia jalani. Ia ingat bahwa Kristus bersemayam di dalam diri mereka yang dibimbing. “Ya, perlu latihan kesabaran dan menahan diri agar mampu melayani dengan ikhlas. Sabda Tuhan dan Ekaristilah yang memampukan semuanya itu,” akunya.
Panggilan adalah hak prerogatif Allah
Pada 7 Januari 2021, ia baru saja merayakan Panca Windu Imamat bersama dengan Uskup Palangka Raya, Mgr Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka, MSF dan Romo Aloysius Suharihadi, MSF. Sepanjang pengabdiannya, hal terberat yang ia alami sebagai formator adalah ketika ada calon yang mengundurkan diri atau dikeluarkan. Memang benar kata Yesus, ‘banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih’ (Mat. 22:14). Tetapi yang jelas baginya, panggilan adalah hak prerogatif Allah. “Allah yang memanggil, Allah yang memilih dan mengutus,” ungkapnya.
Tidak hanya untuk tarekat MSF, ia juga membantu tarekat religius lain. Perutusan tarekat yang sedang ia jalani sekarang adalah bidang Formatio Continua (Binalanjut) lintas Tarekat
dan Keuskupan. “Ini adalah passion, pengabdian atau pemberian diri saya. Saya ingin membantu berbagai tarekat religius dan keuskupan, khususnya persiapan dan penambahan bekal formator, agar semakin banyak orang ndherek ngalap berkah, ikut terperciki berkat Tuhan,“ pungkasnya.
Romo Yoseph Pati Mudaj, MSF
Sekretaris Keuskupan Palangka Raya
HIDUP NO.03, 17 Januari 2021
Saya bersyukur dalam perjalanan rohani dan menapaki panggilan batin, sempat merasakan tangan dingin dan kerendahan hati Romo Margo yang bersedia mendengarkan kekalutan saya. Beliau memberikan kekuatan kepada saya dengan sikapnya yang mengayomi agar saya kuat menjalani panggilan saya.
Terima kasih atas karya dan kesabaran Romo Margo