HIDUPKATOLIK.COM – Kita punya dua tangan
satu untuk menolong diri sendiri
satu lagi membantu orang lain
Lalu, bila keduanya berkolaborasi
ada sukacita mengubah lara hati
Eheeem…., sok bijak banget nih …..! Kayak aku paling bener aja… !
Dulu sekali pernah terbacaku begini, apa yang dilakukan tangan kanan, jangan diketahui tangan kiri. Lantas, barusan ingat lagi dan mulai tergelitik. Tangan kiri nggak boleh tahu, tapi seluruh jagad harus lihat sebab jadi konten di sosial media. Aha…!
Semasa bermukin di kota kecil Roosendaal, negeri kincir angin, ada kebiasaan unik sempat teramati bila tiba libur musim panas, di mana semua warga memanfaatkan momen. Begitu juga aku dan suami berlibur ke tanah air tanpa pemberitahuan, juga tanpa up date status karena terjadi di era 2001. Belum menyelami keriuhan sosial media, apalagi posting foto. Sekadar bagi cindera mata pun tidak, toh tak ada yang peduli juga kita berlibur, sudah pulang atau belum. Begitu dalam benakku.
Ternyata tidak demikian! Thiery, tetanggaku, berkebangsaan Inggris suatu kali menyapa, “Lain kali kalau berlibur jangan sungkan beritahu saya atau tetangga lain. Jadi kita bisa bantu siram tanaman atau membersihkan di dalam karena kalian pergi lama. Jadi rumah tetap terjaga.”
Aku terpana! (Bukan terpesona). Di benak selama ini, para bule biasanya enggak kepoan, bahkan lumayan individualis atas nama privasi. Ternyata mister satu ini sosial sekali dan akhirnya aku paham kenapa para tetangga sebelum berlibur, jauh hari sudah berisik memberitahu warga sekitar, sambil tanya-tanya yang lain bakal liburan atau tidak. Semula kuanggap ini bentuk pamer dengan kombinasi kepo sama liburan orang lain juga. Ternyata ini bagian dari ‘koordinasi’ jadwal untuk saling menitip rumah bahkan kunci terutama bila ada tanaman hidup atau hewan peliharaan tertinggal dalam rumah untuk titip dirawat.
Jadi ingat setiap menjelang libur panjang di tanah air, jauh hari sudah ada edaran berupa himbauan keamanan jika meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Sedapat mungkin tinggalkan kesan di rumah tetap berpenghuni dengan menyalakan lampu teras atau ruang tamu. Bila perlu jangan sampai ketahuan kita liburan, takut disantroni maling selama ditinggal. Sebaliknya di Belanda malah tetangga diinfokan bila sedang berlibur. Yang tadinya kuanggap pamer hingga agak nyinyir bilang, kenapa enggak bikin siaran pers sekalian perihal jadwal liburan, ternyata justru semacam ‘media sosial’ era itu supaya saling menjaga.
Sekarang di zaman keriuhan sosial media, tanpa lapor tetanggan mungkin sudah tampak dalam status sosial media. Tja.., bagian ini agak sulit juga menentukan pamer atau informasi semata buat saling jaga. Balik lagi kalau sedikit nyinyir, hellooow… haruskah aku tahu Anda mau liburan ke mana, sama siapa, naik apa lalu ngapain di sana?
Pernah kejadian dalam WAG, seorang anggota kebetulan berprofesi dokter selalu posting beberapa kegiatan harian. Entah itu keberhasilan pengobatan atau kebaikan para pasien sembuh mengirim ragam hadiah sebagai ucapan terima kasih. Langsung muncul protes dengan kalimat; “Enggak usah pamerlah segala kegiatan, sekalipun sedang berbuat baik.” Karuan saja menimbulkan perdebatan dalam grup, jelas muncul pro kontra terhadap kedua belah pihak. Berakhir dengan salah satu left dari grup.
P A M E R.. ! Lagi-lagi kata ini mencuat ke permukaan dengan tentu saja disusul kalimat tangan kiri tak perlu tahu yang dilakukan tangan kanan (Apalagi sampai sosial media ya). Begitu barangkali tambahannya. Akibat diskusi memanas, tanpa merasa jadi sok bijak, kucoba tengahi bahwa tidak ada salahnya berbagi di sosial media, sebab tidak semua informasi kebaikan masuk kategori pamer. Sekilas mungkin ya, tapi bila dilihat secara positif, justru ketika ‘tangan kiri’ memposting yang dilakukan tangan kanan, bisa jadi memotivasi orang lain melakukan hal serupa sehingga semakin banyak yang tertolong. Sebut saja semakin banyak kepedulian bahwa di salah satu pojok bumi ada sekelompok orang tertindas baru saja ditolong. Khalayak jadi tahu karena si penolong telah menjadikannya konten digital.
Sekadar berbagi kisah lain, suatu kali turun dari kereta kulihat bocah kurus, dekil, berlarian bawa semangkuk bubur kacang ijo. Lalu menyeberang menuju gerobak ayahnya, sejurus kemudian bocah dan ayah saling menyuapi. Spontan kudekati sambil minta izin merekam dengan HP lakon yang menurutku menggambarkan potret kerja sama penuh kasih keluarga harmonis dalam balutan kemiskinan. Kuselipkan selembar 5000an kumal yang tersisa dalam dompet selain ktp dan e-money sambil membatin, jangan menilai jumlah, tapi lihatlah sukacita si bocah saat menerima serta ketulusanku memberi dari segala yang ada padaku (eiiitssss…, jadi ingat kisah persembahan 2 peser seorang janda miskin – Lukas 21:2)
Selanjutnya, video pendek pun kuposting dihiasi caption manis berupa pujian sebentuk kasih nyata di hadapanku tanpa rasa bersalah karena sudah izin. (Bukan karena sudah memberi 5000). Privasi mereka sudah barang tentu lebih tinggi dari sekedar pemberian uang, berapapun itu. Pamerkan ini…? Aaah.. jauhlah..! Kebaikan apa akan kupamerkan dengan 5000 rupiah. Malu! Sekalipun terkait wejangan jangan lihat berapanya. Jumlah saja tak tampak, apalagi kebaikanku? Hah….! Tak ada sama sekali selain menikmati gambar dari kisah 23 detik. Empat detik lebih lama dari ‘video viral’ itu.
Belum sempat pertukaran hari, dua pesan muncul di kolom pesan pribadi instagram dari temanku terkait postingan itu. Satu bermukim di Singapore, katanya: “Di mana you meet them? Little girl itu supposed ada di school lah. Bukan ikut orangtua working.” Kujawab singkat: “You bantulah supaya dia sekolah? Atau at least bisa makan enak. Tiap orang dapat sepiring meski sehari saja. Enggak perlu semangkok suap-suapan. Meski menggambarkan kemesraan tapi kan nggak kenyang.”
Seorang lagi to the point minta nomor rekening. Ups… berani enggak ya terima uang? Kuatir tidak bertemu lagi karena hidupnya nomaden dan aku naik kereta pun seturut penanggalan ganjil genap sesuai plat mobil. Tapi kalau tidak diterima berarti ‘menghalangi’ berkat, padahal telah memulai kisah lewat postingan. Singkat cerita uang masuk dan betul saja, aku tidak naik kereta lagi dua minggu karena tugas luar kota. Uang Singapore dan Indonesia aman tersimpan sampai akhirnya bertemu lagi. Sengaja kutunggu di stasiun demi sebuah amanah. Tetap kuvideokan tanpa bermaksud pamer karena sudah membantu, tetapi sekedar bukti berkat sudah aman dan jumlah uang sengaja di close up.
Bagian ini tak kubiarkan tangan kiri ‘mengintip’ kelakuan tangan kanan. Meski sempat terpikir andai momen ini jadi konten baru lagi, barangkali bisa jadi ide buat siapapun sekiranya hendak berpartisipasi selain sebagai barang bukti. Namun pesan para pemberi tak hendak diketahui siapapun, bukan tidak saja oleh tangan kirinya. Sebutlah sekadar berbagi berkat dan mengucap syukur dari sedikit eh sebagian milik mereka. Sedikit beda ya sama sebagian.
Baiklah kulanjutkan sebagai informasi, sama sekali bukan pamer ya karena terjadi reaksi beberapa kali atas konten sejenis. Lain waktu saat lari pagi di taman kota, kulihat kakek tua ringkih mengais sampah dan menemukan sisa nasi kotak lalu menyantap santai. Miris hati ini, diam-diam kuabadikan dari samping menyamarkan wajahnya karena jelas tidak permisi, pun tanpa lebaran 5000an. Di kantong hanya ada 2000, pas buat parkir. Sudah jadi kebiasaan ke mana pun pergi duit selalu pas sesuai kebutuhan, sebagaimana situasi hidupku : I’m a very simple woman with a complicated live.
Ujung kisah mudah ditebak setelah posting dibubuhi caption manis, lagi-lagi masuk DM info sudah meluncur uang di rekening buat si kakek. Tidak banyak, tapi bisalah dipakai makan berkali-kali dari warung, bukan lagi hasil mengais bak sampah. Empat belas hari sejak penyerahan uang, kakek tak terlihat ‘sarapan sedih’ di taman saat aku lari pagi. Tak bisa kututurkan bagaimana sinar matanya terpana menerima ‘uang kaget’, sekalian aku mengaku telah ‘mencuri’ fotonya dan posting tanpa ijin.
Saat posting seputar potret lara ini mungkin dari pihakku bukan kategori pamer kebaikan ya…. tapi lebih ke tampilan ‘art’ sebuah konten digital hiasan sosial media. Termasuk tiap berkegiatan bersama adik-adik penderita kanker akupun tak segan melakukan ‘badai’ posting kemeriahan sukacita kami.
Pamerkah aku? Ingin seluruh jagad tahu kami relawan kanker anak dalam mengisi masa kecil mereka yang penuh perjuangan semantara aku punya masa kecil indah untuk dikisahkan. Jika ini dianggap pamer, ya memang demikian adanya, tapi semoga pamer positif. Semua kegiatan kujadikan konten demi kontinuitas kegiatan. Apalah artinya kami tanpa tangan kiri maupun kanan pengulur berkat? Memang tangan kiri para donatur tidak mengetahui kelakuan tangan kanannya. Tapi kami para penerima bantuan membiarkan semua tangan lain tahu. Kelak bilamana tangan kanan mereka mulai bergerak, saatnyalah kami menyembunyikan tangan kiri si pelaku utama. Bolehlah ya.., tetap bijak menggunakan sosial media kok!
Permisiiii ..
Ini hanya ulasan sekeping informasi
Bukan pamer…meski perkara memberi
Saat begitu sulitnya situasi
Datang tambahan gerak hati
Dan aku hanya sebatas mencolek lewat jemari
Salam cinta: Ita Sembiring, Kontributor, Pekerja Seni
What a wonderful writing memang semua orang punya caranya masing2 dalam membantu sesama, hanya Tuhan dan pribadinya yg paham maksudnya setiap tindakan seperti apa semoga saja selalu untuk memberi kebaikan kepada yang membutuhkan