HIDUPKATOLIK.com – Bil. 21:4-9; Mzm. 102:2-3, 16-18, 19-21; Yoh. 8:21-30
MASA retret agung persiapan Paskah mengingatkan kita akan pengalaman umat Israel di padang gurun, kisah peziarahan yang diwarnai dengan ketidaksetiaan umat yang terus menerus diganjar dengan kerahiman Tuhan. Akan tetapi, cara pembinaan Allah pada umat Israel sebelum turunnya Hukum Tuhan di Sinai itu memang berbeda dengan pengalaman
perjalanan sesudahnya yang dikisahkan di Kitab Bilangan. Perlawanan umat terpilih menunjukkan sikap tidak tahu terima kasih dan kekerasan hati mereka, sehingga Tuhan membiarkan mereka mati diserang ular-ular tedung. Ular tembaga yang ditinggikan oleh Musa menjadi tanda pembelajaran yang setimpal, satu kenangan yang menyembuhkan, karena orang harus mengakui kedosaannya untuk dapat diselamatkan.
Namun, kekerasan hati itu rupanya penyakit yang kronis, juga bagi orang yang merasa beragama. Virus kemunafikan religius inilah yang membuat Yesus terus mengulang-ulang seruan kepada orangorang Yahudi yang tidak mau percaya: “kamu akan mati dalam dosamu!” (Yoh. 8:21,24[2x]). Kenangan akan sejarah memang sering terasa pahit. Yesus pernah mengatakan di hadapan Nikodemus: “sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:14-15). Akan tetapi, pedagogi salib itu tidak mudah, apalagi jika orang berkeras hati untuk mengakui kedosaan dalam dirinya sendiri.
Romo Vitus Rubianto Solichin, SX Dosen Kitab Suci STF Driyarkara, Jakarta