web page hit counter
Minggu, 17 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

SEBUAH PESTA BUAT PERBEDAAN

4.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – MANAKALA berhadapan dengan perbedaan, seringkali otak spontan berbisik, “karena kamu berbeda dengan saya, maka kamu bukan teman saya, dan kalau kamu mau masuk menjadi kawanan saya, kamu harus menganut satu ajaran tunggal, yaitu ajaran saya.” Lebih parah lagi, “karena kamu berbeda dengan saya, maka kamu musuh saya!” Perbedaan menjadi pertikaian dan permusuhan, dan kita pun menjadi tunanetra tentang bagaimana perbedaan bekerja.

Natrium dan klorida adalah dua racun yang berbeda, namun ketika kedua zat itu bersatu, mereka menjadi garam dapur, zat baru yang multi manfaat. Begitu bermanfaatnya sampai dipakai Yesus untuk menyebut dirimu, “Kamu adalah garam dunia” (Mat. 5:13).

Baut dengan baut tidak bisa saling mengisi. Baut dengan murlah yang bisa saling melengkapi, menjalankan fungsi bersama, yaitu menyatukan benda-benda yang berbeda.

Udara yang mandek membuat gerah, menimbulkan penyakit. Beruntung ada perbedaan suhu, yang membuat udara mengalir, menciptakan kesejukan. Menghembuskan angin yang menerbangkan serbuk sari menemui kepala putik sehingga terjadi pembuahan.

Anak-anak Indo, yang merupakan hasil perkawinan ayah dan bunda dari dua ras yang berbeda, seolah diberi “insentif” oleh Semesta, yaitu fisik yang relatif lebih cantik atau lebih ganteng. Sebaliknya, anak hasil hubungan inses, pernikahan sedarah, seolah “dihukum” dengan kecacatan fisik atau mental. Hidup itu mengalir seumpama air, dari mata air di gunung, menjadi air terjun, menggerus tanah menjadi sungai, dan terus ke laut bebas, lalu murni kembali menjadi awan hujan, gaul banget. Jika air kelamaan “lockdown,” tidak mengalir, akan berbau busuk dan menjadi sarang nyamuk.

Baca Juga:  Setelah Sinode III Keuskupan, Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Sinaga: Iman Perlu Berakar, Bertumbuh dalam Persekutuan dan Berbuah dalam Kesaksian

Kepada setiap dari kita, dititipkan-Nya talenta agar berbunga, agar bekerja, agar berkarya membuka rahasia Semesta, yang memang dibuat-Nya dalam permainan petak-umpet kehidupan. Permainan yang menceriakan kehidupan “kanak-kanak,” kepada siapa orang dewasa seharusnya berguru.

Menyelidik, menjelajah, membongkar, bertanya, begitulah polah tingkah bekal dari Semesta untuk kanak-kanak, sebelum mendapat pelajaran dari orang dewasa. Orangtua pun, secara alamiah, dengan suka hati mengajak si balita untuk melihat dunia baru, berlarian di taman, berbecek ria, memberi makan hewan, dan lain-lain. Senang melihat sang balita menjadi makin pintar dengan mengenali hal-hal yang berbeda.

Menjelajahi dunia yang berbeda adalah hal yang menghidupkan. Itulah pesan Semesta melalui kanak-kanak, yang sudah diinstal dari sononye. “Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Mat. 18:3). Nah, lho.

Dalam saya dan kamu tersimpan kemampuan dan pikiran yang tidak sama. Masing-masing dari kita mempunyai sudut pandang yang berbeda dan terbatas pada sekeping realitas, bukan seluruhnya. Sebagaimana sikap para cerdik cendekia. Pada puncak kariernya, para cerdik pandai tidak mengeklaim bahwa mereka menguasai segala ilmu, mereka hanya menjadi spesialis, ahli di bidang tertentu saja.

Baca Juga:  KWI dan Garuda Indonesia Jalin Kerja Sama "Community Privilege"

Di sisi lain, para sufi selalu mengajak umat manusia untuk semakin mampu melihat realitas sebagai apa adanya, terlepas dari kacamata pikiran insan itu sendiri. Nah, penggabungan dari berbagai sudut pandang dari insan yang memiliki keterbukaan pemikiran, akan membuat realitas dan kebenaran tampil lebih utuh, seperti dilukiskan dalam diagram “This is truth”, di awal tulisan ini. Memang menyakitkan, sih, ketika kebenaran yang sebenarnya, ternyata tidak sama dengan kebenaran yang saya yakini. Menerima kebenaran memang pahit, tetapi begitulah rasa jamu yang mujarab.

Contoh konkret atas penggabungan yang mujarab ini adalah penerbangan antariksa berawak. Untuk penerbangan ini diperlukan kerja sama para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang beragam dan berbeda, agar semua situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jangkauan, terdeteksi. Sehingga akhirnya, tim mampu memahami realitas secara utuh, semakin sedikit titik buta, dan wahana dapat dikendalikan sesuai tujuan.

Bingo! Inilah sebuah pesta buat perbedaan. Penerimaan dan kolaborasi berbagai profesi yang berbeda itu menemukan ruang baru, dalam permainan petak-umpet semesta. Itulah rahasia yang tersembunyi, di depan mata.

Tetapi dalam keseharian kita, perbedaan pendapat seringkali memancing nada-nada tinggi. Kalau nada tingginya Rimar Indonesian Idol, sih, oke banget, tetapi kalau sudah main tangan, ruwet tak keruan.  Memang berinteraksi dalam perbedaan mesti latihan.

Namun ingatlah, musuh saja musti dikasihi (Mat. 5:44), sedangkan lawan beda pendapat bukanlah musuh, seringkali, ia bahkan adalah pasangan hidup kita, orang terdekat kita. Berprasangka positiflah, karena perbedaan itu mengutuhkan. Kalau sedang baperan, ya, tundalah pembicaraan. Ambillah waktu, untuk bernafas dengan tenang dan teratur. Lalu senandungkan lagu balita, guru kita, “Dua telinga saya. Yang kiri dan kanan. Satu mulut saya. Tidak berhenti makan.” Dua telinga dan satu mulut, artinya mesti lebih banyak mendengarkan daripada bicara. Tidak berhenti makan, tidak apa-apa kata almarhum Pak Kasur, tetapi berhentilah mengoceh.

Baca Juga:  Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat: Menjadi Kumpulan Orang Pilihan

Kalau masih susah juga menerima perbedaan, atau paling tidak memahami pandangan yang berbeda, cobalah periksa ke dalam hati. Biasanya tersimpan kekawatiran, karena terganggunya kepentingan pribadi. Konflik kepentingan sering kali mengelabui kebenaran. Demi kepentingan pribadi, kepiawaian berkata-kata akan menenun pembenaran (perbuatan membenar-benarkan) yang menyelimuti kebenaran, sebagai bulu domba yang dikenakan serigala. Cobalah jujur dalam hal ini, insyaallah hidup akan menjadi lebih indah, atau lebih ringan, paling tidak.

“Sadarilah bahwa segala sesuatu terhubung dengan segala sesuatu,” begitu kata Leonardo Da Vinci (1452-1519). Lalu lima ratus tahun kemudian, kesadaran yang menjadi kerinduan umat manusia itu, terwujud dengan adanya Internet of Things (IoT), yang menghubungkan segalanya. Dan kini, pada zaman IoT ini, kolaborasi menjadi lebih penting dari persaingan, karenanya, Sang Pencipta menghadirkan kamu sebagai kamu dan saya sebagai saya, bukan tanpa perlu.

Henry C. Widjaja, Kontributor, FB/IG/Twitter: @henrycwidjaja

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles