HIDUPKATOLIK.COM – SERIAL II KKM Pemuda Katolik DKI Jakarta secara daring mengetengahkan tema khusus tentang Advokasi dan Strategi Gerakan Sosial Pemuda Katolik serta Arah Kebijakan Pemerintah, Kamis (18/03/2021) dengan menghadirkan tiga narasumber diantaranya Aktivis Buruh Migran/Direktur Migrant Care Wahyu Susilo, Dewan Pakar PP Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma dan Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Muhammad Chozin Amirullah.
Sebelum masuk dalam sesi diskusi, Sekretaris Pemuda Katolik DKI Jakarta Beny Wijayanto memberikan review sekaligus pengantar sebagai pemantik diskusi. Beny berharap serial II ini mampu memberikan pemahaman yang lebih holistik terkait dengan gerakan sosial dan bagaimana strategi yang musti disusun dalam menentukan arah advokasi dimana Pemuda Katolik secara konstitusi organisasi memiliki tanggung jawab, tugas dan kewajiban untuk makin giat mewujudkan semangat cinta kasih dan pengabdian kepada Tuhan dan sesama manusia dalam bentuk keterlibatan nyata.
Wahyu Susilo yang berpengalaman dalam gerakan buruh migran memaparkan materi “Menyoal Gerakan Kaum Muda Di Masa Kini” dengan mencoba mengajak peserta untuk menengok kembali pada kesejarahan STOVIA dalam masa pergerakan pra kemerdekaan. Sejarah STOVIA tidak sekedar dipahami sebatas kebijakan politik etis Hindia Belanda ataupun berkaitan dengan kolonialisme melainkan juga ada kegeraman adanya diskriminasi dan rasisme di saat itu.
Wahyu mempertanyakan akan mitos gerakan angkatan yang sering didengungkan dari mulai sebutan angkatan 1945, 1966, 1974, 1978, 1998 yang kerap kali elitis dan berorientasi kepada kekuasaan. Mitos gerakan ini telah meminggirkan diri dan mendepolitisasi dari kaum marjinal.
“Mari kembali ke basis melakukan gerakan sosial baru (New Social Movement) dimana itu merupakan gerakan kolektif yang keluar dari mainstream lama dengan menyodorkan persoalan – persoalan kekinian yang melampaui soal kelas dan perebutan kekuasaan yang diantaranya terdapat dalam gerakan lingkungan hidup, gerakan feminisme, gerakan masyarakat adat dan gerakan multikulturalisme” ujar Wahyu Susilo.
Stefanus Asat Gusma sebagai aktivis Pemuda Katolik dan pernah memimpin organisasi PMKRI Nasional mengidentifikasi sebagai otokritik pertama, memang harus diakui Pemuda Katolik secara institusional merupakan bentuk format lama dan masih menggunakan prototipe negara dimana struktural mengikuti nomenklatur pemerintah sehingga cukup kebingungan jika harus melakukan gerakan sosial. Kedua, disisi lain secara genetik Pemuda Katolik adalah kawah candradimuka sebagai tempat menghasilkan kader – kader patriotis. Ketiga, seringkali dalam aktivitas Pemuda Katolik selalu terjebak pada hal monumental, seremonial, karitatif, responsif isu, dan programatik.
“Dalam hal konsepsi semboyan Pro Ecclesia et Patria, saya mengajak untuk tidak lagi memiliki paradigma mayoritas dan minoritas. Ada dua daerah kluster yang menjadi etalase politik Katolik yang secara statistik lebih banyak jumlah umat Katolik Barat dan etalase konsolidasi. Maka daerah yang telah menjadi etalase politik Katolik dapat memberikan contoh kehidupan yang rukun berdampingan satu dengan yang lain, tutur Gusma.
Fondasi kaderisasi dimulai dari Romo Van Lith dengan adanya Partai Katolik, WKRI, Pemuda Katolik, PMKRI dan ISKA. Aspek sejarah ini memberikan pesan bahwa ada roadmap ini lahir bukan semata untuk kepentingan Katolik melainkan ada keteribatan orang Katolik dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Konstitusi Pemuda Katolik secara jelas menyebutkan visi misi organisasi yang musti dijalankan oleh Kader Pemuda Katolik maka Gusma memberikan saran supaya dapat membangun kebiasaan baru dalam melakukan rekrutmen anggota pada basis – basis Paroki sebanyak – banyaknya. Perlu dibangun branding dengan mengadaptasi perkembangan yang kontekstual dan modern. Bersinergi dengan jaringan dan kolaboratif serta luwes dalam struktur dan ketat dalam proses.
Terdapat tiga aspek dalam satu tarikan nafas yang disampaikan oleh Gusma diantaranya pertama, partisipatoris dimana Pemuda Katolik diharapkan mampu menguasai persoalan di masyarakat secara komprehensif dan obyektif, memposisikan diri sebagai kawan seperjuangan, bukan sebagai dewa penyelamat dan membangun ikatan empati dan simpati di basis.
Kedua, supporting system dengan melahirkan lembaga kajian isu strategis dan media handling, lembaga bantuan hukum dan advokasi, aktivasi jaringan pemerintahan dan lembaga, membuat model kaderisasi internal (lanjutan) yang turun langsung di basis dan klustering internal sebagai sarana fokus isu dan gerakan.
Dan, ketiga, Pilot Project , diharapkan secara periodik dan sistematis menyiapkan kader untuk terlibat dan masuk dalam system, mampu merespon persoalan strategis di masyarakat dengan menerapkan pola advokasi secara komprehensif (litigasi dan non litigasi) dan memisahkan garapan praktis jangka pendek (program oriented) dengan garapan isu strategis organisasi (isu sectoral, monumental dan radikalisme)
Muhammad Chozin yang juga merupakan pionir gerakan kerelawanan dalam dunia gerakan sosial ini mengawali presentasi dengan memiliki pengalaman yang menarik berinteraksi dengan sahabat dari Katolik dari sejak kecil. Sesungguhnya kita sudah berbeda – beda dan itu suatu keadaan yang harus kita terima.
Founding Fathers kita sudah sangat maju pemikirannya bagaimana setiap orang dan setiap warga negara dilindungi bukan karena minoritas maupun mayoritas.
“Yang unik bukan keberagamannya, tetapi persatuannya. Persatuan bisa terjalin ketika muncul rasa keadilan. Jakarta ini adalah miniatur Indonesia maka kita berupaya untuk menghadirkan rasa keadilan dengan City 4.0 ” ujar Chozin.
Chozin menjelaskan beberapa tahapan terkait dengan mewujudkan City 4.0. Tahap pertama adalah orientasi kota atau pemerintah yang sifatnya administratif. Tahap kedua adalah memberikan pelayanan laksana customer service. Tahap ketiga adalah warga dapat memberikan partisipasi misalnya ikut musrenbang, melalui medsos, atau pengaduan. Tahap keempat adalah tahap kolaborasi dengan keterlibatan semua warga dalam proses pembangunan dengan kunci kokreasi. Pola – pola yang dikembangkan semua terlibat tanpa dibeda –bedakan sehingga semua mendapatkan kesempatan yang sama dan tercipta rasa keadilan. Pemuda Katolik dapat terlibat lebih dalam penyusunan kebijakan yang tidak semata advokasi.
Beny Wijayanto
Sekretaris Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta