web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Suami Sibuk dengan Gadget, Penuh Perhitungan, Tak Mampu Mengambil Keputusan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Pastor Alexander Erwin Santoso, MSF (Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta)

ROMO Erwin MSF, saya berusia 34 tahun, menikah selama delapan tahun, dan memiliki seorang anak. Saya belum bercerai dari pasangan tetapi sudah tidak ada relasi sama sekali. Saya bertahan, karena anak kami meminta jangan bercerai. Suami terlalu sibuk dengan gadget-nya. Suami saya seorang yang perhitungan, mementingkan keluarganya, dan tidak mampu mengambil keputusan. Ia bilang, ia menyesal menikahi saya.

Saya sendiri mempunyai latar belakang keluarga broken home. Saya dulu percaya kepada suami, karena ia baik. Saya berpikir, ia bisa menggantikan posisi orangtua saya. Ternyata, ia adalah seorang yang egois. Ia bahkan menganggap saya mengganggu privasinya. Akhirnya, saya jatuh dalam perselingkuhan mendalam dengan seorang laki-laki. Selingkuhan itu mengajak saya menikah dan menceraikan suami, tetapi saya sudah tidak bisa percaya lagi kepada laki-laki. Saya sempat berpikir untuk bunuh diri, tidak kuat menghadapi persoalan keluarga ini. Bagaimana caranya saya bisa bangkit dari kejatuhan ini?

Lucia, Jakarta

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Lucia, saya mencoba memahami situasi yang menimpamu. Saya mencoba memahami permasalahan yang begitu banyak dan berantai, dari mulai kecil sampai dewasa dan berkeluarga. Membaca kisahmu yang panjang, membuat saya semakin yakin, bahwa masa kecil bisa amat mempengaruhi hidup seseorang ketika dewasa dan berkeluarga. Terima kasih untuk sharing Anda.

Ketika seseorang menyadari, bahwa dirinya adalah “produk” masa lalu, maka seharusnya, ia menyadari, persoalan yang sekarang terjadi, bukan hanya disebabkan oleh pasangannya atau selingkuhannya, melainkan terutama oleh keputusan pribadi sendiri. Saya tidak bermaksud menyalahkan Anda sendiri saja, tetapi saya percaya, cara Anda bereaksi, cara Anda berbicara, dan cara Anda mengambil keputusan sampai bertindak, pasti sangat dipengaruhi oleh kebiasaan Anda sejak kecil, dan pengalaman batin Anda selama ini.

Jika Anda berani menerima tantangan dari Tuhan, untuk memulai lagi kisah cinta Anda yang sekarang ini terpecah karena masalah komunikasi, saya kira Anda tidak akan terjebak dalam kesulitan-kesulitan lain yang sebenarnya tidak harus terjadi. Perselingkuhan Anda, menurut saya adalah suatu kekeliruan. Pada saat Anda mengalami kesulitan, Anda justru mengisinya dengan kesulitan baru. Pengalaman Anda dengan ayah, barangkali membuat Anda mempunyai prasangka dengan laki-laki, bahwa mereka semua sulit diandalkan (mengingat ayah Anda sendiri). Akan tetapi, jika pikiran kita berisi hal positif, tidak perlu semua laki-laki diberi standar seperti ayah Anda.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Komunikasi di antara Anda dan suami, menurut saya masih dapat diperbaiki. Anda juga dapat memperbaiki cara bicara Anda (yang dari surat panjang Anda katakan) yang  kasar. Cobalah memberi kesempatan suami untuk menjadi pimpinan yang pantas Anda percayai. Jangan terlalu menerornya dengan prasangka buruk. Ajaklah bicara santai, agar ia juga bisa meninggalkan kebiasaan sibuk dengan gadget. Jika komunikasi Anda menyenangkan, barangkali, ia akan merasa nyaman.

Bercerita, membagi perasaan, menyampaikan pujian, memberi apresiasi, menyatakan cinta dan kebutuhan Anda terhadap suami, akan menjadi bahan pembicaraan yang lebih meneguhkan relasi Anda berdua. Berdoa bersama memohon pertolongan Allah adalah sesuatu yang paling baik, agar Anda berdua tidak bercerai. Coba buka Kitab Maleakhi 2:16. Renungkanlah ayat ini agar tetapi setia.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Puji syukur, Allah mengirim anak kalian sebagai berkat, sehingga kalian berdua tidak jadi berpisah. Tetapi, janganlah hidup dalam kebersamaan yang semu dan “menahan untuk tidak berpisah”. Persatuan harus menggembirakan. Persatuan harus saling melengkapi, bukan hanya menguntungkan satu pihak. Persatuan seperti itu hanya bisa terjadi, jika kedua pihak mengembangkan sikap yang bermutu dan tulus mengasihi. Semoga Tuhan memberkati Anda dan keluarga.

HIDUP edisi 23, tahun 2020

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812 9295 5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles