HIDUPKATOLIK.COM – DULU daku mendapat mantra, yang berbunyi, “Miliki yang kupunyai.” Ada milik, ada pula punya, apa maksudnya?
Contohnya seperti rumah kontrakan. Kalau ditanya, “Sudah punya rumah?” tentu jawabnya, “Sudah,” karena penghuni sudah tinggal di rumah tersebut. Namun ketika ada kerusakan di dalam rumah tersebut, misalnya ada genteng bocor, atau ada tembok yang sudah kusam, biasanya penghuni enggan mengeluarkan ongkos, untuk memanggil tukang untuk membenahinya, “Kan, rumah ini bukan milik saya.” Rumah kontrakan itu memang punya si penghuni, tetapi si penghuni tidak memilikinya.
Jika sesuatu itu daku miliki, tentu akan daku rawat, seperti pekerjaan atau sumber penghasilan yang daku punyai. Begitulah pengertian “miliki yang kupunyai,” tentu pengertian ini bukanlah sebuah definisi yang kaku, bahkan perlu imajinasi untuk memahaminya.
Nah, di kala pandemi ini, kita mengalami bahwa sumber penghidupan kita, terganggu, berkurang atau malah hilang. Banyak hal menjadi mandek. Namun, tentu, tidak semua orang menjadi mandek. Orang-orang mulai menyadari apa saja yang ia punyai, yang selama ini tidak diutamakan, sehingga tertumpuk di “halaman belakang,” terlupakan. Dan apa yang kita lihat, banyak yang “menolak untuk menyerah”. Mereka memiliki apa yang mereka punyai.
Di perusahaan surat kabar, karyawan bagian litbang, yang biasa hanya disebut “Litbang” di bawah berita atau infografis terkait, sekarang secara fisik karyawan tersebut ditampilkan oleh koran yang bersangkutan, untuk memberi webinar berbayar, seperti pengantar riset praktis atau bagaimana menjadi periset yang kritis, dan lain-lain.
Perusahaan penerbangan di luar negeri, memanfaatkan pesawat yang mengganggur karena kekurangan penumpang, dengan membuat program “fly to nowhere” yaitu penerbangan singkat waktu, sambil menikmati masakan khas penerbangan tersebut. Kabarnya program ini sukses, karena banyak warga yang sudah ngebet jalan-jalan.
Secara individu, yang paling kelihatan adalah pemanfaatan ketrampilan memasak. Banyak orang yang menghidupkan kembali ketrampilan memasaknya, yang selama ini tertimbun oleh kesibukan bisnis, dan kalah menarik dengan pilihan makanan restoran. Kemampuan itu dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri, karena lebih hemat, juga untuk berjualan untuk menambah penghasilan.
Begitu juga para pehobi fotografi, kebiasaan yang tadinya untuk bersenang-senang saja, ternyata bisa ditawarkan untuk memotret produk untuk e-dagang atau pre-wedding.
Jadi semua kepunyaan kita, yang berada dalam jangkauan dan pengaruh kita, baik yang kelihatan fisiknya, seperti mobil, rumah, pasangan hidup, keluarga, teman, network, dan lain-lain, maupun yang tidak kelihatan, seperti keahlian, ketrampilan, ide, termasuk pelajaran dari kegagalan, dsb, adalah milik yang bisa dimanfaatkan, dihargai dan dihidupkan.
Namun kita memang sering terpancing untuk mempunyai sesuatu, karena terbius promosi. Trend fashion yang setiap hari berkelebatan di depan mata, memang menyebabkan orang gampang kepingin, dan mengganti apa yang sudah dimilikinya mengikuti musim, bukan lagi mengikuti kebutuhan. Beli hape baru yang di bagian belakangnya ada tiga/empat/lima kamera, seperti sebuah keharusan, meski hanya dipakai untuk TikTok dan WA. Belanja untuk gagah, sesudahnya nyampah. Tetapi jika hape itu sudah kita punyai, kini saatnya memanfaatkan nilai tambahnya, dengan mulai bikin vlog, misalnya.
Menyadari apa yang kita punyai juga mempunyai nilai spiritual, karena sebagaimana kita diciptakan, semua yang masuk ke dalam hidup kita, semua yang kita punyai, bukan tanpa maksud, “karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat 6:21).
Jadi ketika hidup terasa mandek, mati angin, ingatlah, sadarilah apa yang kita punyai. Apakah sudah sungguh kita miliki, sudah sungguh kita rawat, sudah kita beri nilai tambah? Apakah kita sudah membuatnya lebih hidup, bukan hanya menjadi perhiasan yang pasif, yang hanya untuk dipamerkan.
Tetapi, apakah dengan menyadari semua itu, maka kita akan sukses mengolahnya dan menambah penghasilan? Nah, itulah tantangannya, “miliki yang kupunyai,” dan tantangan itu adalah juga milikku.
Henry C. Widjaja, Kontritutor, FB/IG/Twitter: @henrycwidjaja