HIDUPKATOLIK.COM – SEORANG sahabat mempertanyakan kenapa saya menyingkat nama baptis saya dan menurutnya Felisitas itu mempunyai arti nama yang bagus. Saya sebelumnya tidak memikirkan arti nama. Kata pepatah apalah arti sebuah nama.
Namun percakapan sore itu membuat saya kepikiran dan mempertanyakan kenapa saya memilih nama Fellicia saat dibaptis. Saya tidak dapat mengingatnya selain karena awalan namanya menggunakan huruf yang sama dengan nama saya.
Karena penasaran dengan perkataan sahabat saya ini, akhirnya saya googling cari arti nama Felisitas. Muncullah arti nama tesebut dalam berbagai bahasa dan sebagian besar mengartikan berbahagia, beruntung, bergembira. Bagus dan positif arti nama Felisitas. Mungkin karena pakai nama inilah saya selalu merasa beruntung dalam hidup saya.
Selain muncul arti nama tersebut mbah google memunculkan juga kisah hidup seorang santa bernama St. Felisitas dari Roma yang perayaannya jatuh pada tanggal 10 Juli dan Gereja Ortodoks merayakan hari martir mereka pada tanggal 25 Januari.
Digambarkan beliau adalah seorang ibu dari tujuh orang anak yang semuanya martir. Kisahya mirip dengan kisah seorang ibu dalam Kitab 2 Makabe pasal 7 yang diberi judul “tujuh orang bersaudara serta ibunya disengsarakan”.
Penulis Makabe menyatakan kekagumannya atas keberanian ibu ini melawan penguasa dan menyaksikan ketujuh anaknya mati dalam tempo satu hari dan menurutnya keberanian ibu ini layak dikenang. Menurut saya pun demikian jika membaca keseluruhan kisah 2 Mak 7, yang ada saya geleng-geleng kepala dan takjub dengan keberanian dan keteguhan hati sang ibu.
Seperti ibu ini, demikian juga Santa Felisitas. Dia dengan berani menentang dan bergeming sedikit pun terhadap bujukan dan iming-iming dari penguasa saat itu. Dia dan ketujuh anaknya tetap bersikukuh tidak mau mengikuti perintah untuk mempersembahkan korban kepada para dewa.
Bahkan dia mengatakan dengan tenang, “Putera-puteraku akan hidup selama-lamanya jika mereka, seperti saya, mengutuk dewa-dewa berhala dan mati bagi Tuhan.” Yang terjadi kemudian Santa Felisitas dipaksa menyaksikan putera-puteranya dihukum mati. Seorang mati dicambuk, dua orang didera dengan tongkat, tiga orang dipenggal kepalanya dan seorang lagi tewas ditenggelamkan. Dirinya sendiri mati dihukum pancung.
Ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa Santa Felisitas sesungguhnya memohon kepada Tuhan agar ia tidak mati dibunuh sebelum ketujuh puteranya dibunuh, sehingga ia dapat menemani mereka satu per satu untuk menguatkan mereka satu per satu di akhir hidupnya dan untuk memastikan agar ketujuh puteranya tidak menyangkal kekuasaan Kristus.
Merinding saya membaca kisah Santa Felisitas ini. Begitu kuat dan teguh iman seorang ibu kepada Kristus bahkan dia ingin memastikan ketujuh anak yang dititipkan kepadanya “selamat” dan tidak satu pun yang menyangkal Kristus hingga akhir hidup mereka. Saya pikir inilah yang disebut dengan “The power of emak-emak” yang sesungguhnya.
Kisah hidup Santa Felisits yang tragis seolah berbanding terbalik dengan arti nama Felisitas yang sangat positif. Tetapi apakah benar kisah Santa Felisitas ini dapat dikatakan tragis atau justru di balik ketragisan kisah ini menyiratkan arti penting dan nilai hidup seorang ibu?
Penolong
Beruntung saya hidup di zaman ini, tidak bisa membayangkan jika saya hidup di zaman Santa Felisitas. Apakah sebagai seorang ibu saya bisa bertindak seberani beliau? Dari mana sesungguhnya sumber kekuatan dan keberaniannya?
Kalo dipikir-pikir sepertinya Tuhan memang menciptakan perempuan sedemikian spesialnya, di balik tubuhnya yang terkesan lembut dan halus, seringkali terdapat kekuatan yang dahsyat dan tidak terduga di dalamnya.
Jika kita menilik lagi ke kisah penciptaan, bagaimana Tuhan menciptakan seorang perempuan di dunia ini, dikisahkan dalam kejadian 2:18 “Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.
Tuhan menciptakan perempuan (Hawa – Eve – Chavvah – life) untuk menjadi penolong bagi laki-laki (Adam) untuk bekerja sama dalam memelihara bumi (termasuk keluarga), agar dapat memenuhi tujuan Allah atas kehidupan mereka.
Peran wanita adalah sama dari zaman dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya, yaitu sebagai penolong. Hanya mungkin tantangannya saja yang berbeda di setiap zaman. Tantangan zaman ini berbeda dengan tantangan di zaman Santa Felisitas. Namun tujuan akhir manusia tidak berubah yaitu kehidupan kekal.
Jika zaman dahulu pembunuhan adalah secara fisik menuju kematian badan, zaman sekarang ini lebih kepada pembunuhan mental dan karakter. Dengan kompleksitas dan kemajuan teknologi yang membuat dunia seolah dalam genggaman, Informasi apapun bisa dengan mudahnya didapatkan dan dengan cepatnya dapat mempengaruhi pola pikir sampai keimanan anak-anak kita.
Kita tidak bisa menghindar dari kemajuan teknologi dan mau tidak mau harus mengikut perkembangannya, apalagi dalam kondisi saat ini di mana semua hal sudah dilakukan secara online. Yang bisa dilakukan adalah memperkuat nilai hidup beriman anak-anak kita dengan menanamkan ajaran yang sehat sejak dini.
W.S. Rendra dalam puisinya menuliskan, “Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu. Kamu adalah tugu kehidupanku”. Beliau menggambarkan bagaimana pentingnya peran ibu dalam hidupnya yaitu sebagai tugu kehidupan yang membentenginya. Dia juga menekankan bagaimana nilai hidup yang ditanamkan oleh ibunya melekat dan membuat dia mengerti pentingnya nilai itu saat dia dewasa.
Keteguhan Santa Felisitas dalam mempertahankan keimanannya rasanya patut dicontoh. Nilai hidup Santa Felisitas sangat jelas dari kata-katanya “hidup selama-lamanya”. Kekuatan dan keberaniannnya yang luar biasa itu bersumber pada pengharapannya yang besar akan kehidupan kekal kelak bersama putera-puteranya di rumah Bapa.
Bagaimana dengan kita, sudah siapkan mengikuti jejak Santa Felisitas? Tidak mudah tapi patut dicoba.
M.F. Fenny S, alumni KPKS, Tangerang Angkatan 2