HIDUPKATOLIK.COM – PEREMPUAN saleh ini dikenang sebagai pelindung orang-orang kecil, seperti buruh, migran, dan tenaga kerja asing, yang meninggal tanpa keluarga dan pelayanan sakramen.
Tahun 1936, Pràxedes Fernandez Garcia pindah ke Desa Sueros, Oviedo, Spanyol. Beberapa bulan setelah kepindahannya, desa itu diserang tentara Komunis. Bersamaan dengan tragedi itu, Pràxedes menderita sakit usus buntu. Tidak ada dokter di desa itu. Semua dokter berada di garda terdepan merawat korban perang. Pràxedes berusaha mencari bantuan medis, sayang, takdir berkata lain.
Akhir hidup Pràxedes bak mereka yang kini menjadi korban pandemi korona. Jazadnya diangkut mobil tank dan dikuburkan secara massal bersama para korban lainnya. Tidak ada imam, juga upacara pemakaman. Pràxedes meninggal dalam keadaan sangat buruk, tanpa kehangatan keluarga dan sakramen.
Hingga proses beatifikasinya dimulai, postulator dan tim medis kesulitan mengidentifikasinya. Tidak ada batu nisan di atas makam itu. Semua orang bertanya, siapa itu Pràxedes. Namun, ada mukjizat terjadi. Tubuhnya tidak hancur. Pràxedes tertidur pulas, dengan senyum menawan,
Tambang Liar
Di mata masyarakat Kota Asturias, keluarga Pràxedes adalah keluarga saleh. Doa Rosario senantiasa melantun di rumah mereka setiap hari. Kedua orangtua Pràxedes, Celestino Fernandez dan Amalia Garcia Suaraz memiliki jiwa sosial yang tinggi. Celestino adalah pengusaha tambang. Ia sangat murah hati terhadap para imam, orang-orang miskin, dan remaja putus sekolah. Sedangkan Amalia, pengusaha properti menjadi pembawa damai.
Sebenarnya, Kota Asturias bukan tempat yang menjanjikan bagi para pengusaha tambang dan properti. Namun bagi Celestino dan Amalia, kandungan tambang di lembah Asturias menyimbolkan kematian. Tambang liar ini direbut jutaan orang dengan ragam cara, yang kadang kala berakhir pertikaian dan pembunuhan. Setiap hari, kota dipenuhi para pemburu tambang tanpa aturan yang jelas. Siapa yang kuat bertahan, dialah pemenangnya.
Kehadiran Celestino dan Amalia berhasil memoles wajah kelam lembah ini. Meski awalnya menyadari, tinggal di Asturias sama halnya menggali kuburan sendiri namun keduanya berhasil mengubah pandangan ini. Celestino berhasil tampil memberi jaminan keselamatan bagi warga Asturias. Perjalanan selanjutnya, insinyiur pertambangan ini benar-benar menyejahterakan masyarakat Asturias.
Pilihan Hidup
Watak kedua orangtuanya diadopsi Pràxedes. Anak keempat dari 12 bersaudara ini bertumbuh menjadi pribadi yang berperasaan halus, khususnya kepada orang miskin. Sama seperti pelindungnya, Santa Pràxedes, perawan dan martir (165 M), gadis ini menunjukkan kesalehan hidup.
Di usia dewasa, Pràxedes mulai menunjukkan bakat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Ia cekatan mengurus pekerjaan rumah dan menjadi “tangan kanan” Amalia. Ia merapikan perabotan, membersihkan, memasak, memanggang, menjahit, berkebun, dan menggembalakan. Sembari menunaikan tugasnya, ia setia membaca bacaan rohani.
Melihat kesalehan hidup putrinya, Celestino mempertimbangkan hidup religius baginya. Saat datang kesempatan itu, ada sebuah tragedi, Celestino mendadak sakit keras. Pràxedes harus mengurung cita-cita itu demi sang ayah. Ia menjadi perawat sang ayah dan berjanji menjalani hidup sebagai selibater awam.
Awalnya, janji itu disepakati Celestino tetapi ada kekhawatiran soal masa depan putrinya. Meski dengan enggan, Pràxedes menerima tawaran untuk menikah.
Tidak sulit bagi wanita cantik menemukan lelaki idamannya. Paras yang cantik dan sifatnya yang manis, membuatnya dilirik banyak pria. Hanya saja, ada sesuatu yang disesalkan orangtuanya. Di antara para lelaki itu, Pràxedes justru memilih seorang tukang listrik bernama Gabriel Fernandez Martinez.
Menilai keduanya, bagai langit dan bumi. Cibiran apapun itu, nyatanya Gabriel seorang pemuda sederhana, berhasil memenangkan hati Pràxedes. Pilihan kelahiran Mieres, Asturias, Spanyol, 21 Juli 1886 ini tidak keliru. Di balik kesederhanaannya, Gabriel menjadi guru spiritual yang teruji bagi perkembangan iman sang istri, yang kala itu berusia 28 tahun. Di tangan Gabriel, kebajikan hidup Pràxedes khususnya melayani orang sakit dan miskin makin intens.
Membangun keluarga bagi dua sejoli ini tak semudah membalikkan telapan tangan. Setelah menikah, keduanya mendiami rumah kecil pemberian Amalia yang baru saja menjanda. Keduanya menjalani situasi sulit karena harus menghadapi realitas ekonomi yang mengenaskan.
Beberapa kali Pràxedes harus mengemis kepada seorang kakaknya yang tertua untuk mendapatkan pinjaman. Demi urusan perut, Pràxedes memilih bekerja sebagai pembantu. Setiap hari, ia membersihkan rumah, tempat tinggal sang ibu. Ia menerima semua itu dengan lapang dada, termasuk menerima pakaian bekas dari kakaknya Florentina, yang sangat membencinya.
Pelayan Tuhan
Jiwa hamba begitu melekat pada figur Pràxedes. Secara harafiah, ia memang menjadi hamba di rumahnya sendiri. Tetapi sebenarnya, ia menjadi hamba bagi ratusan orang sakit. Pelayanannya ini semakin intens ketika Gabriel meninggal dunia karena kecelakaan kereta.
Setiap hari, selama bertahun-tahun, Pràxedes memberikan jatah makannya kepada orang miskin. Bersama empat anak laki-lakinya, mereka terus bersedekah. Tak lupa di penghujung hari, Pràxedes berkontemplasi dalam keheningan di hadapan salib.
Puncak panggilannya adalah ketika bergabung dengan Ordo Ketiga Dominikan. Ia begitu menghidupi regula ordo secara utuh. Sesekali, ia membubuhkan nama Maria dan Yesus di tubuhnya dengan timah panas.
Dekat dengan Tuhan tak menjadi alasan terhindar dari cobaan. Lima tahun melayani, anak keempatnya meninggal, menyusul anaknya yang lain yang gugur dalam perang sipil di Spanyol. Untung, putra ketiganya, Enrique, bernasib baik dan menjadi biarawan Dominikan. Enrique menjadi pelipur lara sang ibu. Ibarat kebahagiannya lebih dari kekayaan orangtua di masa kecilnya. Momen tak terlupakan saat Enrique ditahbiskan tahun 1941. Pràxedes berdiri di depan altar dengan linangan air mata sukacita.
Tahun 1936, janda Dominikan ini pindah ke Desa Sueros. Sayang, beberapa bulan setelah kepindahannya, desa ini diserang tentara Komunis. Dalam situasi ini, Pràxedes mengalami sakit usus buntu yang parah. Tidak ada dokter di desa itu. Ia pun harus mengakhiri peziarahan hidupnya pada 6 Oktober 1936. Ia dikuburkan tanpa kehadiran orangtua, hanya ditemani orang-orang asing.
Paus Fransiskus menggelarinya Venerabilis pada 6 Desember 2014. Pràxedes dihormati dalam Gereja sebagai pelindung kaum buruh, migran, dan tenaga kerja asing.
Majalah HIDUP edisi 20, tahun 2020
Yusti H. Wuarmanuk