HIDUPKATOLIK.COM – Percaya Tuhan? Yang tak kelihatan?
Yang terlihat saja sulit dipercaya!
Ups sorry.., ini bukan ucapan saya
Akan kuceritakan siapa yang berkata
Menikmati secangkir kopi merupakan aktifitas favorit di Belanda. Semacam ada ‘kesepakatan’ tiap jam 10.00 pagi aktifitas rehat sejenak demi kopi. Bahkan ada lagu ajakannya: Koffie.. koffie… lekker een bakje koffie. (kopi..kopi.. secangkir kopi nikmat..) Konon selingan ini termasuk salah satu cara meningkatkan produktifitas bekerja juga sambil membahas ragam tema santai.
Sekali peristiwa saat begini, kopiku muncrat menyemprot baju putih sahabatku Sofia akibat ucapannya. Entah apa awal topik pembahasan, hingga berkata begini: “Aku tidak percaya Tuhan. Yang kelihatan saja sulit dipercaya, apalagi yang tidak. Secara identitas, aku Katolik, karena dari lahir saat belum lagi bisa bicara sudah dibaptis. Jadi otomatis.”
Langsung disambut Katty McKenzi warga Amerika: “Me too.” Tanpa penjelasan tambahan. Sementara seorang lagi perempuan lembut asal Bulgaria ikut nimbrung, katanya: “Membahas ini tak penting.”
Aku terkesima. Bukan mengelak bersaksi betapa kebesaran Tuhan sudah kualami. Tapi yaa… itu tadi, keburu kopiku muncrat dan debat tipis ini terabaikan oleh upaya membersihkan kemeja putih Sofia. Namun semua pernyataan mendekam di alam pikiran yang memang terbiasa melayang-layang gamang ini. Kemudian ada satu situasi lain, masih seputar iman, keyakinan dan kepercayaan di tengah mereka yang tidak percaya.
Saat salju tebal menimbun halaman gereja, aku mendapati di dalam gedung megah besar itu duduk segelitir umat, tidak sampai 20 bahkan dan semua berambut putih. Beberapa malah sama sekali tanpa rambut. Sekadar catatan kecil, ini situasi jauh sebelum pandemi. Belum kenal istilah lockdown atau pembatasan kegiatan sosial. Semula kupikir akibat salju tebal di tengah musim dingin ekstrem, jadi tidak banyak umat beribadat. Namun seingatku musim semi lalu juga begini, padahal udara cerah di tengah mekaran bunga. Musim panas apalagi, semakin kosong karena itu identik dengan summer holiday. Musim gugur pun tak beda, banyak yang ‘gugur’ niatnya masuk rumah ibadat.
Meski gamang, aku bertahan mengikuti ibadat. Terbilang khusyuklah, terhanyut suasana khidmat serta ditenggelamkan sunyi. Sekonyong-konyong bagai seorang ‘primadona’ di mana semua tatapan tertuju padaku. Jelas bukan karena ada kecantikan memancar atau dandanan menor. Biasa saja, hanya memang aku satu-satunya berambut hitam dan….. muda. Haa… ini penyebabnya! Ada orang muda masuk gereja bagai ‘peristiwa’ langka di situ. Sorot mata semula heran, perlahan berganti jadi tatap hangat penuh sukacita, seakan satu per satu ingin memeluk menyambut kedatangan ‘anggota baru’.
Mengagetkan? Tentu saja!
Masih ada ‘kejutan’ susulan. Salju tebal sudah tak seindah pagi tadi. Mulai mencair dan jejak tertinggal meninggalkan becek tak sedap dipandang. Tapi tidak seberapa dibanding kejadian setelahnya. Menuju rumahku yang hanya sepelembar lembing dalam lomba atletik, harus melewati café di mana sekelompok anak muda tengah ngopi dan salah seorang melempar tanya (bukan lembing ya.. haha..).
“Mevrouw.. vind je leuk in de Kerk?” ( Bu, senangkah kamu dalam gereja itu?) Hmm, ini pertanyaan polos ala kaum muda atau memang sinis ya? Sempat penasaran gerangan apa reaksi para oma opa yang tadi ikut beribadat bila ditanya begini? Atau dulu pun melakukan hal serupa disaat belia?
Akhirnya spontan kujawab: “Senang banget dalam gereja, sama seperti senangnya kamu nongkrong di café ini.” Mereka saling pandang sambil tertawa ditahan. Sebelum tawa itu pecah menggelegar atau muncul pertanyaan susulan, aku mempercepat langkah menyisakan jejak becek lebih jelek di salju lumer. Aku tidak marah tapi sedikit gusar sebab selama ini masuk gereja di masa muda maupun tua bukan sebuah keunikan hidup apalagi keanehan. Justru kewajiban umat beragama sebab Tuhan sandaran utama kehidupan. Bukan sok religius lho..,. sedang berusaha taat semata.
Berada di situasi begini aku harus apa ya? Mencoba menerobos kehidupan mereka seraya memberi gambaran sekiranya bisa sedikit mempengaruhi cara berpikir atau sekalian mewarta? Ajaaw…, rasanya pilihan berat dan masih jauhlah sebagaimana kutahu pengetahuanku masih dangkal dangkal keruh. Tambahan pula, suamiku yang kecipratan beberapa tetes darah Belanda itupun lebih dulu berpesan supaya tidak membahas soal kepercayaan dalam lingkup pergaulan bila tak hendak jadi bahan lelucon.
Himbauan ini kuturuti karena memang jarang membahas apalagi berdebat, sebab bagiku agama untuk diyakini bukan bahan bertikai hanya karena beda sikap dan cara pandang. Apalagi sebagai alasan takut ditolak dalam ruang gaul dan dianggap aneh. Hanya enggan memasuki wilayah keyakinan orang lain sebab menyangkut hak pribadi.
Terdengar polos atau sinis kah?
Terkesan baik atau cari selamat?
Atau malah terlihat egois?
Sudahlah! Apapun itu sederhana saja kupilih lewat tingkah laku dan cara bersikap biar tak butuh penjelasan, pertanyaan apalagi perdebatan. Eiitsss.. sebentar.. ini bukan ingin mengatakan aku sudah bersikap sebagai umat yang layak jadi panutan. Oh tidaaaaak…! Masih jauh…, tapi terus berusaha membuat ‘cermin’ ini mengkilat, supaya minimal mantul sedikitlah dalam ruang gaul dan aktifitas harian. Semoga ya.. (*sambil menunduk malu)
Ada yang menggembirakan, di satu masa Sofia meneleponku, menuturkan mengalami kecelakaan hebat. Seturut uraian polisi demi melihat kondisi mobilnya, adalah keajaiban Sofia bisa selamat. Penuh sukacita dia berujar: “Malaekat Tuhan menyelamatkanku.”
Hei.. hei..hei.., bukankan Sofia sebelumnya tidak percaya? Lantas, setiap ada info terjadi bencana di Indonesia dia selalu bilang: “Kukirim my guardian angel menjagamu.”
Lucunya pernah pula saat aku curhat perihal situasi keluarga dia bilang begini: “Kali ini maafkan, aku nggak bisa kirim my guardian angel karena dia sedang kuminta menjaga kakak ku. Sedang bermasalah juga.”
Nah.. ini jelas sebuah kepolosan dalam pemahaman. Sama sekali bukan sinis. Pada bagian ini aku tersenyum sendiri, sambil berkata dalam hati: “Malaekat Tuhan kan banyak ya.., juga bisa menembus ruang dan waktu?”
Bukan sebuah kebetulan pula, tak lama berselang, Katty si Amerika kirim pesan: “Tolong doakan anak ku. Dia wajib militer, dikirim ke wilayah perang.”
Kujawab polos: “Akan kudoakan”
Sejujurnya tersimpan satu pilihan jawaban lain, sedikit sinis , begini: “Kan tidak percaya Tuhan, jadi doanya ke mana?” Namun tertahan di tenggorokan. Bukan karena kebaikan hati, cuma kuatir andai nanti jawabnya begini: “Karena aku tidak percaya dan kamu percaya, makanya kamu saja yang doakan!” Tja….!
Permisiiii…
Ini bukan soal tidak yakin akan sebuah keyakinan
Hanya berusaha menemukan cara murni
Menyajikan potret lewat diri
Hingga yang diyakini itu memang meyakinkan
Bukan sinis ya.., ini termasuk polos kan…?
Salam Cinta: Ita sembiring, Kontributor, Pekerja Seni